Sejak pensiun dari WHO pada September 2020 dan terbang kembali ke Jakarta dari New Delhi, saya baru pada 20 Oktober 2021 kembali naik pesawat terbang, pergi ke Bali mengikuti pertemuan Tuberculosis (TB) Summit 2021. Ada tiga pengalaman dan pengamatan saya dalam kaitannya dengan pencegahan penularan COVID-19.
Tes
Sebelum berangkat, saya periksa swab antigen di Klinik Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Soekarno Hatta, sesuatu yang sesuai aturan beberapa hari yang lalu. Hanya dua atau tiga menit sesudah ada hasil, sudah masuk ke aplikasi Peduli Lindungi saya --cepat sekali.
Ketika akan pulang dari Denpasar ke Jakarta, sesuai aturan yang baru, saya periksa PCR.
Saya sepakat agar digunakan test PCR untuk bepergian dengan pesawat terbang, karena memang tes PCR merupakan "gold standard" dengan tingkat akurasi yang paling tinggi. Artinya, hasil negatif tes PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan COVID-19.
Kita tahu bahwa dengan sensitivitas dan spesifisitas yang ada, jika hasil rapid antigen negatif, maka memang masih mungkin saja ada virus SARS CoV 2 penyebab COVID-19 dalam tubuh seseorang, dan tentu punya potensi untuk menular ke orang sekitarnya.
Di Bandara
Secara umum bandara sudah cukup ramai penumpang, dan di beberapa restoran kelihatan pengunjung cukup banyak, juga ada antrean (tanpa jarak) sekitar 5 sampai 10 orang di kedai kopi ternama.
Ketika antre akan naik pesawat di gate di bandara, antrean masuk ke pesawatnya panjang sekali, dan praktis tidak menjaga jarak. Hal ini sebaiknya diperbaiki; walaupun sedang antre, tetap harus berjarak setidaknya satu meter antarpenumpang, baik depan, belakang, maupun antarbarisan antrean kiri-kanan.
Di Bandara Ngurah Rai, sesudah antrean dan petugas memeriksa boarding pass dan kita harus memperlihatkan KTP atau pengenal lain sebelum naik pesawat, penumpang diminta membuka masker. Mungkin maksudnya untuk mengecek apakah wajah sesuai dengan yang di kartu pengenal. Padahal saat itu cukup banyak orang yang antre dalam beberapa baris, petugas, dan lain-lain sehingga membuka masker walaupun sebentar tentu membuat risiko untuk terjadinya penularan. Baiknya keharusan buka masker ini tidak perlu dilakukan.
Juga cukup panjang antreannya yang juga tidak menjaga jarak adalah waktu memeriksa eHAC dan lain-lain di bandara kedatangan. Mungkin perlu dicari cara lebih baik, misalnya dengan menyediakan mesin agar penumpang dapat langsung men-scan eHAC dan lain-lain tanpa perlu harus antre dan dicek satu per satu sebelum akhirnya mengambil bagasi.
Di Dalam Pesawat
Penumpang memang penuh.
Kepada penumpang dibagikan makanan dan minuman dengan pesan yang simpatik agar makanan itu dibawa pulang saja dan kalau tidak perlu sekali tidak usah dikonsumsi di dalam pesawat. Tetapi, pada kenyataannya, baik di penerbangan Jakarta ke Bali dan juga sebaliknya, orang yang duduk di sebelah saya membuka bungkusan makanan dan menyantapnya di pesawat. Memang tidak salah, tetapi membuka masker dan makan sambil banyak bercakap-cakap tentu meningkatkan risiko penularan pula jadinya, walaupun pesawat sudah dilengkapi dengan Hepa Filter dan lain-lain.
Dengan sudah melandainya kasus, akan makin banyak orang bepergian, dan tentu akan lebih baik kalau kita semua dapat bepergian dengan aman. Memang kita memerlukan berbagai penyesuaian dalam pola kehidupan baru dengan COVID-19 ini. Kita semua perlu belajar menyesuaikan diri, baik masyarakat luas maupun para petugas dan penentu kebijakan publik.
Prof Tjandra Yoga Aditama Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI
(mmu/mmu)