Saya yakin malam tadi ribuan orang panik. Akun Facebook mereka tidak bisa dibuka. Ketika jempol digeser ke Instagram, situasinya sama saja. Maka, segera mereka ingin mencari kejelasan, dengan bertanya kepada siapa pun terkait kondisi darurat itu. Nah, dipencetlah logo hijau Whatsapp di layar HP. Tapi sungguh sial, Whatsapp sepi sekali. Saat dijajal kirim pesan pun, kiriman itu macet, dengan tanda centang yang tak kunjung nongol.
Kemudian muncul berita di media-media online yang berkabar bahwa ketiga medsos itu sedang down dan tak dapat diakses. Informasi itu memang membikin segalanya jadi lebih terang. Tetapi, orang-orang tidak semata-mata mencari terang. Mereka butuh berbicara.
Masalahnya, berbicara lewat apa? Akun Twitter lama tak dirawat, akun Tiktok belum punya. Mau menelepon pakai jalur seluler? Duh, pulsanya yang nggak ada. Akibatnya, tak ada yang dapat dilakukan selain nonton Youtube Baim Wong atau Dinar Candy, sembari tepekur nelangsa karena tak mampu berbuat apa-apa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ah, medsos memang sudah lama merampas sebagian diri kita. Kita dengan ikhlas menyerahkan separuh eksistensi kita kepada medsos. Tanpa medsos, tanpa akun medsos, agaknya kita sekarang tak lagi merasa utuh sebagai manusia.
Berkali-kali saya menemukan adegan yang menunjukkan peta zaman seperti itu. Setidaknya, sudah lebih dari lima kali saya mendengar kalimat tanya dengan nada yang sama: "Eh, itu anak di mana sih sekarang? Kok lama banget menghilang?"
Menghilang? Apa yang dimaksud dengan menghilang? Apakah orang yang dimaksud itu meninggalkan rumahnya, tanpa pamit minggat dari kantor tempat dia bekerja, lalu bapak-ibunya menangis berhari-hari sambil mencari dia ke mana-mana, dan akhirnya teman-temannya memasang pengumuman di koran-koran: "Orang hilang. Ciri-ciri tinggi 177 cm, berat badan sekitar 75 kilo, berkacamata, rambut berjambul, terakhir dijumpai memakai kaos merah dan celana pendek coklat doreng. Jika Anda menemukannya, harap hubungi nomor HP 08154XXXX"?
Tidak, tidak. Menghilang dalam konsep hari ini tidak harus seperti itu. Seseorang bisa disebut menghilang padahal sehari-hari ia tetap pergi bekerja, tetap nongkrong ngopi-ngopi dengan teman-temannya, tiap sore pun ia pulang ke rumahnya dan selalu berpapasan dengan para tetangga. Namun, di saat yang sama, unggahan Instagram terakhirnya bertanggal tiga bulan lalu, akun Facebook-nya deactivate, nge-tweet pun yang biasanya sehari 20 kali sekarang tak pernah lagi, dan pada beberapa grup Whatsapp namanya muncul sepaket dengan keterangan left group. Ya, orang itu telah menghilang!
Kita cukup mudah menyebut seseorang menghilang, padahal yang terjadi tak lebih daripada "tak terlihat lagi di medsos". Tanpa sadar, medsos telah menjadi kata kunci untuk menentukan apakah seseorang ada ataukah tidak ada!
Medsos adalah produk teknologi, dan teknologi memang sering kali merampas banyak bagian dari diri kita. Saya ingat dua peristiwa kecil yang sering membuat saya bertanya-tanya seberapa besar sebenarnya bagian otak kita yang pelan-pelan kehilangan fungsinya.
Peristiwa pertama terjadi tujuh tahun silam. Sore itu saya berada di kaki bukit yang menyangga Kuil Kiyomizu di sudut kota Kyoto. Kepada penjaga hotel murah tempat saya menginap, saya bertanya ke mana arah menuju area Gion. Lelaki muda itu lantas mengambil selembar kertas, dan dengan bolpoin mencoret-coretkan denah kasar yang saking jeleknya mungkin hanya bisa dipahami oleh dia sendiri, saya, dan Tuhan. Tetapi, sekasar apa pun denahnya, saya manggut-manggut paham menyimaknya, berangkat jalan kaki dengan tenangnya, dan bisa sampai Gion tanpa masalah apa-apa.
Peristiwa kedua terjadi lima tahun kemudian. Saya berada di negara yang sama, dengan bahasa dan huruf-huruf yang sama dengan lima tahun sebelumnya. Kali ini saya berada di apartemen adik saya di Tokushima, kota kecil yang sepi di Pulau Shikoku. Di situ, selama dua hari saya merasa takut berjalan-jalan sendirian, meski sambil menyimak peta sekalipun. Kenapa?
Alasannya sangat sederhana: paket data internet saya baru aktif pada hari ketiga. Tanpa internet, banyak kekhawatiran muncul di kepala saya. Bagaimana kalau saya kesasar? Bagaimana kalau tidak bisa kembali? Bagaimana kalau-kalau yang lain? Selama tiga tahun terakhir, ke mana-mana saya selalu mengandalkan Google Maps, atau Waze, dan fitur share location pada Whatsapp. Sudah terlalu lama saya menyetir tanpa mengingat-ingat jalur jalanan, pasrah saja dikendalikan oleh gambar kendaraan yang merayap pelan-pelan di lajur peta pada layar HP saya.
Lah, apa jadinya kalau saya berjalan tanpa aplikasi-aplikasi itu? Saya benar-benar kehilangan keberanian dalam situasi seperti itu.
Iya saya tahu, di sana banyak juga orang yang bisa ditanyai jalan. Tetapi mereka hanya bisa berbahasa Jepang. Saya sendiri memang lulusan Sastra Jepang. Tetapi, sebagaimana ada lulusan Fakultas Hukum yang gemar melanggar hukum dan tak sedikit lulusan Fakultas Ekonomi yang gagal mapan secara ekonomi, Anda tak perlu kaget melihat seorang lulusan Sastra Jepang yang tidak bisa berbahasa Jepang. Yang jelas, kalau saya kesasar, bakalan sulit saya menanyakan jalan kepada orang-orang di kota se-udik Tokushima, sebab kemungkinan besar tak ada yang bisa berbahasa Inggris di sana.
Poinnya, ketika dulu sebelum terbiasa menggunakan Google Maps saya masih sangat bisa bepergian hanya berbekal denah jelek, setelah Google Maps berkuasa segalanya jadi berubah. Ruang-ruang kecerdasan spasial di otak saya lenyap. Kepercayaan diri saya lenyap. Banyak kemampuan saya sebagai Homo sapiens lenyap.
Seperti itulah hasil kerja teknologi. Ia melenyapkan sebagian diri kita. Dan, kalau Google Maps melenyapkan kemampuan otak saya (dan pasti juga otak Anda) untuk pemahaman peta, medsos jauh lebih beringas lagi: ia merampas bagian yang sangat besar dari eksistensi diri kita sebagai manusia.
Di medsos, manusia bukan cuma meminta bantuan teknis sebagaimana di Google Maps. Melainkan menjadikannya ruang utama untuk menghadirkan diri kita, memunculkan karakter-karakter kita, membangun citra yang kita inginkan untuk dilihat dan dikagumi oleh manusia-manusia lainnya, menjadi jalur utama kita (bahkan kadang satu-satunya jalur kita) untuk berbicara dan mengeluarkan isi kepala, membentuk jejaring kehidupan sosial yang bisa-bisa sangat membentuk pula atmosfer psikologis sekaligus peluang-peluang penghidupan kita, dan entah ribuan fungsi apa lagi selain itu.
Google Maps telah merampas secuil kemampuan otak kita. Tetapi medsos merampok separuh ke-manusia-an kita.
Barangkali saya berlebihan dalam melihat situasi zaman seperti ini. Namun saya yakin ada banyak sekali manusia yang terjebak dalam keterkungkungan serupa. Lho, Anda tidak percaya? Mari buktikan saja. Tunggu sebentar, saya tanyakan dulu soal itu kepada teman-teman lewat status di dinding Facebook saya.
Iqbal Aji Daryono penulis, dapat dijumpai di akun Instagram @iqbal.aji.daryono
(mmu/mmu)