Gara-gara membaca novel Toshikazu Kawaguchi yang berjudul Funiculi Funicula tentang perjalanan kembali ke masa lalu tanpa dapat mengubah apa yang terjadi pada masa kini, saya jadi bertanya-tanya. Apakah kita semua sebenarnya memendam keinginan untuk kembali ke masa lalu?
Terlebih jika aturan mainnya tak seperti dalam novel tersebut. Dengan kata lain, kembali ke masa lalu memungkinkan kita untuk mengubah masa kini dan masa depan. Wah, jadi langsung ketahuan dong, barisan panjang orang-orang yang seumur hidupnya dipenuhi penyesalan?
Ya, kita tidak mungkin terpikirkan untuk repot-repot kembali ke masa lalu apabila tidak ada perkara yang masih menjadi ganjalan di hati dan disesali. Bahkan kalau itu sesederhana dahulu tak pernah punya keberanian untuk bilang sayang pada gebetan semasa SMA, misalnya. Siapa tahu jodoh kita bisa berubah, kan?
Namun, rupanya Toshikazu Kawaguchi cukup bijaksana dalam menuliskan novelnya. Perjalanan kembali ke masa lalu tak dapat mengubah apa yang terjadi saat ini. Dari contoh penyesalan tak berani bilang cinta di atas saja, bila kita dapat mengubah takdir jodoh, berarti akan ada banyak orang yang patah hati di kala kita bersorak. Mereka adalah pasangan kita dan pasangan mantan gebetan kita.
Manusia dan penyesalan-penyesalannya memang cerita lama. Terlepas dari usaha kita untuk memijakkan kaki di masa kini dan fokus menatap masa depan, kita akan kerap pula menengok pada masa lalu. Bukan hanya lantaran kita punya leher, melainkan masa lalu membawa kita pada keadaan sekarang. Bahkan tidak pernah ada batas yang benar-benar jelas untuk dapat menghentikan akibat baik maupun akibat buruk dari setiap hal yang terjadi pada masa lalu kita.
Begitulah, persahabatan kita dengan penyesalan telah dimulai sejak hari diturunkannya manusia pertama di muka bumi ini. Jika demikian, menyesali masa lalu barangkali bukan kebiasaan yang buruk-buruk amat. Sebab kalau seburuk itu, pasti kita tidak akan bertahan sampai hari ini.
Kita memang tidak boleh hidup dalam cengkeraman masa lalu. Baik kita menyesalinya maupun membanggakannya akan sama saja buruknya sebab makin lama jarak waktu antara masa kini dengan masa lalu yang disesali atau dibanggakan itu membuatnya tak relevan lagi untuk terus dibahas.
Kita tak ubahnya seekor kura-kura yang menggendong tempurungnya ke mana-mana. Tempurung yang sama sejak ia kecil dan kelak tempurung itu pula yang menemaninya mengembuskan napas terakhir.
Apakah tempurung itu membebani si kura-kura? Mungkin saja. Namun barangkali juga tidak karena seiring membesarnya tempurung itu, tubuh kura-kura juga makin besar dan kuat. Bahkan kabar baiknya, tempurung yang sekeras batu itu menjadi tempatnya berlindung dari segala ancaman bahaya.
Jika pada masa lalu kita pernah amat berjaya lalu hari ini kita tumbang dan tak mampu bangkit lagi, setidaknya pada akhir usia kita dapat menghibur diri dengan, "Toh, setidaknya aku pernah mencicipi kejayaan. Lagi pula, terlalu lama berjaya sama buruknya dengan terlalu banyak makan dan minum atau menelan obat untuk mengusir penyakit. Kau akan mati juga karena keduanya."
Sebaliknya, apabila di masa lalu kehidupan kita begitu penuh ujian kemudian sekarang kita seperti menggenggam dunia hanya dengan sebelah tangan, dengan penuh rasa syukur dan sedikit congkak kita akan berkata, "Aku bersyukur masa lalu yang keras telah menempaku. Kalau masa laluku mudah, belum tentu aku bisa sesukses sekarang."
Jadi, seberapa besar keinginan Anda untuk kembali ke masa lalu dengan atau tanpa mampu mengubah masa kini? Anda tidak perlu merasa sangat puas pada kehidupan Anda sekarang untuk tak menginginkan perjalanan kembali ke masa lalu kok.
Marliana Kuswanti penulis lepas