Seorang teman menggerutu. Dia akademisi, mengajar di beberapa kampus, dan kadang menulis juga di banyak media. Musabab gerutuannya adalah kabar yang tempo hari tersebar, tentang seorang selebgram yang tarif posting-an endorse-nya puluhan juta.
"Kita ini ya, Bro sudah menulis pake mikir berat-berat sampai pusing, kadang buka referensi macam-macam, belum lagi harus cari ide dan menata analisis yang kuat, eh, honor dari media cuma ratusan ribu. Lah itu selebgram, nulis satu caption ecek-ecek sambil goyang-goyang aja dapatnya empat puluh lima jeti! Piye, jal?"
Saya tersenyum B aja. Bukan sekali-dua kali saya mendengar ratapan serupa. Bahkan kalau urusannya dengan para penulis, itu jadi keluhan default, yang awalnya membuat saya prihatin tapi lama-kelamaan malah bikin saya geli sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menulis memang tidak segampang yang dibayangkan orang. Bohong kalau ada yang ngomong menulis itu gampang. Yang gampang itu mengetik, sedangkan menulis membutuhkan kemampuan menggali ide, keterampilan menata struktur pikiran, kecanggihan dalam menyodorkan argumen yang logis dan kuat, dan sebagainya.
Maka, wajar saja ada penulis yang seperti kawan saya tadi. Dia tersinggung karena jerih payah intelektualnya seolah tercampakkan di hadapan segala kemegahan hidup para selebgram.
Di satu sisi, saya setuju saja dengan kawan saya. Penghargaan atas hal-hal yang berbau ilmu pengetahuan memang masih rendah di negeri ini. Gaji dosen dan peneliti pun rasanya masih kalah sama penghasilan youtuber tukang cover lagu. Tapi di sisi lain, kawan saya itu sebagai penulis juga kurang jeli dalam memetakan masalah.
Begini, maksud saya. Dia bilang bahwa tulisannya dibayar murah, sedangkan caption bikinan para selebgram dihargai puluhan juta. Artinya, dia sedang memperhadapkan antara dua produk: tulisannya versus takarir bikinan si selebgram. Masalahnya, pola pasar yang sedang berjalan sesungguhnya tidak seperti itu.
Coba perhatikan lagi. Apa yang dibayar oleh media kepada si penulis? Benar, tulisannya. Gagasannya. Keterampilannya meracik kata-kata. Lalu apa yang dibayar oleh industri kepada si selebgram? Ide cemerlang dia? Kelihaiannya dalam menampilkan diksi yang membius pada takarir unggahan-unggahan IG-nya? Tentu saja bukan!
Yang dihargai dan dibayar oleh klien si selebgram adalah kekuatan follower-nya!
Itulah kenapa, meski keterampilan bikin kontennya sama, selebgram yang punya follower seratus ribu dan selebgram dengan pengikut lima juta tarifnya beda. Bahkan sebenarnya, dalam kreativitas bikin konten IG, saya ini jauh lebih keren daripada Anya Geraldine, apalagi Tante Erni. Tapi dengan follower tujuh ribu nggak naik-naik, tentu saja akun IG saya tak lebih daripada sudra tak berguna di hadapan keagungan akun mereka berdua.
Awalnya saya mau bilang bahwa inilah realitas baru yang kita hadapi. Tetapi, sekejap saja saya renungkan, saya sadar ini bukan realitas yang sama sekali baru. Ini realitas lama belaka, hanya saja mengambil bentuk dan wadah yang baru.
Para selebgram itu sesungguhnya bukan semata-mata merebut tempat penulis. Mereka telah merebut posisi media massa.
Coba pahami lagi duduk perkaranya. Media menyediakan berita dan segenap informasi pelengkapnya. Karena menyediakan segala informasi itu, banyak orang berlangganan atau menjadi pengakses rutin. Dari mekanisme langganan atau akses rutin itu, muncullah statistik pembaca. Statistik pembaca itulah yang menjadi daya tawar sekaligus daya jual media di hadapan pengiklan. Semakin banyak pengakses yang rutin menjadi pembaca si media, semakin mahal juga tarif iklan di sana.
Artinya, berita menjadi garis idealisme media dalam gerak aktivitas profesionalnya, namun di saat yang sama ia juga menjadi amunisi untuk mengumpulkan pelanggan. Dengan populasi pelanggan itulah media menawarkan kemampuan diseminasi alias ketersebaran informasi yang ada di iklan-iklan. Semakin banyak pelanggannya, semakin tinggi potensi persebarannya, semakin mahal pula tarif iklannya.
Nah, para selebgram dan para kreator konten digital lainnya menjalankan pola yang sama saja, bukan?
Bedanya memang pada tahap penyajian konten. Ketika media massa menggaet audiens dengan konten-konten informatif, para selebgram menggaet pengikut mereka dengan konten yang untuk ukuran tertentu seringkali tak ada layak-layaknya. Ketika media massa memproduksi sajian dengan modal profesionalisme tim wartawan dan penulis, para selebgram memainkan sensasi personal mereka sendiri.
Jadi, ketika kerumunan di media dalam sebagian sisi bisa bermakna tingginya populasi manusia yang haus informasi, kerumunan pengikut di sekitar akun selebgram tak lebih dari kehausan akan infotainment belaka. Namun sekali lagi, kekuatan yang bisa dikapitalisasi oleh para selebgram itu adalah jumlah follower mereka, bukan kecemerlangan kontennya.
Inilah wajah yang berubah dari dunia informasi kita. Wajahnya saja yang berubah, tapi pola dasar dari cara permainannya tetap sama dari masa ke masa.
Lebih spesifik lagi, harap sadar, penulis tidak pernah dikalahkan oleh selebgram. Keduanya bergerak dalam ruang dan skala yang berbeda. Jadinya, tetap saja tidak relevan jika ada penulis yang cemburu dengan kesuksesan seorang selebgram. Ia ibarat olshoper yang merasa bersaing head to head dengan bos Tokopedia, atau tukang ecer bensin yang iri dengan kesuksesan seorang komisaris Pertamina.
Maka, kalau memang tujuannya dapat duit empat puluh lima jeti hanya dengan menulis dua paragraf, ya jangan jadi penulis. Jadilah selebgram saja. Pertanyaannya: memangnya bisa? Dikiranya kemampuan menulis yang ndakik-ndakik bisa menghasilkan follower belasan juta? Hahaha!
Iqbal Aji Daryono penulis
(mmu/mmu)