Keluar dari "Zona Nyaman" Belajar di Rumah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Keluar dari "Zona Nyaman" Belajar di Rumah

Selasa, 02 Nov 2021 11:34 WIB
Yudha Priyono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sekitar 3.050 sekolah di Jakarta bersiap untuk gelar sekolah tatap muka secara terbatas. Hal itu dilakukan seiring dengan pemberlakuan PPKM level 2 di ibu kota.
Anak-anak harus segera kembali ke sekolah (Foto ilustrasi: Pradita Utama)
Jakarta - Setelah melalui tahapan uji coba pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat, sekolah saya akhirnya ditunjuk untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas. Walaupun hanya 30% yang diperbolehkan masuk dengan jadwal tertentu, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Sebagai guru, saya menyambut gembira kebijakan tersebut. Interaksi pembelajaran langsung dengan siswa segera terbayang di mata. Saya juga yakin, siswa juga menunggu-nunggu kesempatan untuk masuk ke sekolah.

Sebagai wali kelas, saya segera mengirim berita baik itu ke grup WA kelas, grup maya yang selama ini menjadi pengganti ruang kelas. Saya memberitahu secara tertulis jadwal pembelajaran tatap muka terbatas beserta aturan yang mengikutinya saat di sekolah. Aturan tersebut meliputi seragam dan atribut yang harus dipakai, dan rambut yang harus dipotong pendek rapi dengan ukuran yang telah ditentukan.

Ternyata untuk aturan, tidak semua siswa dengan kesadaran diri melaksanakannya. Masih saja ada yang menawar supaya diperbolehkan memakai atribut yang tidak sesuai dan tidak mau potong rambut. Lebih baik dipulangkan daripada harus memotong rambutnya yang gondrong. Ada juga siswa yang menyampaikan keengganannya masuk sekolah. Dia lebih memilih di rumah karena waktunya yang lebih fleksibel.

Sebagian dari siswa ternyata sudah terkena zona nyaman, yakni situasi ketika seseorang sudah nyaman dengan suatu keadaan. Contoh seseorang dalam zona nyaman sangat banyak. Seorang pegawai yang sudah nyaman dengan pendapatannya tiap bulan bisa dikatakan berada dalam zona nyaman. Dia sudah menikmati rutinitas sehari hari yang itu itu saja. Dia akan enggan untuk melepaskan statusnya sebagai pegawai untuk melakukan sesuatu yang berhadapan dengan resiko misalnya pengusaha.

Zona nyaman dapat terjadi pada siapa saja termasuk pada siswa dalam dunia pendidikan saat ini. Pembelajaran Jarak Jauh yang sudah berjalan hampir dua tahun telah membentuk pola kebiasaan baru pada anak. Kebiasaan tersebut antara lain pola tidur dan penampilan. Saat daring, anak tidak harus selalu bangun pagi sebelum pukul 07.00 untuk mengikuti pelajaran.

Pembelajaran dalam jaringan membuat pengawasan terhadap siswa tidak bisa maksimal. Siswa dapat saja tidak ikut pembelajaran dengan berbagai alasan, toh gurunya juga jauh. Diperparah lagi jika orangtua juga tidak memperhatikan. Tugas-tugas juga tidak selalu hari itu juga diselesaikan sehingga siswa tidak segera mengerjakan. Bangun tidur menjadi siang karena tidak ada kewajiban untuk berangkat sekolah.

Kebiasaan itu menjadi terbentuk pada siswa karena lamanya waktu pembelajaran dalam jaringan. Selain pola tidur, penampilan fisik siswa juga terbentuk selama pembelajaran jarak jauh. Aturan-aturan kerapian saat di sekolah menjadi tak diperhatikan karena di rumah saja. Rambut menjadi gondrong, padahal jika di sekolah harus dipotong rapi sesuai ukuran yang telah ditentukan.

Apalagi di SMK yang mendidik siswa untuk siap kerja baik dari keterampilan maupun penampilan fisiknya. Siswa dididik untuk disiplin dalam berpenampilan, sehingga jika setelah lulus kemudian bekerja di suatu perusahaan yang aturannya sangat ketat baik aturan kerja maupun penampilan, siswa tidak akan kaget.

Saat siswa diharuskan berangkat lagi, tidak semua merelakan rambutnya dipotong pendek sesuai aturan sekolah. Mereka ingin potong rambut, tetapi sesuai dengan ukuran mereka sendiri. Walaupun pada akhirnya sebagai siswa mereka patuh terhadap aturan sekolah, keenggganan dan keberatan siswa sangat jelas terlihat walaupun tidak semua. Unek-unek tersebut akhirnya tumpah di grup kelas.

Segera Diakhiri

Pembelajaran jarak jauh memang tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Karakter dan akademik siswa sebagai generasi muda menjadi taruhannya. Tidak semua keluarga memiliki kemampuan dan kesadaran yang sama dalam mengawasi putra-putrinya. Zona nyaman negatif di rumah dalam pembelajaran daring harus segera diakhiri. Semakin lama anak berada pada zona nyaman, semakin susah mereka untuk bangkit atau keluar dari zona tersebut.

Solusi untuk kelar dari zona nyaman tersebut adalah memberikan siswa kebiasaan baru dengan aturan-aturan sekolah. Aturan-aturan sekolah akan membentuk kedisiplinan siswa. Kedisiplinan pada akhirnya akan membentuk kebiasaan pada siswa. Oleh karena itu kebijakan untuk kembali pada pembelajaran di sekolah dengan prosentase tertentu disertai protokol kesehatan yang ketat patut kita apresiasi.

Sekolah yang telah mendapat kesempatan untuk pembelajaran tatap muka terbatas benar-benar menerapkan protokol kesehatan sehingga prosentase siswa yang masuk bisa meningkat. Sementara itu keluarga dan masyarakat juga menjaga protokol kesehatan setiap saat. Selain itu, sadar untuk mengikuti program vaksinasi yang diadakan pemerintah. Kemudian jujur dalam memberikan keterangan yang berkaitan dengan kesehatan pribadi. Jika tiga pilar tersebut bersinergi, maka mengembalikan kualitas pendidikan anak karena adanya pandemi adalah suatu keniscayaan.

Yudha Priyono, S.Pd Guru SMK Negeri 1 Warungasem, Batang, Jawa Tengah

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads