Nada optimisme tentang mobil listrik ditunjukkan melalui Catatan Urban Harian Kompas berjudul Macet Sekarang Tak Mengapa, Asal Pakai Mobil Listrik yang ditulis oleh Neli Triana pada 25 September 2021. Artikel ini mengajak kita untuk mengubah pandangan dalam menyambut tren energi terbarukan yaitu mobil listrik, yang diprediksi akan meningkat drastis pada beberapa tahun ke depan.
Salah satu dampak positif yang muncul jika menggunakan mobil listrik yaitu mengurangi tingkat kendaraan bertenaga fosil sehingga menurunkan potensi pemanasan global maupun polusi. Catatan akhir penulis agar mobil listrik menjadi populer ialah concern terhadap desain mobil yang lebih fungsionalis dan penggunaan tenaga listrik yang lebih kecil.
Kendati demikian, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan penggunaan kendaraan bertenaga listrik. Catatan historis menunjukkan tentang inovasi kendaraan bertenaga listrik yang fluktuatif selama kurun beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, inovasi kendaraan bertenaga listrik bernama ESEMKA. ESEMKA pertama kali muncul di kalangan publik ketika presiden Jokowi menduduki jabatan Wali Kota Solo. Gebrakan ini disambut positif oleh seluruh pihak kala itu. Perlahan, kabar ESEMKA hilang ditelan bumi pada 2012-2014.
Menjelang Pemilu 2014, ESEMKA kembali menjadi topik perbincangan. Tetapi, produksi dan penggunaan ESEMKA terhenti begitu saja (CNN Indonesia, 2021). Esemka Telantar Saat Jokowi Gaungkan Benci Produk Asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua catatan di atas menunjukkan dua hal yang sangat kontradiktif. Pada satu sisi, kita didorong untuk menggunakan kendaraan bertenaga listrik. Pada sisi lainnya, kita melihat industri untuk memproduksi kendaraan bertenaga listrik tidak berjalan. Artinya, kesinambungan di antara keduanya tidak bertemu. Lantas, bagaimana langkah yang tepat agar inovasi kendaraan bertenaga listrik dapat berjalan sukses? Hal apakah yang perlu diperhatikan?
Kebijakan Akomodatif
Dalam studi inovasi, terdapat salah satu pendekatan bernama Multi-Level Perspective (MLP). Pendekatan ini mulai dikenal luas pada 1998 melalui studi dari Arie Rip dan RenΓ© Kemp (Whitmarsh, 2012). Gagasan ini dikembangkan pada 2002 oleh Frank W. Geels dengan membawa ide tentang tiga tingkat analitik dalam kerangka kerja MLP.
Pada level makro, itu disebut sebagai landscape. Ide dasar landscape mengungkapkan kondisi eksternal yang mempengaruhi rezim dan niche. Misalnya, perkembangan politik, ekonomi, dan pola mendalam budaya. Pada level meso, Geels memberikan istilah rezim. Rezim menggambarkan kegiatan kelompok sosial untuk mengambil peran, memelihara dan menghubungkan ke teknis sosial. Misalnya, pengguna, ilmuwan, pembuat kebijakan, dan kelompok kepentingan.
Pada level mikro, dirinya menyebutkan istilah niche. Niche menjelaskan sebagai proses internal, seperti pembelajaran atau penelitian melalui pengalaman. Ide dasarnya adalah tentang bagaimana inovasi dapat berkembang. (Poppink, 2016). Geels menjelaskan bahwa Niche diartikan sebagai 'ruang inkubasi'. Berbagai akumulasi niche disebut sebagai inovasi radikal karena statusnya yang lambat laun dapat mengubah kondisi dalam masyarakat. (Geels, 2002)
Kerangka di atas kemudian kita kontraskan dengan kondisi Indonesia. Kondisi landscape global saat ini memperlihatkan dukungan untuk kendaraan bertenaga terbarukan dengan dibuktikan oleh meningkatnya penggunaan mobil Tesla. Tesla telah menjelma menjadi salah satu kendaraan bertenaga listrik yang tengah banyak digunakan.
Niche merespons kondisi landscape dengan sangat baik. Hal ini dibuktikan banyaknya kelompok sosial yang melakukan proses internalisasi, salah satunya naiknya gagasan kendaraan bertenaga listrik bernama Gesits. Gesits adalah hasil kolaborasi antara akademisi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sektor privat (Muzaki, 2020).
Permasalahan terletak pada level rezim. Pembuat kebijakan tidak meresponsnya dengan memberikan kebijakan akomodatif pada situasi landscape dan niche yang terus berkembang. Semisal, infrastruktur pengisian daya kendaraan bertenaga listrik. Sejauh ini, pengisian daya kendaraan listrik hanya dapat ditemukan pada sejumlah titik. Hal ini sangat kontradiktif dengan situasi di negara lain, semisal Belanda.
Di Belanda, infrastruktur pengisian tenaga listrik dapat kita temui dengan sangat mudah. Kebijakan pemerintah sangat akomodatif. Sebab ini yang kemudian mendorong warga Belanda untuk menggunakan kendaraan bertenaga listrik.
Keberhasilan Inovasi
Kerangka kerja Geels menekankan pada dimensi transisi teknologi (TT); kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh perubahan teknologi (Geels, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada status dinamis dalam inovasi; para aktor menciptakan jaringan dan membangun visi bersama tentang bagaimana teknologi baru harus dikembangkan.
Dari pengalaman Indonesia, kita melihat bagaimana visi bersama tidak pernah terbentuk. Kita melihat inovasi terhenti pada level meso. Seberapun landscape tengah berubah, dorongan niche telah maksimal, selama rezim tidak akomodatif maka inovasi tetap terhenti. Transisi teknologi tidak akan pernah terwujud.
Kita dapat belajar dari pengalaman Norwegia (Figenbaum, 2017) dan China (Lin, 2016) yang telah sukses melaksanakan transisi kendaraan bertenaga fosil menjadi bertenaga listrik. Kesuksesan Norwegia terletak pada sumber listrik mereka yang 80% berasal dari tenaga air. Artinya, infrastruktur yang memadai mendorong penggunaan kendaraan bertenaga listrik digunakan (Figenbaum, 2017).
Sedangkan kesuksesan China disebabkan peraturan pemerintah yang mendorong mereka untuk berubah menjadi kendaraan ramah lingkungan (Lin, 2016). Oleh karenanya, kebijakan pemerintah yang akomodatif tentang kendaraan bertenaga listrik patut dibentuk sesegara mungkin.
Arga Pribadi Imawan peneliti Research Centre for Politics and Government (PolGov), FISIPOL Universitas Gadjah Mada