Konstelasi politik demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun. Setidaknya dapat disimak dalam tiga laporan utama yakni Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019, The Economist Intelligence Unit (EIU) 2020, dan Democracy Report 2021. Ketiga laporan tersebut menunjukkan bahwa kualitas demokrasi telah memperlihatkan adanya pengurangan signifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan.
Secara lebih spesifik, laporan EIU dan IDI menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi. Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara, sedangkan laporan IDI memperlihatkan turunnya skor indeks kebebasan berpendapat yang semula 66,17 pada 2018 menjadi 64,29 pada 2019. Adapun laporan 2021 Democracy Report menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan dalam demokrasi.
Angka-angka di atas menjadi justifikasi atas beragam persoalan mendasar seperti kebebasan bersuara, keterlibatan masyarakat secara utuh dalam segenap proses dan kebijakan, perlindungan hak-hak masyarakat kecil, kasus korupsi semakin merajalela, dan di lain sisi kesejahteraan sosial belum juga terwujud adalah potret dinamika kehidupan demokrasi saat ini.
Beberapa praktik politik memang menunjukkan kemiripan gejala pada era Orde Baru (Orba) seperti kebijakan pembangunan (developmentalism) yang bertumpu pada infrastruktur dan ekonomi berbasis investasi-kapitalisme (trickle down effect) yang kemudian mengorbankan hak-hak sipil masyarakat daerah (adat) dan ekologi serta disparitas. Bedanya, tidak ada lagi aktor politik tunggal yang dominan, karena tersedianya suprasruktur dan infrastruktur politik demokrasi.
Persoalannya, mengapa bangunan pilar-pilar demokrasi yang dibentuk sedemikian rupa itu tidak berjalan optimal?
Post-Democracy
Kondisi ini bisa dikatakan sebagai post-democracy (Crouch, 2004); seluruh elemen pendukung demokrasi sejatinya telah tersedia, namun peran aktif masyarakat terutama kelas menengah yang memiliki kepedulian dan kesadaran politik serta etika demokrasi, seperti idealisme kelompok kaum reformis 98, telah bergeser menjadi kelompok masyarakat yang cenderung berorientasi pada populisme untuk menopang kekuasaan yang lebih eksklusif.
Kelompok populisme ini berkelindan erat dengan elite kapitalis yang memiliki kuasa sumber daya ekonomi serta elite politik yang memiliki sumber daya kuasa, yang kemudian membentuk sebuah relasi oligarki. Salah satu yang mencolok adalah bagaimana pejabat politik baik di lingkaran eksekutif, legislatif, maupun kepartaian sebagian besar memiliki dua kaki penopang --sebagai pemilik modal (CEO korporasi, komisaris) serta pengambil atau penasihat keputusan politik.
Sesungguhnya aktor-aktor post-democracy bertindak untuk mengakumulasi sumber daya ekonomi serta mengamankan kekuasaannya, yang di hadapan publik menciptakan wacana politik populis dengan opsi-opsi kebijakan yang pragmatis. Berbagai kebijakan politik yang pragmatis seperti UU Minerba, UU KPK, dan UU Cilaker yang kemudian dilegitimasi sebagai kepentingan publik.
Menurut Crouch (2004), klaim tersebut bersifat superfisial, karena kepentingan eksklusif merekalah yang pada akhirnya terakomodasi. Kondisi ini diperparah dengan kemandekan nalar kritis-ideologis partai politik, yang pascapemilu langsung 2004 mengalami degradasi kelembagaan karena kuatnya faktor-faktor ketokohan di dalam partai, kasus korupsi yang melibatkan kader partai, serta ketidakjelasan orientasi politiknya karena nihil ideologi (catch-all).
Partai tak ubahnya organisasi yang hanya hadir pada momen pemilu, sehingga "kehidupan" partai hanya bersifat lima tahunan. Bahkan di era Jokowi selama dua periode, justru banyak partai berlomba-lomba masuk kabinet yang semakin menipiskan peluang check and balance yang optimal. Selain itu, media massa mainstream sebagian besar berafiliasi atau dimiliki secara utuh oleh aktor-aktor post democrarcy; dinamika sosial media pun di huni warganet yang berafiliasi pada kekuasaan (buzzer).
Setidaknya ada dua kondisi yang mendukung post-democracy semakin menemukan bentuknya. Pertama, meningkatnya skeptisme masyarakat terhadap aktivitas politik. Skeptisme ini menjadi akibat dari kebijakan-kebijakan politik yang belum menyentuh akar persoalan di masyarakat, terutama di akar rumput. Kekosongan aktivitas politik yang seharusnya diisi oleh segenap masyarakat, diambil alih oleh kelompok-kelompok pragmatis yang menghamba pada kekuasaan, bisa dari pemodal, aktivis, maupun akademisi. Kalaupun ada suara-suara alternatif instrumen negara yang kemudian menafsirkannya sebagai kelompok radikal dan anarkis.
Kedua, seluruh struktur dan elemen yang dibangun untuk menggerakkan demokrasi mengalami malfungsi sebagai instrumen pembentuk dan pendukung aliansi-aliansi kuasa ekonomi dan politik. Gejala politik dinasti adalah potret riil bagaimana aliansi-aliansi itu terbentuk, yang jika dibedah lebih dalam senantiasa diperkuat dengan kepemilikan korporasi atau jejaring kapital yang kuat.
Maka, sekali lagi, kebijakan politik yang lahir dari rahim post-democracy lebih bertumpu pada kepentingan-kepentingan melanggengkan kuasa; kalau tidak, merebutnya pada momen-momen politik elektoral yang berbiaya sangat mahal.
Demokratisasi
Untuk menghentikan laju post-democrarcy, tidak ada pilihan lain kecuali dengan pelibatan seluas-luasnya partisipasi masyarakat (bottom-up), membuka keterbukaan (inklusif), mengembangkan prinsip-prinsip keadilan, memperlakukan diri dan memperkuat aktor-aktor yang berorientasi pada sifat dan prinsip kenegarawanan dan upaya serius pada penegakan hukum yang sesuai dengan konstitusi.
Lalu, legitimasi politik harus dibangun di atas fondasi dukungan dan kritik masyarakat sehingga akan timbul kepercayaan publik. Proyek-proyek politik pembangunan harus dilandasi diskursus yang matang dan konsensus dengan masyarakat, terutama mengedepankan kearifan lokal dan ekologi, yang kemudian berani menahan ambisi-ambisi yang kapitalistik.
Di samping itu, keterbukaan akses informasi serta dialektika ide-ide alternatif akan memberi ruang pada politik yang akomodatif, terutama partai politik. Partai politik harus hadir merepresentasikan keragaman ide dan gagasan orisinal setiap masyarakat. Terakhir, agar tidak semakin menimbulkan post-power syndrome Orba, pemerintah tidak perlu terlalu "mawas" terhadap suara-suara alternatif dan kritik-kritik terbuka sepanjang etika demokrasi sama-sama kita junjung.
Galang Geraldy, S.IP, M.IP Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
(mmu/mmu)