Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) yang mengatur Dewan Pers tengah diuji. Melalui registrasi Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021, para Pemohon yang terdiri dari Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian, dan Soegiharto Santoso memohonkan pengujian dua norma ihwal fungsi Dewan Pers kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Pertama, Pasal 15 Ayat (2) huruf f yang mengamanatkan Dewan Pers sebagai fasilitator bagi organisasi pers untuk penyusunan peraturan dan peningkatan kualitas profesi kewartawanan yang dinilai kurang definitif. Hemat Pemohon, Dewan Pers memonopoli pembentukan peraturan-peraturan di wilayah kerja pers sehingga diduga bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Kedua, Pasal 15 Ayat (5) yang mensyaratkan keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Berpijak pada ketentuan Pasal 15 Ayat (1) yang mensyaratkan independensi Dewan Pers dan dugaan monopolistik, para Pemohon pada 2018 mendirikan Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia yang kemudian menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019. Kongres ini Dewan Pers Indonesia (DPI) yang kemudian struktur organisasinya diajukan kepada Presiden untuk memperoleh legalitas melalui Keputusan Presiden. Namun hingga kini surat Rekomendasi Hasil Kongres Pers Indonesia 2019 tersebut belum mendapat respons Presiden.
Keadaan itu menjadi alasan permohonan Pasal 15 Ayat (5) yang diduga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 karena dinilai menghalangi berdirinya DPI. Pemohon kemudian meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 15 Ayat (5) UU Pers inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis.
Sebagai respons atas perkara yang tengah diadili MK tersebut, LBH Pers Padang menggelar diskusi bertajuk Dewan Pers Monopolistik, Benarkah?. Dipandu oleh peneliti LBH Pers Padang, Ilhamdi Putra, diskusi virtual yang digelar Sabtu (16/10) menghadirkan Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hendra Makmur, dan Ahli Hukum Pers sekaligus mantan Direktur LBH Pers Padang, Roni Saputra, sebagai narasumber.
Hendra Makmur dalam paparannya menganalisis substansi perkara melalui pendekatan originalitas berdasarkan memorie van toelichting UU Pers. Dari dokumen babon lebih 1.200 halaman tersebut, Hendra mengurai isu independensi Dewan Pers pada Pasal 15 Ayat (5) yang sempat dipertanyakan oleh Fraksi ABRI yang kala itu turut merancang UU Pers. Terdapat dua poin yang menjadi pokok persoalan, yakni keterlibatan negara dalam pendanaan Dewan Pers dan penetapan anggota Dewan Pers melalui Keppres.
Hemat Fraksi ABRI, apakah dua hal itu tidak mengganggu independensi Dewan Pers dalam menjalankan fungsinya. Pemerintah yang mengajukan rancangan undang-undang memberi pandangan bahwa keterlibatan negara dalam pendanaan Dewan Pers bukanlah bentuk intervensi. Sebab Dewan Pers pada praktiknya akan memperoleh dana lainnya dari organisasi pers dan perusahaan pers yang bernaung sebagai konstituen, inilah sumber dana utama. Di sisi lain, bantuan dana dari negara merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk meningkatkan kehidupan pers nasional.
Sementara penetapan anggota Dewan Pers melalui Keppres adalah bentuk pengukuhan yang berupa legalitas, sebab terdapat ketentuan pada Pasal 15 Ayat (3) yang secara eksplisit merinci siapa saja yang dapat menjadi anggota Dewan Pers. Ketentuan ini menutup jalan masuk negara untuk mengintervensi karena tidak menempatkan wakil pemerintahan di dalam organisasi. Hal ini berbeda dari Dewan Pers pada masa Orde Baru yang tidak lain merupakan perpanjangan tangan rezim dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua ex-officio. Legalitas melalui Keppres secara langsung juga menyejajarkan Dewan Pers dengan lembaga negara lainnya, seperti Kepolisian atau Kejaksaan Agung, dalam menjalin kerjasama melalui nota kesepahaman.
Hendra menambahkan, undang-undang yang dibahas dalam waktu 15 hari di masa-masa menggeloranya semangat reformasi ini dipenuhi oleh perdebatan demi mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional. Misalnya ketentuan Pasal 15 Ayat (2) huruf f yang menempatkan Dewan Pers sebagai fasilitator pembentukan peraturan. Semula ketentuan ini tidak diakomodir dalam draft, namun ketika pembahasan bersama DPR, Fraksi Karya Pembangunan mengajukan gagasan ihwal penambahan fungsi Dewan Pers sebagai fasilitator terhadap konstituennya yang mewadahi pembentukan peraturan. Efek dari ketentuan ini adalah peran nyata pers nasional dalam membentuk payung hukum (self regulation).
Sebagai proyeksi atas perkara yang tengah bergulir, Roni Saputra melihat ada kerancuan pada pokok permohonan yang bukan konflik norma, namun berada pada praktik norma. Petitum yang diajukan Pemohon dengan meminta Mahkamah mengubah makna Pasal 15 Ayat (2) huruf f rentan menimbulkan persoalan-persoalan baru. Misalnya dengan membandingkan keadaan saat ini, keberadaan Dewan Pers selaku fasilitator pembentukan peraturan justru bertujuan sebagai bentuk sinkronisasi dan harmonisasi peraturan yang ada. Bilamana masing-masing organisasi pers diberi kewenangan sebagai regulator, hal itu justru memperkeruh peraturan di satu wilayah dan berpotensi besar menimbulkan konflik norma antara regulasi organisasi yang satu dengan organisasi yang lain.
Keadaan tidak jauh berbeda juga terjadi pada Pasal 15 Ayat (5). DPI yang dimotori para Pemohon adalah contoh yang dapat ditarik dari paparan Roni, bahwa DPI merupakan lembaga yang tidak memiliki nomenklatur sebagaimana Dewan Pers. Jikalau berandai-andai Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon, organisasi-organisasi pers yang tampil minus profesionalisme dipastikan menjamur. Keadaan ini patut diwaspadai, sebab akan berimbas pada Kode Etik yang variatif disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan organisasi dan ketidakjelasan lembaga penegak Kode Etik tersebut. Hal ini tentunya merusak profesionalisme pers, yang terjadi kemudian bukanlah kebebasan pers namun justru kebablasan, jelas Roni.
Kautsar turut memberi warna di tengah diskusi dengan menyoroti penafsiran Pemohon pada dua norma yang dimohonkan kepada MK. Berdeba dari paparan Roni yang menilai seharusnya uji konstitusionalitas berada di ranah konflik norma, pengacara senior ini menghubungkan tupoksi MK sebagai peradilan konstitusional yang kerap menghubungkan antara law in books dan law in action. Hematnya, tidak ada yang salah dari paradigma yang dirangkum Pemohon sebagai alasan permohonan karena mengajukan ketidaksesuaian antara law in books dan law in action. Terlebih seputar peraturan Dewan Pers, telisiknya, apakah benar peraturan itu telah melibatkan seluruh konstituen Dewan Pers.
Menanggapi pandangan Kautsar perihal isu monopoli peraturan oleh Dewan Pers, Roni memberi penjelasan berbasis data yang dicantumkan dalam website dewanpers.or.id. Bahwa regulasi yang dikeluarkan hanya berupa pengesahan oleh Dewan Pers atas kesepakatan antarorganisasi pers dan wartawan. Hendra turut angkat bicara terkait isu ini, sebagaimana yang didalilkan Pemohon dengan mengajukan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers.
Hendra mengungkap dokumen yang tercantum pada dewanpers.or.id yang menunjukkan bukti bahwa peraturan tersebut terlebih dahulu disetujui oleh 27 organisasi pers. Selain itu bukti Dewan Pers sebatas fasilitator dalam pembentukan peraturan juga ditandai dengan dicantumkannya kesepakatan organisasi pers sebagai konsideran pada Peraturan Dewan Pers. Artinya, peraturan tersebut memang dibuat oleh organisasi pers dengan fasilitas yang diwadahi oleh Dewan Pers, sehingga isu monopolistik pembentukan peraturan oleh Dewan Pers hanyalah tudingan Pemohon.
Di tengah diskusi, Abdi, pimpinan salah satu media di Padang, angkat bicara dengan menyoroti para Pemohon. Menurutnya, latar belakang dimohonkannya pengujian dua norma ini oleh para Pemohon tidak lain dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi persyaratan yang telah disetujui bersama. Pendataan pers, misalnya. Di sisi lain Abdi menilai adanya gengsi para Pemohon untuk melibatkan diri pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang menjadi standar di Dewan Pers. Akibatnya, langkah para Pemohon untuk berperkara merupakan upaya pencarian jalan agar mereka mendapat kebebasan menjalankan "bisnis pers" dengan menggoyang eksistensi Dewan Pers. Hal itu justru kontraproduktif dengan misi bersama yang hendak meningkatkan nilai tawar Dewan Pers dalam menjalankan undang-undangnya.
Menanggapi pernyataan itu, Direktur LBH Pers Jakarta, Ade Wahyudin, menggambarkan latar belakang perihal mengapa Pasal 15 Ayat (2) huruf f dan Pasal 15 Ayat (5) UU Pers dimohonkan uji konstitusionalitasnya. Bermula dari demonstrasi asosiasi pers kepada Dewan Pers terkait perlindungan jurnalis di daerah medio 2018 yang berujung pada didirikannya Sekber Pers Indonesia oleh Pemohon. Hal itu mengakibatkan Dewan Pers mengeluarkan Surat Nomor: 371/DP/K/VII/2018 tanggal 26 Juli 2018, Perihal:
Protes sejumlah orang yang mengatasnamakan wartawan, organisasi wartawan, maupun perusahaan pers. Surat ini ditujukan kepada Mensesneg, Menkopolhukam, Menkominfo, Mendagri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur Lemhanas, Para Pimpinan BUMN/BUMD, Para Karo Humas dan Protokoler Pemprov, Pemkab, Pemkot se-Indonesia, dan para pimpinan perusahaan. Dalam surat ini Dewan Pers menyatakan tidak mengenal organisasi pers selain yang terverifikasi sebagai konstituen Dewan Pers.
Surat inilah yang kemudian digugat secara perdata oleh Pemohon I di pengadilan tingkat pertama dan banding. Masing-masing dengan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 235/Pdt.G.2018/PN.Jkt.Pst dan Putusan PT DKI Jakarta Nomor 331/Pdt/2019/PT.DKI, yang mana kedua putusan itu menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Pada dasarnya, lanjut Ade, selain menyangkut perlindungan wartawan di daerah, gugatan itu lebih mengerucut kepada aturan kewajiban wartawan untuk mengikuti UKW.
Sementara surat Dewan Pers mengakibatkan pemerintah di banyak daerah menghentikan bantuan dana kepada organisasi pers lokal. Sebagai gantinya, organisasi pers lokal harus mengikuti mekanisme verifikasi kepada Dewan Pers agar mendapat bantuan dana yang bersumber dari APBD. Hal ini juga ditujukan agar organisasi pers lokal dapat menjaga profesionalisme organisasi jurnalistik sebagai prasyarat untuk mendapat sokongan pendanaan. Singkat kata, perkara yang bermuara kepada uji konstitusionalitas ini didasari oleh alasan reifikasi.
Sebagai pernyataan penutup, dalam perkara uji konstitusionalitas Pasal 15 Ayat (2) huruf f dan Pasal 15 Ayat (5) UU Pers ini, Roni berharap akan bergabungnya organisasi aktivis pers sebagai amicus curiae sebagai bentuk dukungan kepada Dewan Pers. Bahwa Petitum yang menghendaki MK memberi penafsiran lain pada norma yang sudah jelas maknanya berpotensi disruptif dan mengganggu ekosistem pers nasional. Di samping itu Roni juga mengingatkan pentingnya koalisi Wartawan Antikekerasan yang dulu pernah eksis untuk kembali digiatkan di kota Padang, mengingat momentum pengujian ini dirasa merupakan waktu yang tepat untuk kembali merapatkan barisan.
Sebab kebebasan berkespresi dalam kerangka kecil maupun kerangka besar merupakan nilai yang harus terus diaktualkan. Sementara itu Hendra dalam pernyataan penutupnya mengapresiasi LBH Pers Padang yang kembali bergiat setelah tertidur sekian tahun. Harapannya tentu kegiatan LBH Pers Padang bersama punggawa mudanya akan berkesinambungan dan mengaktualkan nilai-nilai kebebasan berekspresi, serta kemerdekaan pers yang profesional.
Hemat Direktur LBH Pers Padang, Aulia Rizal, kembali bergiatnya LBH Pers Padang adalah upaya membentuk diskursus seputar isu-isu yang secara konstitusional dimandatkan kepada Dewan Pers. Terkait substansi diskusi, Aulia menilai upaya para Pemohon merupakan hak konstitusionalitas yang harus dihormati, terlepas dari siapa dan apa tujuan pengujian tersebut dan apa dampaknya bagi ekosistem pers. Namun demikian isu monopolistik Dewan Pers yang didalilkan para Pemohon merupakan diskursus yang sangat menarik untuk diulas guna mendudukkan bagaimana sejatinya eksistensi Dewan Pers, dan mengurai adakah indikasi bahwa lembaga independen tersebut memang monopolistik sebagaimana tudingan Pemohon.
Untuk itu, LBH Pers Padang mengambil peran untuk memfasilitasi diskusi yang bersinggungan secara langsung dengan iklim demokrasi dan keterbukaan informasi yang tengah diuji di tengah represifnya pemerintahan hari ini. Diskusi ini tidak lain berupaya menjernihkan isu yang tengah berkembang dan menandai posisi LBH Pers Padang sebagai salah satu lembaga yang turut berjuang menegakkan kemerdekaan pers yang profesional dan menjaga iklim demokrasi yang sehat, tandas Aulia.
Ilhamdi Putra peneliti LBH Pers Padang