Menteri Sosial Tri Rismaharini menjadi sorotan. Ia marah-marah dalam sebuah acara di Gorontalo terkait soal pemberian bantuan sosial. Ini bukan pertama kali Risma marah-marah, baik sebagai menteri maupun sebagai Wali Kota Surabaya. Bagaimana kita memahami persoalan ini?
Dalam prinsip job relation, seorang atasan, baik atasan langsung atau bukan, wajib melakukan pembinaan kepada bawahannya. Bila ada masalah, ia harus bertindak. Namun ada syarat penting terkait tindakan itu. Yaitu, adanya tujuan. Setiap pemimpin harus lebih dulu mempertegas soal ini dalam pikirannya. Apa hasil yang ingin dicapai melalui sebuah tindakan?
Tindakan haruslah menyelesaikan masalah. Itu harus dipikirkan sebelum tindakan diambil. Kemudian diukur, apakah hasil tadi tercapai setelah tindakan diambil. Bila setelah diambil tindakan ternyata tidak dicapai hasil, maka tindakan tadi menjadi sia-sia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih spesifik lagi, kalau bawahan melakukan kesalahan, atasan harus mengoreksi. Isi koreksi adalah menunjukkan apa yang seharusnya, di mana letak kesalahan. Ditambah tuntutan dan bimbingan untuk menyelesaikan masalah, serta menetapkan langkah-langkah agar kesalahan serupa tidak terulang. Itu adalah prinsip-prinsip dasar dalam pembinaan bawahan.
Apakah marah itu bukan bagian dari pembinaan? Bukan. Marah adalah keadaan emosi tak terkendali. Bisa pula ungkapan frustrasi. Kita harus bisa membedakan antara memberi teguran dan peringatan, dengan marah. Teguran dan peringatan adalah mekanisme pembinaan dalam manajemen. Marah semata persoalan pribadi. Tindakan pembinaan yang keras sekali pun tetap berbeda dengan kemarahan. Perbedaan mendasarnya, sekali lagi, ada pada soal apakah emosi terkendali atau tidak.
Sering orang tidak bisa membedakan antara dua hal itu. Mereka mengira bahwa marah itu bagian dari pembinaan. Padahal bukan. Mungkin ada orang yang berubah sikap, karena malu setelah dimarahi. Sebaliknya, dimarahi bisa membuat orang turun motivasi, merasa dilecehkan, dan sebagainya. Karena itu, marah bukanlah sebuah proses pembinaan. Marah tetaplah sekadar luapan emosi. Kenapa? Karena memang tidak mengandung unsur pembinaan, juga tidak ada dalam struktur pembinaan.
Orang yang marah sering membela diri dengan mengatakan, "Kamu membuat saya marah." Itu adalah ungkapan manipulatif. Kesalahan bawahan adalah objek tindakan koreksi. Marah hanyalah ketiadaan kendali. Yang diperlukan dalam proses koreksi adalah ketegasan, bukan kemarahan. Sebenarnya tidak ada sebab di luar diri seseorang ketika dia marah. Satu-satunya sebab, dia tidak bisa mengendalikan emosi.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin ketika menemukan ketidakberesan? Ia harus memahami duduk persoalan secara utuh. Dalam urusan kementerian ditambah jajaran pemerintah daerah, sebuah organisasi dengan struktur yang sangat besar, soalnya tentu tidak sederhana. Sebab masalah tidak berada di tangan orang yang duduk dalam level pelaksana, yang jadi sasaran kemarahan Risma itu. Akar masalahnya jauh lebih rumit.
Pihak-pihak yang berperan untuk menyelesaikan masalah juga banyak. Ada porsi Risma sebagai menteri, ada pula porsi kepala daerah. Dalam konteks kompleksnya masalah, marah-marah kepada orang di level pelaksana adalah simplifikasi masalah. Pada saat yang sama, tindakan itu bisa pula merupakan pelangkahan wewenang suatu pihak.
Seorang pejabat tinggi setingkat menteri seharusnya fokus pada pembuatan kebijakan. Kekacauan yang ditemukan Risma di Gorontalo bukanlah kasus unik. Ada ribuan kekacauan seperti itu. Kalau menteri mau mengejarnya satu per satu, ia akan kehabisan napas. Menteri justru harus berpikir, merumuskan strategi guna menghapus kekacauan itu. Jangan sampai menteri justru sibuk dengan urusan tetek bengek, tapi lalai merumuskan kebijakan yang membuat perubahan fundamental.
Selebihnya, marah-marah itu tidak baik untuk kesehatan. Semoga Bu Risma selalu bisa menjaga kesehatan. Rakyat menunggu kiprah positif beliau.
Tonton Video: Gubernur Gorontalo Tersinggung Risma Marah dan Ngamuk ke Warganya