Bekerja, Berkarya, dan "Overthinking"

Jeda

Bekerja, Berkarya, dan "Overthinking"

Impian Nopitasari - detikNews
Minggu, 31 Okt 2021 11:44 WIB
impian nopitasari
Impian Nopitasari (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Sekitar tiga bulan lalu teman saya mengirimi foto sampul buku yang akan diterbitkannya. Itu adalah sampul buku yang didesain oleh teman saya yang lain, seorang ilustrator yang juga pernah menggarap buku bareng saya.Teman saya yang memesan gambar ini sangat senang sekali dengan hasilnya. Saya pun berpikiran bahwa gambarnya memang bagus dan digambar dengan penuh perasaan.

Ketika saya konfirmasi ke ilustratornya, dia pun mengiyakan. Katanya itu adalah gambar yang membuatnya bersenang-senang setelah lama dia hanya menggambar sebagai tuntutan kerja saja. Rasanya dia seperti menemukan jiwanya yang hilang. Dia menganggap hasil gambarnya itu benar-benar sebuah karya, bukan sekadar sebuah pekerjaan.

Sebenarnya sebelum kejadian ini saya dan teman saya sang ilustrator tersebut pernah saling curhat tentang bekerja atau berkarya. Kebetulan kami sama-sama mengalami kejenuhan. Dia merasa gambarnya semakin tidak berjiwa. Hanya mengerjakan pesanan dan pesanan. Tapi kalau tidak begitu ya dari mana dia mendapat uang? Saya pun sedang merasakannya. Saya merasa tulisan saya hanya sekadar tulisan tuntutan pekerjaan tiap minggunya. Rasanya semakin lama semakin buruk saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat teman-teman yang berkomentar bahwa saya produktif, terkadang saya merasa itu adalah sebuah ejekan. Yang produktif itu mereka; tulisannya di mana-mana. Saya sudah lama tidak menulis seperti mereka. Saya tidak produktif berkarya; saya ini bekerja.

Dua minggu lalu saya berturut-turut menjadi juri lomba menulis cerita pendek dan cerita cekak (cerpen berbahasa Jawa) di dua tempat yang berbeda. Membaca sekian banyak naskah yang masuk, saya jadi teringat bahwa sudah lama tidak menulis fiksi. Memang saya sempat menerbitkan buku cerita anak pada Agustus kemarin, tapi itu adalah kumpulan tulisan lama, bukan tulisan baru.

ADVERTISEMENT

Sekarang kalau disuruh menulis fiksi lagi, rasanya seperti kehabisan energi. Seminggu rasanya cepat sekali. Sudah bisa menulis satu kolom tiap minggunya saja sudah bersyukur. Ternyata menulis rutin memang tidak gampang. Bagaimana menulis tema berbeda tiap minggunya agar tidak monoton dan repetitif, bagaimana bisa mendapatkan tanggapan yang baik dari pembaca, bagaimana kalau ini, bagaimana kalau itu, selalu memenuhi pikiran saya.

Terkadang memang ada tulisan yang lancar sekali untuk ditulis dan dirangkai. Saya selalu lega ketika bisa menyelesaikan tulisan yang gampang dijahit dan penutupnya oke banget. Setidaknya saya sudah puas dengan tulisan saya tersebut. Mendapat respons yang baik dari pembaca adalah bonus.

Tapi, adakalanya saya merasa tulisan saya belepotan, terlalu maksa digabungkan, jelek sekali jahitannya. Ah, pokoknya produk gagal sekali. Saking tidak pedenya dengan tulisan saya tersebut, saya sampai tidak berani membagikannya. Rasanya malu sekali.

Sialnya, ada seorang teman yang rutin sekali membagikan tulisan saya di sebuah grup literasi yang anggotanya adalah penulis-penulis top. Maksudnya, mereka adalah senior-senior yang saya tidak terbiasa ngobrol dengan akrab. Berbeda dengan teman-teman penulis yang sama-sama top, tapi saya terbiasa berbincang dengan santai. Saya kan jadi semakin tidak pede kalau tulisan tersebut memang buruk. Kalau mereka sempat membaca, pasti nyut-nyutan dengan tulisan saya tersebut.

Tapi, mau menegur teman saya, "Mas, jangan dibagikan lagi ya tulisan saya," kok ya aneh. Lha tulisan itu kan sudah di-posting dengan bebas ya terserah oranglah mau membagikan ke siapa saja. Aneh kalau saya protes. Kalau tidak mau dibagikan ya ngapain nulis, ya kan?

Saya sering terbebani dengan kualitas tulisan yang saya hasilkan. Pokoknya harus bagus, tidak boleh asal-asalan. Jadi ketika saya merasa gagal menulis dengan baik, perasaan tidak enak selalu muncul. Saya ini menulis tidak cuma-cuma tapi mendapat honor, kok ya tega kalau tidak menulis dengan baik. Ketika hari deadline tiba saya pun uring-uringan kalau belum mendapat ide apapun untuk ditulis.

Rasanya ingin sekali sungkem kepada Iqbal-senpai yang bisa tahan selama empat tahun menjadi kolomnis. Lha saya saja belum setahun sudah merasa megap-megap. Haha. Heran kenapa banyak yang berkirim pesan kepada saya tentang keinginannya menjadi kolomnis. Padahal lumayan cenut-cenut ketika tiap minggu diteror pembaca kalau tulisan saya belum naik atau hanya ditanya minggu ini mau nulis apa.

Kata teman saya yang pernah saya curhati, saya ini terlalu overthinking jadi orang. Katanya, menulis ya mbok menulis saja, masalah respons ya serahkan kepada pembaca. Mau dibilang tulisan saya hanya tulisan curhat yang dibayar ya wis ben. Yang penting tiap minggu menulis saja. Tidak usah terlalu dipikir mau itu dibilang bekerja dan bukan berkarya. Kalau pun itu bekerja ya memangnya kenapa? Toh manusiawi kalau orang bekerja untuk mendapatkan uang.

Selama tidak menulis yang isinya ujaran kebencian, ya sudah lakukan saja. Sebenarnya saya bukan ingin orang harus suka dengan tulisan saya kok. Dikritik pun tidak apa-apa. Orang tidak harus sepemikiran dengan saya. Hanya, saya sering jengkel dengan diri saya sendiri kalau pembaca tidak menangkap apa yang saya maksud. Jengkel karena berarti saya yang gagal merangkai kalimat dengan jelas.

Kata teman saya, tidak usah terlalu dipikir jeru. Meski bukan berarti terus malas memperbaiki tulisan. Namanya menulis rutin itu memang tidak selalu bagus. Dia mengamati komentar pembaca tentang tulisan saya tiap minggunya. Mungkin itu untuk menghibur saya. Katanya, "Mereka suka tulisanmu dengan gaya yang begitu kok. Ora ndhakik-ndhakik, kesannya curhat tapi sebenarnya itu masalah semua orang. Jadi kamu seperti perpanjangan jari dan lidah mereka."

Setelah saya pikir-pikir kok omongan teman saya ini ada benarnya juga. Jujur saja selama menjadi kolomnis, saya mendapat banyak pengalaman seru. Selain dag-dig-dug mau nulis apa tiap minggunya, saya juga banyak mendapat teman-teman baru. Ada ibu rumah tangga yang mengajak berkenalan sampai membeli buku saya dengan jumlah yang lumayan (padahal tidak pernah promo selama percakapan kami).

Ada bapak-bapak pengusaha Tionghoa yang enak sekali diajak ngobrol tentang tema-tema semacam fengshui dan tradisi leluhur. Lucu saja karena kenal beliau gara-gara saya menulis tentang rokok dan menyebut merek rokok yang familiar di keluarganya. Hal tersebut mengingatkan dia tentang kampung halamannya di Kalimantan sana.

Saya mendapat kenalan dari kalangan santri karena menulis tentang ziarah kubur, menjadi narasumber di radio KISS FM dan diminta langsung oleh Uni Ivy Batuta, penyiar idola teman-teman saya (bahkan katanya mereka iri kok saya bisa dihubungi langsung) gara-gara tulisan saya tentang tobat dari organisasi ekstrem. Ada lagi dari pecinta film India karena saya sempat menyinggung video klip Rab Ne Bana di Jodi, sampai para wibu dan otaku karena saya menulis tentang manga dan anime kesukaan saya lebih dari sekali.

Bahkan tidak sengaja saya menulis tentang Naruto untuk kolom pada 10 Oktober. Tanggal tersebut 10 adalah hari ulang tahun Naruto. Kebetulan yang menyenangkan karena saya dikirimi merchandise Naruto dari seorang pembaca kolom saya. Ternyata pembaca saya random sekali, berasal dari berbagai kalangan.

Berkaca dari pengalaman saya tersebut rasanya memang konyol sekali ketika dulu pernah merasa salah satu tulisan saya tentang transpuan adalah tulisan gagal dan saya malu membagikannya. Tapi ternyata tulisan tersebut ramai dibagikan karena sebelumnya pernah dikutip oleh Amar Alfikar, seorang transpria muslim inspiratif yang berasal dari keluarga pesantren di Kendal.

Saya tidak merasa menjadi aktivis queer, tapi banyak pesan yang masuk dari teman-teman transgender yang berterima kasih karena saya menulis tentang mereka dengan manusiawi. Mereka bilang hal tersebut sungguh menyemangati hidupnya. Saya hanya bengong karena merasa itu adalah tulisan gagal yang jauh dari kata inspiratif, lha kok bisa-bisanya menyemangati orang?

Berarti memang saya yang overthinking. Walau tentu saja ada saatnya tulisan saya yang seharusnya tidak galak, tapi malah panen hujatan. Seperti ketika saya menyinggung kinerja pemerintah walau hanya satu paragraf pendek dan tulisan yang menyinggung tentang perceraian. Bahkan tema perceraian ini sampai membuat beberapa teman Facebook saya bertengkar sampai mau bawa-bawa meja hijau segala. Ternyata saya lumayan menjadi pembuat onar juga ya. Haha.

Loh ternyata saya sudah menulis dua halaman lebih. Alhamdulillah akhirnya tidak jadi absen mengisi kolom minggu ini. Meski ya mbuh piye nanti pembaca akan meresponsnya.

Gondangrejo, 30 Oktober 2021

Impian Nopitasari penulis

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads