Sebuah kepergian menawarkan sejumlah pilihan reaksi. Ada yang sedih, seperti ketika Anda ditinggal sang kekasih. Ada yang gembira, bersyukur, seperti saat narapidana pergi meninggalkan penjara yang mengurungnya beberapa tahun. Meski tentu ada golongan yang gemar mengatakan "be aja", seperti kata sebagian anak muda zaman sekarang. Biasa aja, itu maksud mereka --yang sayangnya, bisa jadi ini adalah gambaran respons yang muncul karena keengganan berpikir
Pola respons kita pada dasarnya adalah buah dari bagaimana makna yang dibangun dan muncul dalam pikiran. Ini soal representasi internal. Ini tentang dunia dalam pikiran kita. Kita bereaksi atas dunia dalam kita, bukan atas realitas eksternal.
Sebagian kita berasumsi bahwa kepergian pandemi akan disyukuri. Bisa jadi ini adalah asumsi dan generalisasi, bahkan sesat pikir, yang memang dapat dipahami. Mengapa, ya karena pandemi melulu dilihat sisi negatifnya.
Dampak ekonomi, sosial, dan psikologis yang terjadi sungguh menjadi alasan sangat kuat bagi munculnya fokus pada sisi negatif di atas. Karena pandemi dimaknai negatif seperti ini, sangat wajar jika kemudian respons eksternal yang muncul adalah gembira, bahagia jika pandemi pergi. Kalau perlu ndak usah ada pandemi itu, begitu mungkin pikiran sebagian orang dari kelompok ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebabkan pandemi, sejumlah perusahaan berhenti beroperasi, yang kemudian berujung adanya pemutusan hubungan kerja atas ribuan pekerja. Karena PHK maka pendapatan hilang, lalu banyak keluarga sulit memenuhi kebutuhan hidupnya dan seterusnya. Dampak ikutannya memang dahsyat. Tidak hanya untuk Indonesia, bahkan dapat dikatakan seluruh dunia terdampak secara negatif.
Apakah selalu demikian? Apakah selalu pandemi melulu adalah kegelapan, tanpa sisi terang di sekitarnya? Again, it is about the way you perceive. Ini berakar pada bagaimana Anda melihat sesuatu. Adanya kabar buruk atau narasi negatif tidak kemudian dapat menjadi pembenaran atas penderitaan kita. Penderitaan pada banyak sisinya justru adalah buah keputusan dan pilihan kita
Pada skala mikro, saya melihat hadirnya pandemi justru memberi ruang belajar teramat luas untuk mengasah life skills kita. Kesulitan sedemikian nyata, namun kesedihan adalah pilihan pribadi. Masalah sangat kompleks, namun penderitaan adalah buah keputusan pribadi, buah langkah yang diambil, buah mind set dan pemaknaan kita.
Seperti banyak kisah semisal kisah Victor Frankl yang populer itu, yang memperlihatkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengkreasi makna. Bahkan di tengah penderitaan ada makna di sana, yang kemudian justru menjadi energi untuk melanjutkan hidup. Kisah hidup hari esok adalah buah makna yang dibangun detik ini.
Selama pandemi, saya menikmati banyak program pengembangan diri, yang bisa saya akses karena harganya menjadi sangat murah. Kemudahan teknologi, terutama Zoom dan Google Meet, sungguh mengakselerasi proses pengembangan diri yang kita mau. Bahkan ada periode di mana sejumlah kampus ternama dunia menawarkan online program for free alias gratis --yang jika dalam situasi normal biayanya lumayan menguras kantong
Sekelompok orang yang memimpikan remote working atau working from home atau flexi hour kali ini mendapatkan keleluasaan itu. Orangtua yang sibuk ngantor dan kangen keluarga kali ini diberi kesempatan itu. Tidak perlu minta kepada atasan, bahkan dipaksa oleh perusahaan untuk work from home, sehingga bisa berlama dengan keluarga. Meski tak sedikit yang justru sudah mati gaya dan kebingungan karena merasa sudah terlalu lama. Dan seterusnya, Anda bisa telusuri sisi-sisi positif dari hadirnya pandemi, pada skala mikro maupun skala makro
Pada konteks lebih luas di level pemerintahan, kita lihat bagaimana para pejabat jadi kian erat membangun koordinasi. Beberapa pertemuan lintas departemen pernah saya ikuti dalam rangka menyikapi kondisi pandemi. Di kalangan pengusaha ada pertemuan lintas sektoral yang antara lain melibatkan Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan saat pembahasan implementasi dan pemanfaatan aplikasi peduli lindungi untuk karyawan.
Tentu ada drama riuh rendah di sana-sini yang sempat tertangkap mata publik. Namun itu bisa dipahami sebagai kewajaran. Patut diingat bahwa semua institusi dan lembaga "dipaksa" berespons secara cepat dan tepat dalam situasi genting dengan sumber daya terbatas. Bisa jadi suasana genting yang dihadirkan oleh pandemi ini justru membawa kesadaran baru di tingkat pejabat pemerintahan. Kesadaran akan adanya ruang perbaikan yang dapat mengakselerasi peningkatan pelayanan pada warga bangsa.
Pada konteks global, coba perhatikan fenomena temuan vaksin Covid-19. Konon vaksin baru bisa dibuat dalam waktu belasan tahun. The History of Vaccines menyebut bahwa pembuatan satu jenis vaksin membutuhkan waktu sekitar 10β15 tahun. Ada banyak tahapan di sana semisal masa eksplorasi, uji pra klinis, pengembangan klinis, penelitian regulasi dan pengesahan, produksi jumlah besar dan pengontrolan kualitas.
Pada titik ini, vaksin Covid-19 adalah sebuah terobosan besar, tidak saja untuk bidang kedokteran namun untuk kemanusiaan pada umumnya. Ia menjadi pembuktian betapa hebatnya manusia. Ahli kesehatan, para dokter, peneliti bidang kimia dan yang terkait menjadi pelaku sekaligus bukti kehebatan itu. Catat bahwa vaksin Covid-19 dibuat sedemikian cepat. Satu tahun sudah hadir dan kemudian dimanfaatkan.
Yang tidak setuju atas argumen ini tentu bisa mengatakan bahwa vaksin yang ada adalah vaksin yang dipaksakan, tidak memenuhi kaidah ideal, dan seterusnya. Alasan memang bisa dibuat. Anda bisa memilih argumen dan data untuk mendukung sikap yang Anda pilih. Sayangnya, sikap seperti ini berpotensi mempertegas adanya praktik bias dan distorsi cara berpikir kita.
There is always two side of story. Dua kelompok yang beda pemaknaan memiliki argumen dan data pendukungnya masing-masing. Then so what ? Tepatnya, what next? Sudah menjadi siapa kita pascapandemi ini?
Andai pandemi pergi, saya memimpikan warga bangsa yang justru makin kuat, makin hebat. Andai pandemi pergi saya membayangkan Indonesia yang makin tangguh dan menemukan kekuatan dirinya. Maka andai pandemi Covid-19 pergi, kita sudah kian siap menghadapi pandemi-pandemi lainnya.
Mimpi saya di atas tentu bukan perkara sederhana bak di panggung sulap. Semua pihak perlu melakukan sesuatu. Jika negara saya lihat sebagai entitas organisme kecil, maka dia memliki peran pada tingkatannya sendiri. Dianalogikan sebagai pribadi, maka negara juga punya pilihan atas pemaknaan yang hendak dibuat. Dari pemaknaan yang bermanfaat maka warga bangsa bisa mengharapkan adanya intervensi yang memberdayakan
Yang kita tunggu kemudian adalah upaya masif pemerintah untuk mentransformasi pembelajaran positif di tingkat mikro menjadi narasi kolosal yang menggerakan. Siapa ahlinya? Indonesia berlimpah orang hebat dalam bidang ini. Terbukti saat masa kampanye pemilu maupun pilkada. Banyak data dan berita mampu diolah sedemikian rupa dari beragam sudut pandang. Yang baik saja bisa diolah sedemikian rupa menjadi tidak baik. Tidak percaya? Silakan bongkar lagi catatan Anda terkait black campaign dan hoax yang bermunculan di masa kampanye.
Pakai alat apa? Ada televisi, ada radio, ada media sosial. Apa yang kurang? Semua tersedia dan dapat menjadi saluran kampanye pemberdayaan. Bukankah sudah terbukti dahsyatnya media sosial dalam membangun opini. Apalagi kali ini yang dibangun adalah sebuah kesadaran yang non partisan.
Saya paham kehebohan mengelola bangsa besar seperti Indonesia. Apa lagi saat harus tetap bergerak di tengah banyak pembatasan dan keterbatasan. Namun tentu perlu ada yang memikirkan ini, meski bisa jadi dianggap sebagai tema yang tidak seksi. Sayang jika di ujung hari ternyata bangsa ini tidak belajar apa-apa selepas pandemi pergi.
Coach Adjie (Purwaji) psikolog Lulusan Universitas Indonesia, professional coach/trainer/ counsellor; lebih dari 25 tahun sebagai praktisi HR di sejumlah perusahaan multinational berbasis di Amerika Serikat, Jerman, Australia, dan Italia