Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan. Kali ini yang ditangkap adalah Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin. Bupati itu ditangkap bersama barang bukti berupa uang hampir 2 miliar rupiah. Dodi adalah putra Alex Noerdin, mantan Gubernur Sumatera Selatan, yang sebelumnya juga sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan.
KPK masih bergigi, mungkin begitu kesan yang ditangkap sebagian orang. Ini terkait dengan diberhentikannya 57 orang pegawai yang dianggap sebagai motor KPK. Pemberhentian mereka dianggap sebagai upaya pelemahan KPK. Penangkapan ini dianggap bukti bahwa KPK masih tetap garang.
Bagi saya masalah sebenarnya bukan itu. Ada pertanyaan penting soal operasi tangkap tangan KPK yang sering berhasil menjaring koruptor itu. Apa makna operasi itu? Apakah itu bermakna bahwa KPK tetap kuat dan canggih? Atau sebenarnya itu menunjukkan bahwa korupsi terus berlangsung? Saya khawatir keadaan sebenarnya diwakili oleh pertanyaan kedua. Banyak yang ditangkap artinya memang ada banyak korupsinya. Lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan yang tidak terpantau KPK ada jauh lebih banyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus korupsi yang dilakukan oleh Dodi Reza itu bukan kasus canggih. Ini pola yang sangat dasar. Ada projek pembangunan infrastruktur. Projek diberikan kepada pihak tertentu, dengan imbalan uang yang diambil dari nilai projek itu untuk diberikan kepada kepala daerah. Kalau menyangkut anggota DPR, uang diberikan sebagai imbalan atas pembagian anggaran projek kepada daerah tertentu, atau kepada kelompok tertentu. Ini semua adalah permainan lama.
Jadi, masalah kita bukan soal KPK garang atau tidak, melainkan permainan lama yang masih terus berlangsung. Ibaratnya, hari ini KPK menemukan pipa bocor. Besoknya dapat lagi, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya dapat lagi. Dapatkah kita katakan bahwa KPK hebat karena bisa menemukan kebocoran? Bagi saya itu lebih bermakna bahwa kebocoran terus terjadi dan berulang. Soal sebab kenapa korupsi masih terus berlangsung, tidak pernah disentuh.
Salah satu sumber masalahnya adalah sistem pemilihan, baik kepala daerah maupun anggota parlemen. Sistemnya sangat bobrok, sehingga yang paling besar peluang untuk menang adalah yang punya banyak uang. Soal ini sebenarnya sudah sering diungkap. Untuk pemilihan tingkat bupati/wali kota saja, calon harus menyediakan uang puluhan milyar rupiah. Saat sudah terpilih, ia harus mengumpulkan uang untuk mengganti uang tadi. Dari mana sumbernya? Dari anggaran.
Sistem pemilihan kita masih memungkinkan praktik politik uang. Praktiknya begitu nyata, tapi tidak pernah ditindak tegas. Pada titik itu korupsi sudah dimulai. Calon pemimpin yang korup menyuap para pemilih yang korup pula.
Rakyat pemilih, kalau tidak korup menerima uang, adalah para pemilih yang lugu. Mereka bisa digiring untuk memilih orang tertentu. Yang punya uang banyak dapat mengerahkan tenaga untuk menggiring pemilih. Ada banyak daerah yang dipimpin oleh orang yang nyata-nyata korup, tapi pemimpin itu bisa terus terpilih, bahkan memimpin secara turun-temurun.
Membenahi sistem pemilihan ini sangat penting. Ini memang bukan soal pemberantasan korupsi secara langsung. Tapi akar persoalannya ada di sini. Kuncinya adalah pada daya kritis para pemilih. Peningkatan kemampuan mereka menilai kualitas pemimpin sangat krusial dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Sayangnya pendidikan politik untuk memperbaiki kualitas pemilu tidak dilakukan.
Selebihnya adalah soal pengawasan. Kasus korupsi dengan pola-pola yang sebenarnya sangat sederhana, terus terjadi. Penunjukan kontraktor yang seharusnya dilakukan secara transparan dan adil, tidak dilakukan. Yang terjadi dalam proses tender kebanyakan formalitas saja. Mekanisme ini kalau tidak diperbaiki, akan terus menjadi pintu masuk tindak pidana korupsi.
Demikian pula, pengawasan oleh inspektorat jenderal nyaris tidak bekerja. Kita masih jarang mendengar kasus-kasus besar yang diungkap oleh inspektorat.
Tanpa perubahan pada hal-hal yang substansial itu, OTT KPK tidak banyak manfaatnya bagi pemberantasan korupsi. OTT hanya akan jadi drama politik belaka.
(mmu/mmu)