AUKUS dan Ujian Politik Bebas Aktif
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

AUKUS dan Ujian Politik Bebas Aktif

Kamis, 04 Nov 2021 15:09 WIB
Rafli Zulfikar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Aukus: Mengapa pakta pertahanan Inggris, AS, Australia prioritaskan pembuatan kapal selam untuk tangkal China di Indo-Pasifik?
Foto ilustrasi: BBC World
Jakarta -

Bom waktu itu bernama aliansi militer AUKUS. Diumumkan pada 15 September 2021, AUKUS menjadi ancaman paling serius kestabilan Asia Pasifik. Aliansi ini mengikuti diktum hukum realisme dalam hubungan internasional yang mengatakan bahwa negara-negara akan memaksimalkan keamanan dan kekuatan mereka sehingga persaingan militer antar negara tak terhindarkan.

Salah satu pemicunya adalah kesepakatan kapal selam bertenaga nuklir antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Tidak mengagetkan sebenarnya kesepakatan kapal selam tenaga nuklir AUKUS apabila dilihat dalam kerangka keamanan kawasan karena John Mearsheimer (2014) dalam tulisannya Can China Rise Peacefully di National Interest mengatakan, "If the China continues growing rapidly, the US will once again face a potential peer competitor, and great-power politics will return in full force."

Kali ini Mearsheimer benar, kebangkitan China sebagai salah satu kekuatan besar yang mengancam hegemoni AS dan membuat AS harus datang dengan kekuatan penuh di Asia Pasifik. Keputusan yang rasional bagi AS untuk mengamankan hegemoni begitu juga bagi Australia yang terus bersitegang dengan China. Pakta AUKUS dan kesepakatan Kapal Selam bertenaga nuklir menjadi bagian detterence Australia dalam menentukan posisinya di Asia Pasifik

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu bagaimana dengan Indonesia dalam mengambil sikap melihat "pertengkaran" di depan halaman rumahnya? Sejauh ini Kementerian Luar Negeri memilih untuk bersikap hati-hati dalam melihat konflik. Sikap yang sebenarnya lebih pada memilih business as usual untuk melihat "pertengkaran" di halaman rumah.

Sikap yang demikian dapat dipahami sebagai sikap politik berhaluan bebas aktif yang menjadi doktrin politik luar negeri (polugri) Indonesia. Tetapi dalam situasi yang dinamis dan terus berubah, apakah politik bebas aktif yang cenderung membelenggu polugri Indonesia dalam merespons situasi global dan regional masih sangat relevan bagi kepentingan nasional Indonesia?

ADVERTISEMENT

Pro dan kontra terhadap sikap politik bebas aktif yang seringkali dimaknai oleh Pejambon sebatas sikap seruan damai sudah tidak lagi relevan. Dalam situasi yang dinamis dan kompleks, polugri bebas aktif perlu ditafsirkan lebih dari sekedar selama "tidak masuk rumah dan memporak-porandakan isi rumah" kita tidak perlu mengambil sikap yang beresiko. Polugri Indonesia perlu lebih agresif dan kontekstual karena Indonesia sebagai middle power yang dominan di ASEAN harus mengambil sikap jelas dan lugas

Mengapa demikian? Paska aliansi tripartriat AUKUS, arsitektur Indo Pasifik akan berubah sangat signifikan dari arsitektur regionalisme yang damai menjadi anarkis. Mengharapkan arsitektur Indo-pasifik yang menguntungkan semua pihak perlu diterjemahkan ulang apabila negara-negara yang menginisiasi indo Pasifik membiarkan pertengkaran yang terjadi di Indo Pasifik.

Meninjau Ulang Bebas Aktif

Imajinasi arsitektur polugri bebas aktif yang bertumpu pada keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) seringkali dimaknai oleh Pejambon dengan kebijakan polugri yang mirip dengan nilai-nilai Jawa "ewuh pakewuh". Sikap polugri yang demikian akan berjalan ketika asumsi dasar dynamic equilibrium terpenuhi yaitu kondisi yang ditandai dengan tidak adanya kekuatan yang dominan. Faktanya, realitas hubungan internasional selalu asimetris antara major power dengan middle power.

Sikap Indonesia yang normatif sebenarnya memiliki pijakan ketika polugri bebas aktif era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tertuang dalam visi milion friend zero enemy di mana Indonesia selalu memposisikan diri sebagai juru damai dan mendorong negosiasi dan kerja sama dalam penyelesaian permasalahan global. Tetapi memasuki era Presiden Joko Widodo orientasi polugri mengalami perubahan di mana polugri yang lebih asertif dengan tegas seperti dalam merespons Natuna

Perubahan orientasi polugri yang semula lebih mengedepankan negosiasi menjadi asertif berpijak pada fondasi teoritis relational power dan meta power. Rifki Alif Alvian, dkk (2018) dalam Haluan Baru Politik Luar Negeri Indonesia: Perbandingan Diplomasi 'Middle Power' Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo menjelaskan bahwa terjadi perubahan orientasi polugri dari SBY yang lebih condong relational power; negara memenuhi kepentingan nasional dengan mengikuti rule of the game dari rezim internasional, sedangkan pada era Jokowi sebaliknya, polugri lebih banyak condong pada meta power; negara berusaha mengubah rule of the game dari rezim internasional demi kepentingan nasionalnya. Sayangnya, kebijakan polugri yang asertif dengan kecenderungan meta power tidak diperagakan dalam merespons AUKUS.

Padahal dalam situasi yang anarkis dan berlaku hukum "survival of the fittest" dalam arena internasional, polugri bebas aktif harus diterjemahkan ulang lebih merujuk model meta power. Apabila arsitektur Indo-Pasifik pra AUKUS, model relational power yang lebih pada consensus builder, bridge builder atau sebatas seruan-seruan relevan, maka Indo- Pasifik pasca AUKUS model meta power yang lebih asertif sangat relevan bagi Indonesia agar sebagai negara middle power diperhitungkan.

Indonesia sebenarnya membuka langkah kuda yang baik dalam bidak permainan di Asia Pasifik dengan menjadi pemain itu serta mendorong arsitektur Indo-pasifik yang menguntungkan "semua pihak", tetapi munculnya AUKUS yang akan menjadi game changer di Asia Pasifik dan mengubah permainan. Indonesia tidak bisa lagi business as usual atau bahkan malah salah kalkulasi.

Merespons AUKUS harusnya polugri Indonesia memulai dengan pembukaan yang agresif seperti permainan sicilian defense dalam catur yang diperagakan Beth Harmon ketika mengalahkan Vasily Borgov dalam serial Netflix The Queen's Gambit. Karena kalau tidak, Indonesia selamanya akan dihitung sebagai negara yang powerless dan kita terus delusional karena menganggap Indonesia sebagai negara besar. Permainan kali ini masih opening, belum endgame; masih banyak waktu bagi Indonesia terutama Pejambon untuk mereposisi dan mengatur ulang strategi memenangkan permainan.

Rafli Zulfikar mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Padjajaran

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads