Menjelang Hari Santri, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Artinya melalui 'Perpres Dana Abadi Pesantren', pesantren mendapatkan dana alokasi khusus yang bersifat abadi untuk mengatur pengembangan pendidikan pesantren. Kebijakan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada pesantren yang selama ini, sebelum undang-undang pesantren disahkan, selalu terpinggirkan. Padahal pesantren bagian dari pondasi pendidikan bangsa.
Tentu keberpihakan ini adalah momentum bagi pesantren untuk mengakselerasi pembangunan terutama pendidikan pesantren agar kompatibel dengan kemajuan mutakhir. Pesantren tidak bisa lagi hanya dikerjakan dengan business as usual. Butuh terobosan agar pesantren menjadi mercusuar ilmu pengetahuan serta penghasil santri yang menjadi harapan Indonesia maju.
Dua tahun ini, saya sudah keliling ratusan pesantren di seluruh Indonesia untuk melihat langsung bagaimana pesantren sebagai laboratorium keagamaan dan pengetahuan terus menghasilkan santri-santri unggulan. Bahkan tidak hanya itu, pesantren dan santri memberi teladan bagaimana agama dan negara tidak bisa dipertentangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi dari itu semua, ada semacam lubang hitam (black hole) dari posisi pesantren sebagai episentrum pengembangan ilmu pengetahuan. Di satu sisi pesantren surplus dan inovatif dalam pengembangan keilmuan keagamaan akan tetapi defisit dalam pengembangan saintifik. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama, oleh karena itu Hari Santri menjadi momentum bagi kita untuk mulai mengurai permasalahan dan menyelesaikan satu-persatu.
Pekerjaan besar ini membutuhkan kolaborasi semua pihak. Menurut saya, memulainya bisa dengan mengadopsi dan memodifikasi apa yang dikatakan oleh Porlezza & Colapinto (2012) sebagai Qadruple Helix System yaitu sinergitas antar sektor, antara peran perguruan tinggi (atau pesantren), pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Dalam riset Porlezza & Colapinto menemukan bahwa kolaborasi antara perguruan tinggi, industri, pemerintah, dan masyarakat dapat mendorong inovasi dan kreatifitas yang sangat penting agar terus adaptif dengan perubahan
Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa transformasi digital secepat ini. Covid-19 memaksa kita untuk memacu inovasi dan kreatifitas dengan cepat dan tepat. Tantangan ke depan tidak main-main, terutama bagi Pesantren, mengingat apa yang dikatakan oleh World Economic Forum dalam 'The Future of Jobs Report 2020', bahwa ke depan adopsi teknologi dan otomatisasi adalah kunci memenangkan persaingan. Hari ini pesantren mengalami defisit inovasi teknologi dan kita harus mengejarnya sampai tiga generasi.
Harus dimulai karena kalau hanya terus berkeluh kesah, pesantren dan santri akan terus menjadi warga kelas 2. Padahal sejauh saya tumbuh kembang di pesantren dan keliling pesantren, santri memiliki keunggulan yang paling fundamental dibanding konstruksi manusia modern yaitu pondasi keagamaan yang kokoh. Hal ini penting bagi generasi ke depan dalam menghadapi vurnability, uncertainty, complexity, dan ambiguity.
Tidak ada Bagdad di Pesantren
Sejauh ini, konstruksi peradaban yang seimbang (equilibrium) antara pengembangan ilmu keagamaan dan saintifik adalah sejarah masyhur Bagdad di mana ilmu pengetahuan tumbuh bersemi. Bagdad era Khalifah Al-Manshur, Khalifah HaΜrun Al-RashiΜd, dan Khalifah Al-Ma'muΜn memberikan gambaran bahwa kemajuan peradaban harus dibangun dengan inovasi dan kreatifitas yang membawa Bagdad dalam supremasi ekonomi dan ilmu pengetahuan. Apabila kita tarik apa yang membuat kemasyhuran Bagdad begitu mempesona? Tentu ada pada kolaborasi dan political will kekhalifahan untuk terus mendorong ekosistem yang mendukung kemajuan inovasi dan kreatifitas.
Hari ini, melalui UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren serta ditandatanganinya Perpres Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren menunjukkan political will pemerintah untuk menghadirkan 'Bagdad di Pesantren'. Tentu tidak cukup hanya dengan regulasi, butuh kolaborasi untuk mengakselerasi inovasi dan kreatifitas di pesantren sebagai institusi yang mencetak santri masa depan.
Pada Hari Santri kali ini, kita perlu meletakkan pondasi pendidikan yang sesuai dengan kemajuan serta strategi untuk mencapainya. Kolaborasi harus kita mulai dari sekarang dan optimisme itu ada di hampir seluruh pesantren, misalnya ketika saya berkunjung ke beberapa pesantren di daerah, saya menemukan geliat intelektualisme, akselerasi kurikulum pengembangan teknologi informasi kepada santri, serta supremasi ekonomi yang bermuara pada ekonomi umat. Tidak hanya itu pendidikan berbasis agama dan sains terus diakselerasi. Artinya pesantren sebenarnya paham betul dengan tantangan ke depan.
Permasalahannya adalah pada kolaborasi dan kemampuan kita untuk mempertemukan setiap simpul-simpul pesantren yang memiliki keunggulan untuk saling berbagi. Kalau ini dapat kita kerjakan, saya yakin pesantren dan santri akan menjadi kekuatan besar Indonesia sebagai negara maju sebelum 1 abad kemerdekaan.
Langkah besar ini akan terasa ringan apabila kita mulai mengerjakan bersama-sama. Kami memulai dengan langkah kecil, mendorong pengembangan platform digital santri melalui Pesantren Development Project. Lokusi utamanya membangun santri yang melek teknologi dengan kemampuan analitis dan kritis. Tapi ini belum seberapa, butuh kerja bersama yang mampu menjahit potensi-potensi besar pesantren dan santri.
Saya membayangkan kolaborasi Qadruple Helix dengan sederhana, misalnya korporasi big tech yang masuk ke Indonesia seperti Apple, Samsung atau Unicorn membangun salah satu laboratorium pengembangannya tidak hanya di universitas tetapi juga di pesantren-pesantren dan ini semua dikerjakan secara masif, maka suatu saat saya yakin akan menghasilkan butterfly effect di mana kepakan sayap kupu-kupu di Amazon akan menghasilkan badai di Texas.
Hari Santri tidak hanya perkara seremonial, butuh kerja konkret untuk merayakannya. Karena kalau tidak, jangan bermimpi ada Bagdad di pesantren. Selebihnya, Selamat Hari Santri.
Aminuddin Ma'ruf, Staf Khusus Presiden RI