Dewasa kini, kita dihadapkan dengan tantangan yang sangat besar dalam permasalahan lingkungan, antara lain pemanasan global dan perubahan iklim. Terjadinya kekeringan yang berkepanjangan, meningkatnya permukaan air laut, hingga punahnya berbagai spesies flora dan fauna menjadi bukti nyata alam sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Kondisi iklim yang ekstrem juga menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, terutama berkaitan dengan ketahanan pangan. Sebagai negara agraris, Indonesia tak luput dari ancaman tersebut.
Sumbangsih Aktivitas Manusia terhadap Perubahan Iklim
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Laporan Penilaian Kelimanya menyatakan lebih dari 95% aktivitas manusia menyebabkan meningkatnya suhu bumi pada 50 tahun terakhir. Salah satu penyebab terbesar adalah aktivitas industri yang menjadi tombak kehidupan manusia modern saat ini.
Aktivitas manusia, pada umumnya pembakaran bahan bakar fosil, secara fundamental meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca ke atmosfer yang menyebabkan pemanasan terhadap planet. Gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer menyebabkan panas terhalang dan terperangkap di permukaan bumi.
Kondisi inilah yang memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrem. Beberapa gas yang memiliki kontribusi terhadap efek gas rumah kaca antara lain karbondioksida (CO2), metana, dinitrogen oksida, dan klorofluorokarbon (CFCs).
Sektor Bangunan terhadap Emisi Karbon Dunia
Sektor bangunan gedung berperan dalam produksi emisi karbon dan gas rumah kaca secara global, memiliki kontribusi sebesar 40% terhadap emisi karbon dunia yang terbagi atas 28% pada tahap pengoperasian bangunan serta 11% pada material bangunan dan tahap konstruksi setiap tahunnya. Ini diprediksi akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembangunan khususnya hunian dan perkantoran.
Pada tahun 2060 diprediksi luasan dasar bangunan meningkat dua kali dari kondisi eksisting saat ini (Global ABC Global Status Report 2018).Untuk terciptanya pengurangan emisi karbon tentu perlu menerapkan beberapa kebiasaan, antara lain pemanfaatan kembali (reuse) melalui renovasi bangunan eksisting ketimbang membangun bangunan baru, menggunakan material daur ulang, dan perencanaan proses dekonstruksi bangunan.
Selain itu pengurangan (reduce) penggunaan material bangunan yang memproduksi emisi karbon dan mengganti dengan material dengan spesifikasi yang rendah atau bahkan zero carbon material. Serta penyediaan tempat penyerapan karbon dan penggunaan bahan penyerap karbon pada bangunan.
Pengaruh Plastik pada Perubahan Iklim
Tentu tidak hanya sektor bangunan gedung yang berperan aktif terhadap perubahan iklim melalui produksi emisi karbon dan gas rumah kaca. Plastik yang pada awalnya ditemukan dan dikembangkan sebagai pengganti kantong kertas demi menjaga keberlanjutan alam, ternyata kini malah menjadi salah satu faktor yang mengancam kelestarian alam itu sendiri.
Lebih dari empat dekade produksi plastik secara global naik empat kali lipat. Apabila kecenderungan ini terus berlangsung, emisi karbon dan gas rumah kaca dari plastik akan mencapai 15% dari anggaran karbon global di tahun 2050.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa secara global plastik menyumbang hampir 4% dalam seluruh siklus hidupnya dari emisi gas rumah kaca. Dibandingkan dengan sektor penerbangan, nilai tersebut setara dengan dua kali lipat emisi yang dihasilkan. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa plastik membutuhkan waktu hingga berabad-abad untuk dapat terurai. Banyak dari kita mengambil jalan pintas untuk dapat mengurai plastik namun dengan metode yang salah, yaitu dengan membakarnya.
Sebanyak 40% limbah TPA dibakar tanpa terkecuali limbah plastik yang justru mempercepat pelepasan karbon ke udara dan semakin memperparah kondisi lingkungan. Tanpa adanya aksi nyata dalam penanganannya, eksistensi plastik akan terus menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan hidup manusia di kemudian hari.
Plastik Membangun Kehidupan Ramah Lingkungan
Berbagai kajian literatur, penelitian dan eksperimen dilakukan untuk dapat mengolah dan mengembangkan limbah plastik sebagai material pembangunan arsitektur. Hal ini bertujuan untuk dapat mengubah daur hidup plastik menjadi lebih ramah lingkungan dan mengurangi jumlah limbah plastik di daratan dan laut.
Berbagai komunitas mendukung aksi pemanfaatan kembali limbah plastik sebagai bentuk partisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Salah satunya dengan memanfaatkan sebagai material bangunan seperti paving, lantai, dinding maupun penutup atap.
Hendro Wibowo (2013) warga Desa Sukaluyu, Kecamatan Telukjambe Timur, Karawang, mengubah sampah plastik yang tidak memiliki nilai ekonomi menjadi paving block yang dicampur dengan limbah sterefoam dan pasir. Selain itu, Karang Taruna Karya Muda Sejahtera Desa Brumbung Mranggen dimulai dari kegelisahan terhadap banyaknya sampah plastik di jalan mendorong mereka untuk mengolah dan menjadikan sesuatu yang bermanfaat yaitu paving blok.
Komunitas lainnya seperti Rebricks yang digagas oleh Ovy Sabrina dan Novita Tan menyulap sampah-sampah plastik yang mencemari laut Indonesia menjadi material arsitektural, seperti material penyusun dinding (bata) dan paving block dengan berbagai bentuk yang relatif murah dengan kualitas yang tidak kalah saing. Selain itu mereka sedang mengembangkan untuk menjadikan material penutup atap.
Tentunya hal ini bukan merupakan langkah yang mudah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menyempurnakan metode pengelolaan sampah plastik menjadi material bangunan yang ramah lingkungan. Di samping dari kepentingan usaha dan bisnis, tentunya aksi nyata pengolahan limbah plastik ini berdampak baik dalam pengurangan emisi karbon dari plastik maupun konstruksi pada sektor bangunan.
Seluruh dunia juga turut berpartisipasi dalam menciptakan kelestarian lingkungan melalui pengolahan limbah plastik menjadi material bangunan bahkan menjadi karya arsitektur yang bernilai. Salah satu arsitek di Amsterdam, Belanda membangun pavilion dengan struktur baja, namun memanfaatkan botol plastik sebagai material pengisi dinding. Adapun di Nigeria melalui lembaga swadaya masyarakat membangun rumah yang seluruh dindingnya terbuat dari limbah botol plastik berisi pasir.
Rancangan arsitektur ini diakui sebagai antipeluru dan antiapi sekaligus tahan gempa. Tidak hanya itu, dinding bangunan menyebabkan suhu rumah relatif sejuk dan nyaman sepanjang tahunnya.
Dari sekian banyak aksi positif dalam rangka mengurangi emisi karbon di dunia, tentu kita perlu memikirkan seberapa signifikan mekanisme pembuatan dan pengolahannya. Apakah sudah melibatkan mekanisme "hijau" secara menyeluruh atau hanya mengagungkan "prinsip 3R'? Hal ini menjadi PR kita bersama untuk mencari solusi yang tepat guna membangun bumi yang ramah lingkungan untuk generasi-generasi penerus kita mendatang.
Muhammad Hero Umar Renaldi, Juara Favorit Karya Tulis PUPR Kategori PUPR
(fhs/ega)