Maraknya permasalahan terkait perusahaan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending atau yang lebih dikenal dengan perusahaan pinjaman online (pinjol) belakangan ini menjadi perhatian kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan lebih oleh mekanisme pemberian pinjaman dan proses penagihan yang dilakukan oleh pinjol.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari 19711 jumlah pengaduan yang diterima sejak 2019 sampai sekarang, sebagaian besar pelanggaran meliputi; (i) pencairan tanpa persetujuan pemohon, (ii) ancaman penyebaran data pribadi, (iii) teror dan intimidasi, (iv) penagihan dengan kata kasar dan pelecehan seksual. Hal ini jelas memantik reaksi dari Satgas Waspada Investasi (SWI).
Belakangan ini SWI sedang getol memberantas perusahaan-perusahaan ilegal penyedia pinjaman online yang semakin menjamur. Menurut data dari OJK, sejak 2018 sampai dengan 2021 terdapat 3.516 pinjol ilegal yang sudah dihentikan. Bahkan sejak Februari 2020 lalu, OJK telah melakukan moratorium pendaftaran izin perusahaan fintech P2P lending.
Namun demikian, upaya pemberantasan perusahaan pinjol ilegal tersebut faktanya tidak cukup mengurangi polemik yang terjadi dalam proses pemberian pinjaman dan penagihan oleh perusahaan pinjol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum membahas lebih jauh mengenai permasalahan hukumnya, ada baiknya kita memahami perusahaan fintech P2P lending yang memberikan pinjaman online ini. Lebih khusus, apa kualifikasi perusahaan pinjol yang dapat dikualifikasikan sebagai perusahaan legal.
Sampai dengan saat ini, belum ada undang-undang yang khusus mengatur perihal perusahaan fintech. Satu-satunya peraturan yang mengatur perihal perusahaan fintech ini adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi.
Berdasarkan peraturan tersebut, perusahaan penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi wajib didaftarkan dan mendapatkan izin dari OJK. Sehingga, setiap perusahaan pinjol yang menjalankan usaha tanpa adanya izin tersebut dapat dikategorikan sebagai perusahaan pinjol ilegal.
Namun demikian, pelaku pelanggaran tersebut bukan hanya perusahaan pinjol yang belum terdaftar, melainkan perusahaan pinjol yang telah terdaftar pun berpotensi melakukan pelanggaran apabila menggunakan jasa debt collector yang tidak dalam pengawasan ketat. Hal ini dikarenakan mayoritas pelanggaran dilakukan pada saat penagihan.
Sejauh ini Peraturan OJK yang ada belum mengatur pengawasan dan kontrol terhadap perusahaan pinjol dalam menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan penagihan. Hal ini tentunya rawan menimbulkan berbagai pelanggaran, apalagi apabila jasa penagihan pihak ketiga tersebut menggunakan ancaman atau kekerasan. Peraturan OJK saat ini cenderung fokus terhadap keamanan dari sisi investor dan kewajiban pelaporan transaksi. Sebaliknya, perlindungan dari sisi konsumen minim.
Berdasarkan pembahasan di atas, ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah terkait permasalahan pelanggaran dalam penagihan pinjaman online ini. Pertama, permasalahan penertiban dan penindakan debt collector. Pemberian edukasi, regulasi ,dan sertifikasi dalam proses penagihan utang menjadi sangat urgen saat ini.
Kedua, permasalahan kerahasiaan data pribadi. Dengan banyaknya kasus penggunaan data pribadi konsumen tanpa izin, maka Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus diprioritaskan untuk segera diundangkan.
Ketiga, perihal keamanan siber. Beberapa kasus berawal dari pencurian data melalui phishing dengan mengirimkan link ke nomor calon korban yang setelah diklik datanya akan dicuri. Hal ini mengakibatkan pelaku pencurian dapat mempergunakan data korban salah satunya untuk meminjam melalui pinjaman online. Dengan adanya UU ITE, diharapkan penindakan terhadap kejahatan pencurian data lebih diprioritaskan.
Agus D. Prasetyo Managing Partner pada firma hukum ADP Counsellors at Law