Krisis bahan bakar di Inggris dan China kembali menyadarkan kita pada tantangan pengelolaan energi yang berimbang. Konsep energi trilema yakni bagaimana menyeimbangkan antara keamanan energi, mitigasi emisi, dan potensi kelangkaan energi kembali mengemuka.
China dihantam krisis energi cukup parah. Pasokan aliran listrik di beberapa wilayah tersendat sehingga banyak aktivitas pabrik terhenti. Pun di Inggris, warga mengalami kesulitan mendapatkan BBM untuk kendaraan. Menyitir The Guardian (29/9), pasokan listrik di China sebenarnya sudah meningkat sekitar 10 persen dari awal tahun ini. Pemantik krisis energi saat ini karena raksasa energi China kehabisan stok batu bara. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menyumbang lebih dari 51,8 persen dari total pembangkit listrik.
Ketergantungan China pada batu bara yang sangat tinggi menjadikan negara ini sebagai importir batu bara terbesar dunia. Seiring dengan meningkatnya permintaan global dalam beberapa bulan terakhir karena perekonomian mulai bangkit dari pandemi ditambah kebijakan China memboikot batu bara Australia karena seruan Canberra terhadap penyelidikan asal-usul Covid-19, berimbas pada Beijing kehabisan stok batu bara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis energi yang digambarkan oleh The Guardian (24/9) sebagai "badai yang sempurna" dapat menjadi pembelajaran bagi kita bagaimana transisi energi ke sumber energi ramah lingkungan bisa menjadi bumerang jika dilakukan serampangan. Tidak bisa dimungkiri, aktivitas ekonomi, peningkatan standar hidup, dan perkembangan teknologi mengharuskan pasokan listrik digenjot terus-menerus dari tahun ke tahun. Menurut studi OECD (2019) tingkat kebutuhan listrik Indonesia sudah meningkat hampir dua kali lipat semenjak 2005. Konsumsi energi diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2040 dan tiga kali lipat pada 2060.
Studi lain memperkirakan kenaikan permintaan hingga 7% per tahun hingga 2027 (Walton, 2019). Pada saat yang sama, masih ada sekitar 10 hingga 20 juta orang belum mendapat layanan listrik di Indonesia. Syahdan, supply energi dengan harga terjangkau menjadi keniscayaan.
Mirip dengan di China, lebih dari separuh pasokan aliran listrik di Indonesia diproduksi dari batu bara. Dengan demikian, ketenagalistrikan kita memiliki intensitas emisi karbon tinggi karena mayoritas pembangkit masih memakai teknologi kuno dengan efisiensi rendah.
Memang, pembangkit listrik batu bara merupakan masalah kompleks di berbagai negara. Kebijakan energi dihadapkan pada trilema yakni bagaimana menyediakan harga listrik terjangkau namun minim emisi karbon penyebab fenomena gas rumah kaca serta mencapai kemandirian energi secara berbarengan.
Di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk ke empat terpadat sejagat, keterjangkauan tarif listrik merupakan keharusan. Batu bara merupakan opsi paling gampang guna memenuhi eskalasi kebutuhan listrik karena mudah diekstrak dan mudah didistribusikan. Sebagai salah satu negara pemasok batu bara terbesar di dunia, sangat wajar pemerintah memilih emas hitam ini sebagai pilar utama pasokan produksi listrik nasional kendati sarat emisi karbon.
Pembangkit listrik berbasis penggunaan batu bara diyakini sebagai kontributor utama emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Agar skenario kenaikan suhu maksimal 1,5 hingga 2 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris dapat tercapai, International Energy Agency (IAI) menyerukan tingkat emisi batubara global harus dikurangi hingga 70 persen pada 2040.
Sementara retorika transisi energi ke penggunaan energi baru terbarukan (EBT) terus didengungkan, adopsi kebijakan menuju energi bersih nampak masih gamang karena harga yang belum kompetitif dan resistensi kenaikan harga listrik. Hal ini nampak dari penggunaan energi terbarukan di Indonesia yang baru mencapai 11 persen pada 2020. Jika tidak ada terobosan baru, angka ini akan bertahan hingga 2025 atau hanya separuh dari target 23 persen (24 ribu megawatt) sesuai kebijakan energi nasional.
Naga-naganya batu bara akan tetap dominan bagi pembangkit listrik di Indonesia. Pemerintah sepertinya harus berpikir realistis dalam menyikapi isu transisi energi. Pilihan untuk menggunakan energi termurah merupakan opsi logis kendati harus dibayar dengan penurunan kualitas kesehatan masyarakat dan kemungkinan melesetnya target penurunan emisi gas rumah kaca.
Data OECD menunjukkan bahwa pada 2017 tingkat polusi udara rata-rata nasional mencapai 16,7 Β΅g/m3, angka ini di atas rata-rata anggota OECD meskipun masih di bawah India dan China. Sedangkan sesuai kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim Paris, target reduksi emisi Indonesia sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Dari angka tersebut, sekitar 17,2 persen berasal dari sektor kehutanan dan 11 persen dari sektor energi. Sektor energi adalah kontributor penting pada pencapaian target penurunan emisi.
Melimpahnya sumber daya alam seperti panas bumi dan sinar matahari sepanjang tahun hakikatnya menawarkan peluang bagi Indonesia sebagai negara terdepan dalam penggunaan EBT. Isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim, polusi udara, dan frekuensi bencana yang semakin jamak terjadi bisa menjadi pendorong transisi energi hijau serta ketahanan energi. Menuju kesana harus dipikirkan lebih mendalam tentang kesiapan pasokan energi terbarukan dan skema tarifnya. Belajar dari Inggris, jangan sampai penutupan pembangkit listrik batu bara mengakibatkan kelangkaan energi yang pada gilirannya berimbas pada melambungnya inflasi dan stagnasi ekonomi.
Arif Budi Rahman pengamat kebijakan publik, alumnus Curtin University Australia