Sikap-Sikap Personal yang Kerap Gagal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan IAD

Sikap-Sikap Personal yang Kerap Gagal

Selasa, 12 Okt 2021 19:24 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
iqbal aji daryono
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Fihril Kamal/istimewa)
Jakarta -

Tiga bungkus saos sasetan yang jatuh di bawah meja itu saya ambil. Saya letakkan ke piring kotor bekas kentang goreng. Kasihan mas pelayannya, batin saya. Dia pasti capek, dan sedikit bantuan dari saya tentu bukan hanya memperingan pekerjaannya, melainkan juga menjadi satu perwujudan etika kemanusiaan untuk lebih memuliakan dirinya.

Tetapi, dua detik kemudian terbetik pikiran lain di kepala saya. Begini. Kalau semua orang seperti saya, tentu secara akumulatif beban pekerjaan para pelayan itu akan semakin ringan. Kalau semakin ringan, secara total kebutuhan tenaga di restoran ini juga akan semakin sedikit. Kalau kebutuhan tenaga semakin sedikit, dan bagaimana pun si empunya restoran adalah pedagang yang selalu berprinsip untung-rugi, bukan mustahil dia akan merasa bahwa efisiensi adalah pilihan langkah terbaik. Dari yang semula butuh sepuluh tenaga, jadi cuma butuh delapan. Hasilnya, dipecatlah dua karyawan tukang bersih-bersih piring.

Dengan rumus yang lebih ringkas, proses itu bisa dirangkai menjadi satu kalimat cantik: sikap personal saya membantu bebersih di restoran itu adalah langkah taktis untuk membuat dua pemuda kehilangan pekerjaan mereka!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Barangkali pikiran dan imajinasi saya ini berlebihan. Dan toh di restoran tepi pantai tempat saya mengetikkan huruf-huruf ini saya tetap melanjutkan sikap politik saya untuk membantu mengambili bungkus-bungkus saos tadi. Namun, seberapa tidak logiskah kegelisahan saya?

Tak cuma sekali dua kali saya mendapat nasihat dari teman saya untuk membantu para pekerja di rumah-rumah makan. "Kalau di luar negeri, nggak ada tuh orang minta dilayani seperti itu. Semua pelanggan harus membawa piring kotornya sendiri ke tempat khusus untuk piring-piring kotor." Itu salah satu tipe kalimat yang paling sering muncul.

ADVERTISEMENT

Sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Kongo dan Timor Leste juga luar negeri, dan saya tidak yakin bahwa di sana orang juga membantu pelayan restoran dengan meletakkan piring kotor sendiri. Tapi tentu saya mengerti bahwa yang dimaksud dengan "luar negeri" oleh teman saya adalah negara maju, sedangkan saya juga tahu bahwa di beberapa negara maju pekerjaan layan-melayani memang semakin dikurangi.

Tapi jangan lupa, yang disebut-sebut dengan penuh kekaguman itu negara maju. Di negara maju, sistem ekonomi tertata baik, penyerapan tenaga kerja bagus, angka pengangguran rendah. Maka, daripada juragan restoran membayar orang untuk mengurusi tetek bengek yang bisa dilakukan pelanggan sendiri, mending tradisi bantuan pelanggan dihidupkan. Toh itu tak akan membuat dua pemuda jadi linglung putus asa karena dipecat dari pekerjaan mereka, sebab dalam satu-dua hari mereka akan segera mendapatkan pekerjaan lainnya.

Masalahnya, kita ini bukan negara maju. Ruang penyerapan tenaga kerja tak sebesar di sana dan di sana. Angka pengangguran kita masih agak tinggi, lebih-lebih lagi angka itu juga melonjak karena pandemi. Ketika dua orang anak muda lulusan SMA kehilangan pekerjaan mengangkati piring kotor, boro-boro langsung dapat pekerjaan lain seperti di "luar negeri", yang lebih mungkin adalah mereka akan terus menganggur hingga berbulan-bulan setelahnya.

Aduh, terlalu panjang saya mengoceh tentang bungkus saos tomat dan para pengangkat piring kotor. Padahal saya cuma mau membagi kegundahan tentang betapa sering tidak efektifnya sikap-sikap personal kita.

Saya ingat ketika beberapa teman yang lain gencar bicara tentang food wasting. Ya, semua tentu sudah tahu tentang kampanye untuk menghentikan penyia-nyiaan makanan. Salah satu kalimat yang paling trending untuk topik ini adalah, "Kalau makanan yang kamu sisakan itu dikumpulkan se-Indonesia, bisa-bisa cukup lho, untuk memberi makan satu negara yang kelaparan di Afrika!"

Tentu saja secara normatif membuang-buang makanan itu tercela, secara ajaran agama berdosa, dan saya juga bukan tipe orang yang ingin menyakiti sesama manusia yang tengah menanggung rasa lapar di Afrika sana. Masalahnya, jika kita menahan diri untuk tidak mengambil banyak makanan, dan hasilnya ada lebih banyak stok makanan yang tidak kita sia-siakan, apakah lantas sisa makanan yang masih bersih itu juga akan dibawa ke Afrika? Beneran? Siapa yang membawanya? Siapa yang mengumpulkannya?

Ah, Afrika terlalu jauh. Kita bicara yang dekat-dekat saja. Begini. Kalau kita semakin pelit mengonsumsi makanan, dengan niat agar tidak wasting our food, bukankah lantas serapan produksi bahan pangan juga semakin kecil? Dan karena serapan mengecil, bukankah akan mengecil pula hasil ekonomi yang didapatkan oleh produsen bahan pangan itu? Siapa produsennya? Karena kita orang Indonesia, dan mayoritas orang Indonesia (selain aktivis diet karbo) tentu saja makan nasi, maka jelas, yang hasil ekonominya semakin kecil adalah petani. Begitu, bukan?

Maka, sikap anti-food wasting itu jangan-jangan akan berjalan seiring sejalan dengan kampanye diet karbo, yaitu semakin mengurangi serapan gabah kering dari sawah-sawah petani. Jangan-jangan lho ini. Tapi masuk akal, kan?

"Para petani akan sakit hati ketika hasil kerja keras mereka tidak dihabiskan saat kita makan. Makanya, di desa-desa, sampai-sampai ada nasihat berbau kearifan lokal untuk anak-anak, yang menyebut bahwa kalau waktu makan nasinya tidak dihabiskan, ayamnya bisa mati!"

Oh, itu kapan, Mas? Mungkin tiga puluh tahun lalu. Sekarang ceritanya sudah agak beda. Coba saja kalau pandemi nanti sudah agak reda, datang saja ke acara-acara kondangan manten di desa-desa, lalu temukan betapa food wasting di sana begitu parahnya hahaha. Dan ingat, desa-desa itu isinya petani semua!

Lalu cobalah tanya, apa yang bikin para petani itu sakit hati. Berani taruhan, mereka akan lebih sakit hati kalau harga pupuk melejit tinggi tanpa ada subsidi, kalau hama tikus dan wereng merebak tanpa pemerintah mau peduli, dan kalau mafia impor beras terus beraksi di saat volume hasil panen petani lokal sedang tinggi! Haqqul yaqin, hal-hal itulah yang pasti lebih membuat para petani mengelus dada, daripada melihat seorang anak balita yang rewel saat makan dan ogah menghabiskan nasinya.

Sikap-sikap personal memang mulia. Itu seringkali menjadi bentuk ibadah sosial kita sebisa-bisanya, dalam segenap keterbatasan kapasitas kita. Minimal akan muncul perasaan dalam hati masing-masing bahwa kita menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Tapi, seberapa efektifkah? Bahkan lebih mendasar lagi, seberapa bergunakah?

Memang dunia ini punya banyak persoalan. Memang kesenjangan kesejahteraan, perubahan iklim, eksploitasi alam berlebihan untuk produksi makanan, semua itu persoalan. Namun sepertinya hal-hal yang perlu diselesaikan secara sistematis dan sistemis oleh kekuatan-kekuatan yang berkuasa atas sistem tidak selalu bisa jadi lebih baik dengan dukungan sikap-sikap personal dan parsial.

Oh, saya jadi ingat seorang kawan yang lain lagi. Dia membenci ketidakadilan yang terjadi pada hubungan kerja antara perusahaan aplikasi ojol dan para pengemudinya. Sebagai bentuk perjuangan melawan situasi itu, dia memutuskan memboikot, dalam sekian bulan tidak mau lagi membeli makanan dengan aplikasi ojol.

Langsung terbayang di kepala saya beberapa lelaki berjaket hijau yang menunduk lesu sambil memandangi layar HP mereka, menanti-nanti pesanan yang sudah sepuluh jam tak kunjung tiba....

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads