Respons teman-teman saya tersebut tentunya tidak berlebihan, mengingat selama ini pemerintah memang kurang menaruh perhatian terhadap pendidikan pesantren. Padahal, pesantren merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagaimana sekolah dan perguruan tinggi. Catatan sejarah juga membuktikan bahwa pesantren lahir dan mengambil peran lebih awal dalam mendidik dan mencerdaskan generasi bangsa hingga sekarang. Hebatnya lagi, pesantren relatif mandiri dan tidak bergantung dengan bantuan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikannya.
Lemahnya perhatian pemerintah terhadap pesantren tersebut merupakan ironi, mengingat begitu vitalnya pesantren di tengah masyarakat, termasuk menjadi kawah candradimuka dalam pendidikan dan pengembangan karakter bangsa ini. Maka, terbitnya perpres tersebut setidaknya merupakan penebusan dosa dan bentuk nyata jawaban bahwa pemerintah mulai serius memperhatikan pendidikan pesantren agar nasibnya sejajar dengan pendidikan formal.
Wakil presiden KH. Ma'ruf Amin menjelaskan bahwa terbitnya perpres ini dimaksudkan untuk menyokong pesantren dalam mengembangkan pendidikan. Apalagi, dana abadi pesantren merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, tepatnya pada Pasal 49 ayat 1 dan 2.
Terbitnya Perpres ini diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan pesantren di Indonesia karena ada regulasi baru yang memperkuat bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membantu pengalokasian anggaran. Tentunya, kepedulian pemerintah ini harus disambut dengan gembira dan penuh dengan rasa syukur, karena dengan demikian, pesantren dapat lebih maju dan berkembang dalam menjalankan fungsi pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat.
Hanya saja, kegembiraan tersebut jangan sampai membuat kalangan pesantren terlena dan terbuai. Di balik hibah dana pendidikan pesantren, sejatinya ada beberapa titik rawan yang harus diwaspadai oleh pesantren agar tidak terjebak pada sesuatu hal yang justru akan menjadi bumerang di kemudian hari.
Pertama, apapun bentuk bantuan dana yang bersumber dari pemerintah, pastilah harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan. Artinya, ada urusan data dan administrasi yang harus diselesaikan. Celakanya, persoalan data dan administrasi adalah titik kelemahan pesantren selama ini.
Jujur harus diakui bahwa belum semua pesantren memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengelola administrasi, termasuk membuat laporan keuangan. Hal tersebut sangat wajar mengingat selama ini sumber keuangan pesantren berasal dari keluarga besar pesantren dan swadaya wali santri. Bahkan tak terhitung jumlahnya pesantren yang dibangun dan dikembangkan oleh dana pribadi kiai dan keluarga inti pesantren itu sendiri.
Biaya tersebut biasanya bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, peternakan, atau perdagangan. Sumber dana yang demikian jelas tidak menuntut adanya laporan keuangan. Apalagi sosok para kiai yang sangat dermawan dan ikhlas membuat dana yang dikeluarkannya tidak perlu lagi dipertanggungjawabkan. Di sisi lain, hubungan kekeluargaan yang erat, unik, dan kepatuhan yang penuh serta saling percaya di antara kiai dan santri seakan tidak memberi ruang untuk melakukan penyelewengan.
Nah, adanya kewajiban pesantren membuat laporan pertanggungjawaban sebagaimana diatur dalam Perpres 82 Tahun 2021 ini dinilai sangat memberatkan. Pesantren dituntut meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk membuat laporan keuangan yang sudah tentu akan menyita waktu. Tetapi, jika pesantren tidak melaporkan atau bahkan keliru dalam membuat laporan, maka ancaman pidana atas tuduhan penyelewengan dana atau korupsi akan tampak di depan mata.
Kedua, hibah dana pendidikan biasanya diikuti pula dengan program pendidikan titipan yang sesuai dengan visi dan misi pemerintah. Bisa jadi, pesantren harus menyesuaikan beberapa bagian kurikulumnya untuk mengakomodasi atau mengadaptasi kurikulum pendidikan pemerintah, katakanlah dari Kementerian Agama.
Jika demikian yang terjadi, maka kondisi tersebut lambat laun akan menghilangkan otonomi dan kekhasan pesantren itu sendiri. Padahal, masih ada ribuan pesantren salaf yang tersebar di negeri ini, yaitu pesantren yang sengaja mempertahankan kurikulum tradisionalnya untuk menjaga kemurnian ajaran dari para ulama pendahulunya.
Ketiga, bantuan dana dari pemerintah bisa membuat pesantren tersandera dan takluk oleh kepentingan penguasa, utamanya kepentingan politik praktis. Jika pemerintah itu disokong oleh beberapa partai politik anggota koalisi, bisa dimungkinkan masing-masing politisi dari partai koalisi akan merayu para pimpinan pesantren untuk menjadi corong kepentingan partainya. Minimal akan menjadikan pesantren sebagai lumbung suara untuk kepentingan pilpres atau pilkada.
Jika pesantren tidak mampu menolak godaan yang diciptakan oleh simpul relasi kuasa, maka sangat mungkin pesantren akan kehilangan marwahnya.
Keempat, ada pesantren yang memang benar-benar tidak mau mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah. Alasannya adalah untuk semata-mata mencari keberkahan dan menghindari sumber dana yang syubhat atau tidak jelas kehalalannya. Pesantren Sidogiri Pasuruan dan Pesantren Rudhatut Thalibin Rembang adalah contoh dari sekian pesantren yang tidak mau mendapatkan bantuan dari pemerintah sama sekali.
Bantuan dana dari pemerintah dianggap syubhat, karena tercampuri oleh sumber dana yang haram, semisal pajak diskotik, kelab malam, industri minuman keras, rumah perjudian, dan sejenisnya. Pantangan besar bagi pesantren untuk menerimanya. Hal ini merupakan sesuatu yang prinsip, karena menyangkut pendidikan spiritual santri. Segala hal yang terkait dengan kebersihan hati dalam proses pembentukan akhlakul karimah, sekecil apapun, semuanya harus halal.
Terbitnya Perpres Nomor 82 Tahun 2021 memang menjadi angin segar bagi kalangan pesantren. Sebagai orang yang pernah menjadi santri, jujur saya sangat bahagia jika pesantren mampu mengelola dana pendidikan tersebut sesuai dengan peruntukannya. Lebih bahagia lagi jika pemerintah mampu menyelami setiap perbedaan dan kekhasan dalam pendidikan pesantren sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat.
Beberapa titik rawan yang ditemukan sudah semestinya menjadi catatan bagi pemerintah maupun pesantren untuk mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Jangan sampai niat mulia pemerintah untuk membantu dan mengembangkan pendidikan pesantren justru malah merusak masa depan pesantren itu sendiri.
Muhammad Makhdum Ahlul Ma'had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini