Kemanusiaan Setelah Covid-19
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kemanusiaan Setelah Covid-19

Jumat, 05 Nov 2021 09:56 WIB
Andreas Maurenis
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Granny and granddaughter talking
Ilustrasi: Getty Images/eclipse_images
Jakarta -
Suasana psiko-sosial pandemi Covid-19 menciptakan rasa kehilangan banyak hal dalam kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri. Rasa kehilangan meneror kesadaran setiap individu, mulai dari taraf konvensional sampai ke taraf eksistensial.

Pada taraf konvensional, orang mengalami kehilangan momen berharga misalnya rasa terkoneksi. Ada unsur persahabatan yang telah dibangun, yang mungkin, karena pandemi membuat orang jarang berjumpa dan berkumpul bersama. Suasana seperti ini seringkali menyisakan ketakutan dan kecemasan. Orang dapat saja merasa ditinggalkan dan tercerabut.

Sementara pada taraf eksistensial, pandemi menciptakan kehilangan yang paling kuat yakni kehilangan kehidupan secara total (kematian).

Barangkali benar dan jarang kita renungkan bahwa setiap tujuan hidup yang dibuat manusia adalah ikhtiar untuk mengatasi rasa kehilangan itu sendiri. Orang bekerja keras mendapatkan banyak uang, membeli rumah mewah, dan memiliki mobil bukan saja untuk bahagia, tetapi barangkali dimotivasi oleh perasaan takut kehilangan kesempatan tersebut selama hidupnya.

Orang memutuskan untuk mengurangi konsumsi daging tidak hanya untuk menurunkan tingkat kolesterol yang semakin tinggi, tetapi karena ada ketakutan dan kecemasan kehilangan kehidupan di waktu dekat. Ernest Becker dalam bukunya The Denial of Death (1973) mengkonfirmasi tentang kondisi ini. Secara mendalam Becker mengatakan bahwa aktivitas dan kreativitas hidup sehari-hari sebetulnya dikendalikan oleh ketakutan akan kehilangan hidup serentak menjadi proyek untuk "mengatasi" ketakutan tersebut.

Primo Levi, seorang novelis Italia, dalam bukunya The Drowned and the Saved (2017) mengatakan, tujuan-tujuan dalam hidup adalah pertahanan terbaik melawan kematian. Singkat kata, hidup itu seumpama penyangkalan demi penyangkalan atas maut (kematian). Ketakutan dan kecemasan akan kehilangan pada akhirnya memotivasi manusia untuk menghayati hidupnya secara intensif termasuk melalui teknologi.

Maka tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa rasa kehilangan -dari yang konvensional sampai ke yang eksistensial- justru serentak menstimulasi manusia untuk hidup lebih berkualitas, menghayati hidupnya secara lebih intensif, mendalam, dan bermakna lebih. Dari perspektif ini, mestinya hal yang sama berlaku dengan Covid-19. Dalam arti, penderitaan yang dialami selama pandemi perlu dimaknai secara serentak sebagai kesempatan membangun harapan masa depan.

Pandemi Covid-19 tak harus selalu "dibaca" sebagai bencana, melainkan peluang membangun tatanan hidup baru. Dari suasana kehilangan akan banyak hal tersirat harapan. Pandemi ini pasti akan berakhir. Manusia akan memulai dunia baru. Covid-19 dapat memberi pengalaman berharga untuk tidak mengulang cara lama seperti pendekatan terhadap teknologi yang destruktif.

Pandemi menyingkap sesuatu yang keliru dengan akar keyakinan yang kita hidupi saat ini sehingga perlu diubah. Misalnya, sensibilitas atas dunia sebagai satu jaringan yang semakin pudar. Singkatnya, rasa kehilangan itu adalah narasi yang sebetulnya konstruktif. Narasi yang mampu membangkitkan kesadaran untuk berubah.

Kita tak bisa menampik bahwa ada begitu banyak persoalan eksistensial dasar yang cenderung ambigu dan paradoks menggelembung dari bilik kehidupan manusia modern. Maka dengan berbagai bentuk kehilangan yang dialami selama pandemi, sebetulnya manusia hendak dibenturkan kembali pada persoalan-persoalan dasar tersebut.

Mungkin Covid-19 ini mesti terjadi sehingga manusia dapat belajar sesuatu darinya. Tentu tidak hanya tentang jaga jarak, cuci tangan, atau memakai masker, tetapi ada sesuatu yang bermakna lebih dari sekadar tindakan preventif darurat tersebut. Dengan sama-sama terdampak oleh bencana global mestinya ada pelajaran tentang humanisme universal yang dipetik.

Kemunduran

Covid-19 mungkin menjadi puncak dari berbagai macam virus yang sudah menginfeksi peradaban manusia modern. Virus "ruh" yang mengkolonisasi tubuh dalam hidup beragama (Dawkins) sehingga melahirkan "tuhan-tuhan baru atas sesama", virus bahasa yang mengerangkeng persepsi (Tolstoy) sehingga seringkali melahirkan kecurigaan, atau virus ideologi yang meracuni manusia dengan fake news, hoaks, dan umpatan kebencian (Zizek).

Kenyataan yang menyeruak akibat infeksi virus-virus modern tersebut adalah degradasi kemanusiaan: hidup manusia semakin berjarak dan arti sesama semakin kabur. Penyebabnya adalah keyakinan hidup yang berakar pada rasionalitas kemajuan yang tidak hanya memajukan, tetapi justru menciptakan lebih banyak kemunduran. Fakta lain dari fenomena ini adalah Covid-19 sedang membongkar praktik industrial genocide yang mempertaruhkan nasib kemanusiaan di bawah ideologi kemajuan melalui mesin-mesin dominasi yaitu sains, modal, dan teknologi.

Maka berbagai kehilangan yang dialami selama pandemi perlu direnungkan dan dihadapi khususnya diterima sebagai cerminan keadaban lama bangsa manusia. Pandemi Covid-19 menjadi seperti cermin yang memantulkan kenyataan-kenyataan yang telah berlangsung selama peradaban manusia hari-hari ini. Bahwa modernitas yang membingkai peradaban kini, selain memajukan ternyata turut menciptakan kemunduran kemanusiaan yang signifikan.

Teknologisasi serentak melahirkan teknokrasi. Humanisasi lewat teknologi melahirkan teknologi yang mendehumanisasi. Dengan begitu, kehilangan banyak hal akibat bencana global Covid-19 seharusnya tidak dilihat sebagai persoalan yang sama sekali baru. Karena memang potret kehilangan telah menjadi berkas yang menumpuk dalam dinamika peradaban bahkan mungkin kondisinya jauh lebih miris dari suasana Covid-19.

Pandemi Covid-19 membongkar potret-potret kehilangan itu khususnya persoalan-persoalan eksistensial dasar seperti refleksi tentang posisi manusia di seluruh semesta, tentang pentingnya peran orang lain, dan tentang makna kehidupan. Sisi-sisi itu dibongkar dan dipajang kembali untuk membangunkan kesadaran manusia modern. Karena itu krisis ini dapat menjadi momentum untuk melihat kembali tingkat keadaban bangsa manusia yang faktanya masih dinaungi oleh individualisme, "kelompokisme", ketidakadilan, penyintasan brutal, konspirasi, dan kecurigaan: hal-hal yang cenderung membuat manusia terperosok ke jurang penghancuran diri.

Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Kehidupan bangsa kita sendiri misalnya. Beragam situasi paradoks melekat erat dalam tubuh bangsa Indonesia. Antusiasme beragama juga prasangka ideologis dan rasis menjadi normalitas sehari-sehari yang membutakan warga bangsa sehingga menimbulkan beragam sisi kontraproduktif dalam bernegara.

Maka bukan hanya karena Covid-19 manusia mengalami kehilangan yang signifikan, tetapi di aras realitas kehidupan normal (kenormalan lama) manusia sebetulnya telah kehilangan banyak hal terutama sikap mental dasar, hal-hal yang berkenaan dengan dasar eksistensi manusia. Dalam bahasanya Only Love is Real (1996) karya Brian Weiss, manusia kehilangan hakikat terdalam energi yaitu cinta (kasih, welas asih) dan turunannya: empati, penerimaan, penghargaan, kerendahan hati, kedamaian, keadilan, dan keindahan.

Energi-energi inilah yang sebetulnya mentransendensi hidup manusia menjadi lebih bermakna, memiliki kedalaman dan memampukannya melihat nilai-nilai intrinsik kehidupan yang ada di sekitarnya. Sayangnya energi-energi ini perlahan-lahan menguap karena basis kehidupan modern yang cenderung berdiri di atas antroposentrik naif, kapitalistik, dan mekanistik yang lebih banyak menyengsarakan.

Covid-19 bisa jadi sebuah peluang untuk menggali dan menemukan kembali energi-energi tersebut di kedalaman perangkap modernitas. Dengan kata lain Covid-19 adalah hikmah ke arah pertumbuhan lebih besar. Hikmah berarti ada sesuatu yang salah dengan peradaban sehingga manusia harus belajar memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Maka pertumbuhan yang dimaksud adalah pertumbuhan yang tidak hanya berdasar pada teknologi dan data tetapi diolah berdasarkan makna: cara bersikap, cara berpikir, dan nilai-nilai yang mesti diprioritaskan dalam hidup.

Covid-19 seakan sedang membongkar kenyataan di balik kegemilangan modernitas bahwa kecanggihan peradaban dengan perangkat-perangkat fisiknya ternyata sangat rapuh. Covid-19 menyadarkan individu untuk mempertanyakan kembali pilar-pilar fundamental peradaban saat ini. Bahwa sains, modal, dan teknologi sama sekali tidak berarti jika dibangun di atas ketidakadilan terhadap kehidupan. Ketimpangan adalah bentuk dari ketidakadilan tersebut.

Ketimpangan dunia modern adalah menaruh "kemajuan" setinggi langit dan dikejar tanpa batas. Kehidupan diintervensi secara teknokratif tanpa peduli pada prinsip alamiahnya yaitu seluruh alam semesta ini terhubung sebagai sebuah jejaring. Bahwa merusak salah satu bagian akan menimbulkan ketimpangan secara keseluruhan. Prinsip ini diabaikan atas nama kesejahteraan, yang juga bermasalah. Kesejahteraan semua orang atau segelintir orang? Hanya untuk manusia atau termasuk alam sebagai sumber utama kehidupan? Ini adalah realitas sangat kompleks sekaligus paradoks.

Namun modernitas dengan rasionalitas kemajuan sebagai prinsip kerjanya terus melakukan distingsi atas seluruh kehidupan. Tak sebatas distingsi, dominasi modernitas sekali lagi membuat distansi bahkan dengan sikap dominatifnya membuat divisi terhadap seluruh yang ada di alam semesta. Dari sinilah cikal bakal ketimpangan peradaban dan manusia modern kehilangan koneksi, keterhubungan, kelekatan dengan sumber kehidupan. Pada taraf paling sublim, kematian tak terhindarkan oleh karena kelaparan, penyakit, dan perang, yang juga merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari penerapan rasionalitas kemajuan secara brutal.

Harapan

Perspektif tentang sains dan teknologi yang cenderung menyebabkan kemunduran peradaban tidak sama sekali bermaksud mengingkari kebaikan yang diberikannya kepada manusia sepanjang sejarah. Hanya saja konsep kemajuan yang dibawa seringkali melupakan keadilan terhadap kehidupan. Maka wabah-wabah global yang pernah menginfeksi peradaban seperti Black death, Ebola, MERS, SARS, dan termutakhir Covid-19 adalah bukti langsung maupun tidak langsung dari ketidakadilan dalam penerapan sains dan teknologi.

Disinyalir dapat meminimalisasi ketakutan dan kecemasan akan rasa kehilangan, teknologi justru menciptakan ketakutan dan kecemasan yang lebih mengerikan. Maka keyakinan kehidupan yang bersandar pada sains (terutama di era Industri Revolusi 4.0) tanpa keadilan terhadap entitas-entitas di dalam semesta ini tidak boleh diulang supaya tidak menimbulkan banyak kehilangan ketika terjadi ekses-ekses mematikan seperti pandemi Covid-19. Maka, mengharapkan bahwa wabah ini berakhir selaras dengan komitmen mengubah kebiasaan lama. Manusia tidak dapat berharap pada hal-hal baru yang lebih baik tanpa mau mengubah kebiasaan lama yang buruk.

Kata lain, ke-normal-an baru hanya bisa dibangun di atas puing-puing ke-normal-an lama. Pola lama perlu dibongkar terlebih dahulu sebab di sana telah tertanam berbagai sisi paradoks sehingga harapan pada hal-hal baru yang lebih baik dapat terealisasi. Untuk itu, kemanusiaan setelah pandemi Covid-19 adalah kehidupan yang mengedepankan keadilan. Namun keadilan selalu mengandaikan adanya sikap saling peduli.

Peduli dalam konteks Covid-19 adalah momentum untuk belajar melihat orang lain sebagai sesama manusia yang substansinya sama dengan kita terlepas dari latar belakang agama, ras, bangsa dan budaya. Pandemi Covid-19 adalah peluang menjadi lebih makhluk sosial daripada sekadar menjadi manusia. Membuat kita tidak hanya hidup bertetangga, tetapi saling merasa sebagai saudara.

Tentu hal-hal ini perlu komitmen dan tingkat kesadaran yang lebih tinggi, berangkat dari konteks lokal menuju ke konteks global. Itu sebabnya kita butuh kerja sama global. Singkatnya, kemanusiaan pasca pandemi adalah persaudaraan sosial-global dengan bersimpuh pada penghargaan atas kekayaan anugerah dan keunikan masing-masing orang dan bangsa.

Pada akhirnya saya pun berharap bahwa dengan sama-sama terinfeksi oleh krisis global, pandemi Covid-19, kita semua pun "terinfeksi" oleh kebutuhan untuk naik ke level kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran untuk membangun komunitas manusia yang dilandasi persaudaraan sosial-global. Kesanggupan pada komitmen ini akan membuahkan keadilan terhadap kehidupan. Dengan berkeadilan kita meminimalisasi berbagai bentuk kehilangan, secara konvensional dan maupun secara eksistensialis.
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads