Saat kecil saya suka menggambar, pun kerap ikut lomba melukis mewakili sekolah. Sampai pada akhirnya dapat julukan "pelukis". Sebuah julukan yang menguatkan eksistensi saya sebagai seorang seniman. Saya bisa agak jemawa saat berjalan masuk ke sekolah, seolah ada efek slow motion disertai musik latar film God of Gamblers yang diperankan Chow Yun-Fat.
Bercitra seorang seniman terbaik dan satu-satunya di sekolah, saya masih dianggap sebagai seniman ecek-ecek di kampung sendiri. Sebuah citra yang kerap digoyahkan oleh legenda menggambar di kampung saya. Kemampuan dan kehebatan anak itu terbukti dari piala dan beberapa gambar yang tertempel di dinding ruang tamu. Piala yang tak pernah saya miliki. Bukan karena saya tak pernah menang lomba. Tapi, karena tak ada uang untuk bikin duplikatnya.
Legenda itu lima atau empat tahun lebih tua dari saya. Setiap kali saya menang lomba menggambar, akan selalu ada warga atau teman sekampung yang bilang bahwa ada yang lebih pantas memenangkan lomba itu. Bahwa saya tak akan menang, bahkan tak akan diminta mewakili sekolah jika anak itu bisa ikut. Sebagai anak kecil yang diperlakukan begitu oleh orang-orang, terbersit rasa marah dan sedih. Dibandingkan dan tak diakui kemampuannya, tentu bikin saya merana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, rasa itu hanya sementara dan kerap hilang dengan sendirinya, terutama saat saya bertemu orangtuanya saat Lebaran. Selalu ada kisah lain yang saya dapatkan dari mereka. Bukan hanya kisah kehebatan dan kemampuan anaknya menggambar. Tapi, sebuah kisah tentang kehilangan. Kisah itu saya dapatkan pertama kali di Lebaran pertama setelah kematian anaknya, tepat saat saya kelas dua SD. Setiap ada yang masuk rumahnya, orang tuanya akan bercerita sembari menangis. Begitu juga di Lebaran kedua, ketiga, dan sampai akhirnya saya lupa sudah Lebaran yang ke berapa.
Saat saya SMP dan Lebaran datang, kisah yang kerap diulang itu sudah diceritakan dengan cara yang berbeda. Kisah kehilangan sudah berubah menjadi obrolan Lebaran dan sebuah obituari yang sama, namun terasa lain. Mereka mulai bercerita lagi perihal gambar-gambar bikinan anaknya yang ada di dinding ruang tamu itu. Sebuah kisah yang sebetulnya sama, namun seolah punya musik latar dan suasana yang berbeda. Kisah yang menurut mereka harus terus diceritakan ulang, sehingga punya efek yang menguatkan mereka. Mereka terlihat makin kuat dan saling menguatkan meski hanya hidup berdua.
***
Sebagai pemuda yang umum tanggane, saya kerap nyinom di acara layatan orang meninggal. Pada hari pertama setiap kali tamu datang, mau tak mau keluarga akan bercerita perihal bagaimana kematian itu terjadi. Lagipula sudah dipastikan obrolan semacam itu akan jadi tema utama. Misalnya tentang sakitnya, atau kronologi insiden yang terjadi. Semua itu akan terus diulang tiap kali ada tamu baru, yang juga datang dengan pertanyaan yang sama. Terkadang memang karena ingin tahu, sering juga sebagai basa basi semata. Tak ayal masih ada tangis dan keluarga yang belum bisa menerima tamu. Entah masih shock ataupun belum siuman dari pingsannya.
Biasanya semua berubah pada hari kelima atau ketujuh. Saat hari makin sibuk, selamatan akan dilangsungkan, mulai ada candaan, dan cerita itu sudah diulang ratusan kali. Mungkin rasa kehilangan, kesedihan, ada juga penyesalan, tentu belum lenyap. Namun, kisah yang kerap diulang itu memberi kekuatan. Sebagaimana berbagi rasa pada orang, yang kerap memberikan daya tahan dan rasa lega pada diri kita.
Setidaknya itu juga yang terjadi pada saya saat ada yang meninggal. Menerima tamu, bercerita tentang bagaimana seseorang meninggal, berbagi rasa kehilangan, didoakan, mengulanginya, hingga hati makin kuat, meski masih kehilangan. Apalagi jika bisa bertemu kawan, kerabat, atau orang spesial dan kekasih yang benar-benar dekat. Tapi, kesempatan semacam itu tak bisa dimiliki semua orang. Khususnya pada masa seperti sekarang ini.
Ada banyak orang yang tetap harus dirawat dan isolasi mandiri, tepat saat ia kehilangan orangtua, anak, atau mungkin pasangannya. Banyak yang tidak bisa melihat wajah dan mengantarkan keluarganya untuk terakhir kali. Tentu sangat berat dan mempengaruhi jiwa. Ada juga yang tak boleh dikunjungi rumahnya, membuat pengajian, menerima tamu, karena alasan protokol kesehatan dan lain sebagainya.
Ada banyak batasan yang menyebabkan seseorang tak bisa berbagi rasa dan mengulang kisah yang menguatkan dengan orang-orang terdekat. Mungkin lewat gawai manusia tetap bisa berkomunikasi. Namun, kehadiran dan perjumpaan langsung kadang lebih dibutuhkan.
Setiap dari mereka --para korban dari pandemi-- punya kisah yang beragam. Setiap kematian menyimpan kisah yang berbeda bagi orang-orang terdekatnya. Setiap kisah itu kadang ingin diceritakan dan dibagi, entah kepada siapa. Kisah kehilangan dan kematian memang tak bisa semuanya dibagi, apalagi dirangkum dengan mudah. Karena merangkum kisah tak semudah membuat daftar dan meringkasnya dalam angka-angka, atau persentase sebuah laporan kasus Covid-19. Namun, nyatanya memang begitu yang terjadi.
Selama ini kisah-kisah itu tak terlalu dianggap. Kematian dan penularan hanya dianggap bagian dari angka saja. Kematian dan persentase yang menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan penanganan pandemi di negara kita. Yang sayangnya dibalas dengan cara membandingkannya dengan jumlah korban jiwa negara lain, bukannya meninjau ulang kebijakan. Sebuah cara yang menyedihkan. Mau lebih sedikit atau lebih banyak, setiap kematian adalah kehilangan, dan setiap kematian memiliki kisahnya sendiri-sendiri yang tak bisa diwakilkan angka.
Kini muncul angka dan persentase baru lagi. Sebuah peringkat yang dianggap menunjukkan keunggulan kita dibanding negara lain. Sebuah kumpulan angka yang dianggap bisa menunjukkan keberhasilan penanganan pandemi. Menurunnya kasus adalah kabar baik, tapi tak bisa menghapus apa yang sudah terjadi. Saat angka-angka ini bisa diglorifikasi sebagai kisah keberhasilan, apa kabarnya ratusan ribu kematian beserta kisah-kisahnya itu?