Minggu lalu, situasi di sekolah tempat saya bertugas sedikit begitu sibuk. Rangkaian pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) mulai dari persiapan (simulasi dan gladi) hingga pada rencana pelaksanaan asesmen adalah penyebab di baliknya. AN merupakan warna baru dalam pendidikan Indonesia. Meski baru dan secara substansial berbeda dengan kebijakan terdahulu yaitu Ujian Nasional (UN), kebijakan ini rupanya dimaklumi dan dapat diterima secara baik oleh semua pelaku pendidikan.
Tidak ada riak-riak penolakan berarti terhadap kebijakan asesmen. Hal ini dikarenakan kebijakan terdahulu yaitu UN dinarasikan sudah bermasalah. UN dianggap tidak menghargai keadilan, standardisasi manusia, dan proses pendidikan. Kebijakan UN dianggap tidak adil karena UN menafikan disparitas kualitas guru dan sarana prasarana antardaerah dan sekolah di Indonesia. UN mematok kompetensi siswa menggunakan standar yang sama, yaitu hanya melalui pengetahuan pada mata pelajaran UN saja.
UN mengabaikan kompetensi dan keterampilan lain yang mungkin saja dimiliki oleh siswa. UN yang pelaksanaannya hanya dalam hitungan jam sering dijadikan sebagai indikator untuk menilai baik atau buruknya kualitas siswa bahkan sekolah sehingga dianggap mengabaikan proses pendidikan yang sudah dilangsungkan selama bertahun-tahun. Karenanya kebijakan AN dirasakan sebagai angin segar dan diharapkan mampu menjadi katalis terhadap masalah-masalah pendidikan yang adalah residu dari kebijakan UN.
Meski harapan terhadap AN adalah demikian, tetapi AN yang di dalamnya terdapat AKM, survei karakter, dan survei lingkungan belajar dalam berbagai definisinya adalah bukan sebagai pengganti UN. AN menurut saya letaknya lebih tinggi dari UN karena kebijakan ini akan dipakai sebagai indikator untuk merumuskan kebijakan pendidikan secara menyeluruh. AN tidak membuat anak tertekan karena yang akan dievaluasi adalah sistem pendidikan dan iklim yang melingkupi kegiatan belajar.
Hasil AN akan menjadi rapor sekolah atau profil sekolah. Kumpulan profil inilah yang akan menjadi gambaran profil pendidikan daerah yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemerintah daerah terkait untuk mengevaluasi kebijakan pendidikan. Karena tujuan AN bukan untuk mengevaluasi siswa, tetapi sistem dan iklim belajar yang akan berpengaruh pada perumusan kebijakan pendidikan, maka data-data hasil AN yang dikumpulkan melalui proses asesmen harus diupayakan benar-benar valid; mampu memetakan mutu atau kualitas pendidikan Indonesia.
AN memang tidak memiliki konsekuensi terhadap siswa peserta AN sehingga siswa tidak perlu dipersiapkan secara khusus untuk belajar soal-soal AN. Tetapi proses AN yang pelaksanaannya dilakukan secara online dengan perantara perangkat komputer (laptop) dapat berpeluang menjadi kurang valid. Tidak validnya data hasil AN dapat mengaburkan kenyataan dari permasalahan yang sesungguhnya.
Sebagai seorang guru pelosok dengan lingkup amatan siswa di pelosok desa, saya melihat setidaknya ada dua faktor yang dapat berpeluang menjadi penyumbang ketidakvalidan data hasil AN. Pertama, sumber daya siswa.
Sumber daya siswa khususnya dalam mengoperasikan perangkat asesmen (laptop/komputer) perlu menjadi catatan khusus. Penentuan sampel peserta AN yang dilakukan secara acak di satu sisi digunakan sebagai representasi atau untuk dapat mewakili sekolah, tetapi di sisi yang lain dapat melahirkan situasi yang paradoksal. Mungkin saja, dari sampel yang dipilih secara acak tersebut terdapat siswa yang masih gagap dalam mengoperasikan perangkat komputer ataupun laptop.
Selain itu, siswa di perkotaan pun lebih berpeluang untuk memperoleh hasil AN yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan siswa di pelosok desa. Hal ini mengingat konten atau soal-soal AN tidak lagi hanya dalam bentuk pilihan ganda, tetapi juga berupa esai dan mencocokkan pilihan.
AN memang tidak membebankan siswa seperti halnya UN, tetapi soal atau konten AN dalam aspek teknik atau cara mengerjakan sudah semakin bervariatif. Siswa tidak lagi hanya sekadar menentukan pilihan a,b,c, atau d tetapi juga mencocokkan dua pilihan serta menjawab soal-soal esai. Artinya butuh keterampilan serta kemahiran dasar siswa dalam mengoperasikan komputer ketika mengikuti proses asesmen.
Dan, fatalnya, keterampilan siswa di pelosok desa terkait mengoperasikan perangkat asesmen tidak seperti yang diharapkan. Perlu juga diingat bahwa tidak semua sekolah di Indonesia sudah dilengkapi dengan laboratorium komputer berikut dengan fasilitasnya. Memang terlihat sederhana persoalan ini, tetapi pengalaman saya sebagai guru di pelosok ketika gladi AN baru-baru ini menunjukkan bahwa sumber daya siswa dalam mengoperasikan perangkat asesmen dapat menghambat berjalannya proses asesmen.
Misalnya pada konten atau soal mencocokkan pilihan jawaban atau soal esai, banyak siswa peserta asesmen yang didapati kebingungan terkait bagaimana teknik atau cara menjawabnya. Karena belum terbiasa, banyak waktu yang habis terpakai hanya untuk bermain dengan menggerakkan kursor. Padahal pelaksanaan asesmen per mata pelajarannya dibatasi oleh waktu. Akibatnya pemanfaatan waktu tidak lagi efektif sehingga akan berpengaruh pada data hasil asesmen.
Meski keadaan di pelosok demikian, peserta AN sudah dinarasikan untuk tidak perlu melakukan persiapan khusus. Ini tentu adalah sesuatu yang paradoks bagi siswa di pelosok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, terkait penggunaan istilah dalam konten atau soal AN yang tidak kontekstual bagi siswa pelosok. Meskipun AN tidak memiliki konsekuensi terhadap peserta AN, tidak berarti siswa dapat dibenarkan untuk menjawab soal secara asal-asalan. Ini juga terkait tanggung jawab dan karakter siswa yang juga sedang dibangun. Mencegah hal itu, minimal informasi-informasi dari soal harus sampai dan dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. Karenanya soal-soal AN yang berorientasi pada literasi dan numerasi harusnya datang dari pengalaman empirik siswa atau dengan kata lain soal-soal AN harus kontekstual.
Siswa di pelosok desa tidak boleh dipaksakan untuk memiliki pengalaman yang sama dengan siswa perkotaan. Misalnya dalam gladi AN baru-baru ini, masih terdapat soal terkait permainan roller coaster. Walaupun sudah disertai dengan tuntunan gambar ilustrasi, tetapi tidak dapat dibantah bahwa permainan roller coaster bukan suatu hal yang empirik bagi siswa di daerah pelosok.
Sudah barang tentu kita berharap bahwa AN bukan hanya sekadar angin segar, tetapi juga sekaligus menjadi obat terhadap persoalan pendidikan kita. Karenanya segala persiapan dan perbaikan dalam menyongsong AN perlu menjadi pekerjaan bersama semua pelaku pendidikan. Baik di sekolah maupun saat di rumah, siswa perlu dipersiapkan terkait bagaimana mengoperasikan perangkat asesmen. Ini demi kesempurnaan AN utamanya kevalidan data hasil AN. Dengan demikian, pada akhirnya kita berharap semoga AN dapat berdampak langsung terhadap kualitas pendidikan kita utamanya terhadap mutu pendidikan di daerah pelosok.
Jefrianus Kolimo guru di pelosok Sabu Raijua, NTT