Nikah Siri Dapat KK, Solusi atau Masalah Baru?

Kolom

Nikah Siri Dapat KK, Solusi atau Masalah Baru?

Ibnu Syamsu Hidayat - detikNews
Jumat, 29 Okt 2021 10:59 WIB
Contoh dokumen KK pasangan nikah siri.
Contoh dokumen KK untuk pasangan nikah siri (Foto: dok. Istimewa)
Jakarta -

Saya sangat kaget membaca pemberitaan di media massa tentang kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pemberian Kartu Keluarga (KK) bagi pasangan nikah siri di Indonesia. Sebagian masyarakat memandang ini adalah kebijakan yang baik untuk memberikan kepastian akses hak pencatatan kependudukan bagi warga negara, sedangkan sebagian lain memandang bahwa kebijakan baru tersebut menciptakan masalah baru bagi perempuan.

Konsepsi Pencatatan Perkawinan

Dalam UU Perkawinan terdapat ketentuan bahwa suatu ikatan perkawinan harus dicatatkan kepada pemerintah, dalam hal ini KUA bagi yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Kependudukan bagi yang beragama selain Islam dan penganut kepercayaan lainnya. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan; Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan; Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menciptakan Masalah Baru

Sepertinya, bukan lagi rahasia umum bahwa nikah siri banyak terjadi di Indonesia, tetapi negara abai dalam memberikan perlindungan bagi perempuan yang mudah diceraikan oleh suaminya dan tidak dapat menggugat secara hukum positif maupun soal status anak yang lahir dari pernikahan siri. Inilah kemudian yang menjadikan alasan bagi Kemedagri membuat kebijakan bahwa nikah siri dapat dimasukkan dalam KK.

Saya menangkap semangat Kemendagri agar semua penduduk Indonesia agar mendapatkan kepastian hukum dan tercatat dalam Kartu Keluarga. Tetapi, saya membayangkan bahwa hal ini malah bukan menyelesaikan masalah, melainkan menciptakan masalah baru.

ADVERTISEMENT

Dengan adanya kebijakan bahwa nikah siri dapat mencatatkan atau memasukkan dalam KK, tentu kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Perkawinan yang mewajibkan setiap perkawinan harus tercatat oleh negara, dan kebijakan baru kemendagri tersebut menurut saya akan menyuburkan praktik nikah siri di Indonesia.

Apakah dengan pencatatan di KK bagi pasangan nikah siri tersebut mengubah Hukum Acara Peradilan Agama? Apakah pencatatan di KK dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian di Pengadilan Agama nantinya jika keluarga yang nikah siri tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan? Apakah dapat digunakan sebagai bekal perempuan menggugat di pengadilan guna memperjuangkan hak-haknya setelah perkawinan mereka kandas di tengah jalan?

Selain itu, apabila alasan negara ingin memberikan kepastian hukum bagi anak hasil nikah siri, seharusnya negara dalam hal ini Kemendagri dapat merujuk langsung pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang dimohonkan Aisyah Mochtar.

Majelis MK menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan oleh Aisyah Mochtar inkonstitusional bersyarat. Aisyah Mochtar mempersoalkan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur bahwa status anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Dalam amar putusan, MK menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah anak luar kawin dengan ayahnya. Hal ini berarti, MK menafsirkan bahwa anak luar nikah tidak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya, tetapi juga mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti menurut hukum.

Dengan demikian, sebenarnya status anak nikah siri tersebut berdasarkan putusan MK tersebut telah memberikan kepastian status anak di luar perkawinan, yakni memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya yang tercatat di dalam akta kelahiran tanpa harus tertulis di dalam KK.

Ibnu Syamsu Hidayat lawyer

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads