Kolom Kang Hasan

Nilai-Nilai Baru Seksualitas

Hasanudin Abdurakhman - detikNews
Senin, 08 Nov 2021 09:42 WIB
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Tiga tahun yang lalu perusahaan pemilik aplikasi Go-Jek yang didirikan dan waktu itu masih dipimpin Nadiem Makarim menjadi sorotan. Perusahaan ini dianggap bersikap toleran terhadap LGBT. Sorotan itu bermula dari pernyataan salah seorang vice president, yang mengatakan bahwa Go-Jek menghormati keberagaman, termasuk dalam soal orientasi seksual. Bagi banyak orang Indonesia hal itu masih sangat sulit diterima.

Apakah sikap Go-Jek itu merupakan refleksi dari sikap para eksekutifnya yang banyak merupakan lulusan Amerika? Bisa iya, tapi bisa juga tidak. Maksudnya, ini bukan soal Amerika. Ini soal pandangan dunia soal seksual memang sedang berubah secara tajam.

Sikap ramah terhadap LGBT sudah secara tegas ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan besar dan populer seperti Facebook (kini bernama Meta), Google, Apple, Microsoft, Starbucks, dan sebagainya. Karena itu adalah perusahaan-perusahaan Amerika? Bukan. Perusahaan-perusahaan besar Jepang seperti Honda dan Toyota juga bersikap sama. Mereka menerima LGBT sebagai kenyataan. Sikap itu diambil setelah para ilmuwan menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit atau kelainan, juga bukan pilihan gaya hidup, melainkan hanya varian dalam orientasi seksual manusia yang merupakan bawaan lahir. Sebagai perusahaan modern, mereka berpegang pada pendapat ilmuwan itu.

Sebenarnya bukan hanya soal LGBT yang jadi perhatian mereka. Berbagai perusahaan besar kini memberi perhatian penuh pada soal-soal identifikasi dan orientasi seksual. Berbasis pada dua hal itu, di masa lalu telah banyak terjadi diskriminasi. Kini soal itu menjadi bagian dari kebijakan penting perusahaan. Intinya, tidak boleh ada diskriminasi maupun pelecehan seksual dalam perusahaan.

Sikap ramah terhadap LGBT hanyalah bagian kecil dari usaha untuk menghapus diskriminasi tadi. Kini pertanyaan tentang jenis kelamin seseorang bisa menjadi pelanggaran terhadap kebijakan antidiskriminasi seksual tadi. Identitas seksual (jenis kelamin) dianggap sebagai informasi pribadi yang tidak boleh dibuka tanpa persetujuan pemilik identitas.

Menariknya, nilai-nilai baru ini diadopsi oleh Jepang, sebuah negara yang 20-30 tahun yang lalu masih sangat diskriminatif terhadap perempuan di dunia kerja. Beberapa tahun yang lalu, saat makan malam bersama para eksekutif, pemilik perusahaan tempat saya bekerja meminta salah satu karyawan perempuan yang hadir untuk menuangkan minuman bagi dirinya. Tapi sejenak kemudian ia mengoreksi tindakan itu. "Maaf, tindakan saya tadi itu salah. Itu sudah masuk dalam tindakan pelecehan seksual," katanya.

Tindakan atasan saya tadi itu sebenarnya bukan sebuah kesalahan. Ia sedang mengkomunikasikan suatu nilai baru yang sedang ia adopsi untuk perusahaannya.

Apa soalnya? Pelecehan seksual bukan terbatas pada tindakan seksual seperti menyentuh, atau berkata cabul. Pelecehan seksual juga meliputi pembedaan sikap, pemberian tugas tertentu, berbasis pada identitas seksual. Di masa lalu sangat lazim dalam perusahaan di Jepang karyawan perempuan disuruh menyediakan minuman. Tugas itu diberikan kepada mereka dengan alasan bahwa mereka perempuan. Membuat minuman adalah tugas perempuan. Hal seperti ini kini terlarang. Tugas-tugas di perusahaan seharusnya dibebankan kepada seseorang karena kedudukan/jabatannya, bukan karena identitas seksualnya.

Tentu saja soal-soal terkait hubungan seksual juga mendapat perhatian serius. Pelecehan seksual dalam arti tindakan-tindakan seksual seperti menyentuh atau kata-kata cabul tanpa persetujuan pihak yang jadi objek adalah pelanggaran berat. Perusahaan-perusahaan besar secara intensif mengkampanyekan isu ini.

Di Indonesia soal-soal begini tentu masih sangat asing bagi banyak orang. Yang relatif ringan, seperti pembedaan tugas berbasis identitas seksual tadi, masih dianggap sebagai kebijakan lokal. Sudah sangat pantas kalau perempuan disuruh menyiapkan minuman, misalnya, karena dalam persepsi kultural yang umum, itu sudah biasa. Yang lebih parah, ucapan-ucapan cabul pun masih dianggap biasa dan pantas. Bahkan lebih parah dari itu, tindakan-tindakan seksual seperti menyentuh pun tidak jarang dianggap sebagai hal yang wajar.

Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Inti peraturan itu adalah bahwa berbagai tindakan seksual tanpa persetujuan adalah bentuk kekerasan seksual yang dilarang dan diberi sanksi. Peraturan ini mendapat tanggapan konyol dari beberapa orang, yaitu politikus PKS dan seorang guru besar Universitas Pendidikan Indonesia.

Dalam tanggapannya, kedua orang itu menganggap peraturan ini sebagai penerapan nilai-nilai liberalisme. Frasa "tanpa persetujuan" dalam berbagai larangan yang dirumuskan dalam peraturan itu dimaknai secara terbalik. Artinya, kalau dengan persetujuan artinya tindakan-tindakan seksual tadi jadi boleh. Lalu mereka secara liar menuduh bahwa peraturan itu membuka peluang untuk praktik seks bebas dan LGBT.

Apa masalahnya? Pertama, sebenarnya ini soal nalar. Kedua penanggap itu bermasalah dengan nalar. Secara substansi, definisi dalam peraturan itu menegaskan bahwa berbagai tindak seksual tadi adalah kekerasan seksual bila tanpa persetujuan. Lalu, bagaimana bila ada persetujuan? Kalau ada persetujuan artinya itu bukan kekerasan seksual. Tapi apakah itu lantas diperbolehkan? Apakah kalau suka sama suka mahasiswa dan mahasiswi bebas mengumbar perilaku seksual mereka di kampus? Tentu tidak. Sederhana saja alasannya, yaitu karena kampus memang bukan tempat melakukan aktivitas seksual. Sudah ada banyak peraturan terdahulu yang menegaskan soal itu.

Kedua, ini memang soal perbedaan basis nilai. Soal "persetujuan" dalam konteks hubungan seksual menjadi bahan perdebatan yang rumit dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) maupun RUU KUHP. Hubungan seksual yang berbasis pada persetujuan atau suka sama suka dianggap dibebaskan dalam kedua RUU itu, sehingga dituduh bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia. Tapi bagaimana bunyi nilai-nilai Indonesia yang dimaksud? Orang-orang yang keberatan itu ingin agar hubungan seks hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Mereka ingin negara mengatur seperti itu.

Sebaliknya, soal persetujuan itu mereka anggap tidak perlu ada bila kedua orang sudah dalam ikatan pernikahan. Vulgarnya, seorang suami tidak perlu persetujuan istri untuk melakukan hubungan seksual, karena itu sudah menjadi hak dia sebagai konsekuensi dari adanya pernikahan. Padahal nilai-nilai baru yang dianut dunia memberikan hak kepada perempuan untuk menolak hubungan seksual dalam pernikahan bila mereka yak menghendakinya.

Demikian pula, mereka ingin agar LGBT dilarang, karena agama (sering kali disamarkan dengan istilah "nilai-nilai luhur/budaya bangsa") melarang hal itu.

Kita mungkin akan menjadi minoritas di tengah nilai-nilai baru soal hubungan seksual yang sedang berkembang di luar sana. Celakanya, secara ekonomi kita sangat tergantung pada mereka, penganut nilai-nilai baru itu. Kita tak suka LGBT, tapi terus memakai produk-produk perusahaan pendukung LGBT. Bahkan banyak dari kita yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Konflik nilai ini akan terus berlanjut selama 10-20 tahun ke depan.




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork