Jelang pemilihan Panglima TNI, media mulai meramaikan beritanya. Siapa gerangan yang akan beruntung untuk diberi tugas sebagai orang nomor satu di TNI tersebut. Apakah Laksamana Yudo Margono yang sekarang menjabat sebagai KSAL, atau Jenderal Andika Prakasa yang sekarang menjabat sebagai KSAD.
Kenapa media meramaikannya? Apakah berita ini dianggap seksi? Di mana letak seksinya? Apakah karena akan menghadapi Pemilu 2024, sehingga siapa yang akan jadi Panglima TNI punya kans untuk nyapres? Atau apakah karena terpengaruh oleh Jenderal Gatot Nurmantyo yang sempat akan mencalonkan diri menjadi capres di Pemilu 2019 kemarin? Jawaban yang paling aman: entahlah!
Kalau lihat masa pensiun, KSAL Yudo Margono masih punya waktu dua tahun. Yudo Margono akan pensiun tahun 2023. Sementara KSAD Andika Prakasa pensiun tahun 2022. Hanya waktu tersisa satu tahun. Kedua-duanya pensiun di saat publik sedang menggadang-gadang capres 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diperkirakan di akhir tahun 2022, bursa pilpres sudah sangat ramai. Selain sudah dekat dengan masa pendaftaran yaitu pertengahan 2023, saat itu, Anies Baswedan, salah satu kandidat yang dianggap cukup kuat telah berakhir periodenya sebagai Gubernur DKI. Pasti seru.
Ada tiga bahan untuk membaca ke mana tongkat komando Panglima TNI ini akan diserahkan oleh presiden. Pertama, soal giliran. Ini tidak wajib, tetapi tetap mendapat perhatian presiden. Sebab, ini menyangkut psikologi prajurit secara umum.
Selama tiga kali kepemimpinan TNI, dua kali berturut-turut dijabat Angkatan Darat yaitu Jenderal Moeldoko (2013-2015) dan Jenderal Gatot Nurmantyo (2015-2018). Lalu Jenderal Gatot Nurmantyo digantikan oleh Marsekal Hadi Tjahjono dari Angkatan Udara (2018-sekarang). Kalau melihat urutan ini, maka sekarang, jatah Angkatan Laut yaitu Laksamana Yudo Margono untuk mendapatkan giliran menjadi Panglima TNI.
Prinsip giliran ini sebagaimana ada di Pasal 13 (4) UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tetap sebatas hanya menjadi bahan pertimbangan presiden sebagai pemilik otoritas dan penentu nasib kandidat Panglima TNI tersebut. Tidak ada kewajiban bagi presiden untuk memilih secara bergiliran, akan tetapi undang-undang menyinggungnya. Ini seperti memberi pesan untuk menjadi pertimbangan buat presiden. Mengapa perlu dipertimbangkan? Karena ini menyangkut soal keseimbangan, kepantasan, keadilan dan terutama psikologi prajurit.
Kedua, soal problem keamanan nasional dan kedaulatan yang sedang dihadapi. Indonesia saat ini punya dua masalah cukup besar terkait dengan keamanan nasional dan kedaulatan. Yaitu masalah OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ini problem darat dan sudah puluhan tahun (sejak 1965) belum juga tuntas. Akhir-akhir ini sempat menegang, terutama pasca tewasnya Kabinda Papua Brigjend I Gusti Putu Danny Nugraha.
Masalah berikutnya adalah ketegangan di Laut China Selatan. Perseteruan blok Amerika dan China akhir-akhir ini memanas dan menjadi perhatian tidak saja Indonesia, tetapi juga seluruh dunia, terutama negara-negara Asean.
Jika memprioritaskan urusan Papua, maka ada kecondongan untuk memilih KSAD. Tapi, jika pemerintah lebih prioritaskan persoalan di Laut China Selatan, maka KSAL lebih punya peluang untuk menjadi Panglima TNI.
Menimbang kedua masalah keamanan dan kedaulatan yang sedang dihadapi, Indonesia saat ini memang punya masalah kelautan yang lebih berat dari masalah di darat. Ini di antaranya menyangkut keterbatasan alutsista yang dimiliki oleh TNI. Padahal, negara ini adalah negara maritim yang dikelilingi lautan maha luas (6,2 juta KM2). Ini menjadi masalah klasik yang belum secara serius teratasi.
Ketiga, soal subjektivitas presiden. Jika poin pertama dan kedua di atas itu bersifat objektif, maka poin ketiga bersifat subjektif. Secara psikologis, akan sangat bergantung kepada Pak Jokowi. Cocok, sreg dan nyaman bekerja sama dengan siapa di antara dua kandidat Panglima TNI tersebut. Ini menyangkut soal LKK (loyalitas, kedekatan dan komunikasi). Siapa yang punya loyalitas lebih tinggi, ada kedekatan secara personal, dan komunikasinya lebih bagus, maka akan lebih berpeluang untuk dipilih.
Faktor yang ketiga, meskipun bersifat subjektif, tetapi paling menentukan. Anda akan mudah menebak siapa yang bakal jadi Panglima TNI jika anda dapat informasi terkait dengan poin ketiga tersebut: loyalitas, kedekatan dan komunikasi menjadi "kata kunci".
Meski, kawan saya di Kemhan bilang: tebak-tebak buah manggis. Tetapi, ada hukum kausalitas yang menyuguhkan indikator-indikator untuk menjadi bahan bacaan dan analisis dalam semua masalah sosial dan politik, termasuk terkait pemilihan Panglima TNI.
Selain tiga faktor tersebut, ada faktor lain, sebut saja faktor eks, yaitu unsur dukungan yang juga ikut memberi pengaruh. Siapa mendapat dukungan dari siapa, ini juga layak menjadi alat baca dan analisis. Orang partai, tokoh yang bisa mempengaruhi presiden, dll adalah faktor eks. Tetapi ini semua tidak terlalu besar pengaruhnya mengingat situasi Indonesia sedang kondusif dan tidak dalam tekanan. Presiden Jokowi adalah orang yang tidak mudah ditekan, sehingga relatif lebih bebas dan jernih untuk membuat sebuah keputusan.
Kita berharap: siapa pun yang akan dipilih oleh Presiden Jokowi, ia akan mampu membawa institusi TNI lebih maju dan lebih disegani dunia.
Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
(zak/zak)