Salah satu bagian dalam buku yang saya baca sedang menggambarkan sebuah adegan ketakutan yang mencekam. Tokoh utama dan dua karibnya tengah duduk di salah satu tempat makan pada dini hari. Kalimat demi kalimat dalam buku memberikan gambaran bahwa suasana saat itu benar-benar menakutkan. Mereka dihadapkan pada segerombol pria seram yang terlihat mengintimidasi. Urusannya tidak jauh-jauh dari sejarah kelam bangsa Indonesia: PKI.
Adegan yang saya maksud ada di novel Puthut EA berjudul Seorang Laki-laki yang Keluar dari Rumah. Saya belum selesai membaca, tapi sangat tergugah ketika tengah menyantap pembahasan urusan PKI ini. Penulis menggambarkan bahwa tokoh utama tidak begitu takut dengan PKI, kebangkitan PKI, dan apapun tentang PKI.
Bacaan itu rupanya berhasil membawa saya kepada ingatan sekitar satu tahun yang lalu. Ketika itu, seorang guru yang sudah sangat sepuh di sekolah tempat saya mengajar bercerita banyak tentang PKI. Dia adalah saksi sejarah. Kesaksiannya bisa dikategorikan sebagai sumber primer dalam penelitian sejarah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ceritanya panjang sekali. Saya tidak ingat betul. Tapi yang pasti, narasi yang terbangun sama persis dengan adegan dalam novel, yaitu sebuah ketakutan. Keharusan anak-anak sekarang untuk waspada akan kebangkitan PKI juga sepertinya sempat terucap darinya. Saya menyimak, tapi sama sekali tidak takut. Logika pendek saya selalu mengatakan bahwa PKI tidak akan bangkit lagi (setidaknya, tidak ada indikasi sama sekali). Tapi tentu, kalimat itu tidak bisa saya lontarkan begitu saja.
Sebelum Anda menyerang, izinkan saya membela diri.
Saya tidak takut PKI bukan karena saya tidak membaca sejarah. Saya sempat melakukan penelitian tentang komunis. Saya membaca beberapa sumber yang berisi latar belakang munculnya komunis di Indonesia. Terutama dalam tubuh Sarekat Islam. Peristiwa sejarahnya jelas, perlawanannya jelas, dan tujuannya juga jelas. Melawan penguasa atau penjajah dengan cara mereka sendiri.
Komunis muncul ketika ada sebuah penindasan dari penguasa. Masyarakat yang tidak bebas menjadi salah satu pendorong mereka untuk memberontak. Negara kita sedang tidak mengalami masa itu. Setidaknya, tidak separah itu.
Negara kita sudah sadar pentingnya kebebasan. Masyarakat sepenuhnya dibebaskan untuk berekspresi. Hak-hak minoritas pun dilindungi. Jelas sekali bahwa indikasi-indikasi berdirinya komunis di Indonesia tidak terlalu tampak. PKI adalah hantu orang-orang masa lampau.
Masalahnya, apakah ketakutan orang-orang dulu tentang PKI itu perlu diwariskan kepada kita?
Sebagai pengetahuan mungkin perlu diwariskan, tapi sebagai ketakutan, saya rasa tidak!
Suka tidak suka, kelompok tersebut adalah bagian dari sejarah bangsa yang sangat tidak elok untuk dilupakan atau bahkan diabaikan. Narasi tentang sejarah kelam itu perlu untuk dicatat secara detail dan diwariskan ke anak cucu untuk dibaca dan dipahami sebagai sebuah pelajaran.
Namun, ketakutan dan sumpah serapah terhadap PKI masa kini bukanlah tindakan yang heroik. Tidak berarti kebencian dan kekhawatiran orang-orang dulu terhadap PKI juga bisa dimaknai sama. Ketakutan dan kebencian kakek-nenek Anda dan saya terhadap PKI pantas untuk kita hargai. Mereka adalah anak zaman yang mengalami dan menyaksikan langsung pertunjukan paling tidak mengenakkan dalam sejarah bangsa. Wajar kalau mereka kesal.
Hanya saja, tidak perlu kita warisi. Takutnya, kejadian beberapa tahun yang lalu terulang lagi. PKI dipakai sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan dan menaikkan diri sendiri. Ini sama sekali ndak adil. Kalau begini terus, sampai kapan pun PKI akan dipakai sebagai alat untuk berebut kursi di pemerintahan. Saling tuduh-menuduh tentang siapa yang lebih PKI. Perasaan ngeri terhadap PKI harus enyah dari muka bumi ini.
Saya sedikit merasa lega ketika melihat fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Orang sekarang lebih peduli dengan pelecehan seksual dan isu kesehatan mental ketimbang kabar bangkitnya PKI.
Saya pun demikian. Saya akan lebih khawatir ketika tim kesayangan saya, Manchester United kalah dengan Liverpool, ketimbang sebuah logo bergambar celurit dan martil. Ini bukan berarti bahwa masalah orang sekarang jadi lebih remeh dan tidak berbobot. Bukan juga berarti bahwa orang-orang sekarang tidak peduli lagi dengan tragedi suram dalam sejarah.
Saya lebih suka mengatakan bahwa zaman telah berubah. Kenyataan akan perubahan itu harus disadari oleh siapa saja, sesegera mungkin.
Masalah ketakutan masa lampau bisa juga berlaku sebaliknya. Orang-orang sekarang kadang kerap berbangga hati dengan rentetan kedigdayaan sejarah yang pernah terjadi pada masa lampau. Padahal, ada sesuatu yang lebih penting untuk ditakuti dan dibanggakan pada masa kini.
Kesadaran akan berubahnya zaman perlu kita cermati dalam-dalam. Apabila besok anak di masa mendatang sudah beradaptasi dengan dunia yang jauh berbeda dengan dunia kita saat ini, kita pun tidak bisa mengintervensi.
Contoh paling sederhana, ketika nanti (kalau) sekolah tidak pernah bisa masuk tatap muka, kita tidak perlu ndakik-ndakik menjelaskan bahwa belajar daring itu tidak menyenangkan. Tidak seharusnya juga kita bilang bahwa belajar luring adalah cara belajar yang paling efektif.
Percayalah, ocehan kita hanya akan dimaknai sebagai dongeng. Kekesalan kita terhadap pembelajaran daring tidak akan pernah menjadi ketakutan mereka. Mereka adalah manusia yang lahir tanpa mengalami pembelajaran luring.
Urusan lain pun sama. Keresahan kita terhadap menurunnya minat orang terhadap buku cetak juga tidak bisa kita wariskan. Kalau nanti mereka sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan buku digital, kita tidak bisa memaksa mereka untuk mengoleksi buku cetak. Apalagi sampai menyalahkan generasi mereka.
Kita tidak pernah tahu dialog apa yang terjadi ketika semua anak zaman berkumpul dan menyaksikan keluh kesah anak zaman yang lain. Saya menebak akan lahir kaum "mendang-mending" yang berebut simpati dengan bercerita betapa kelamnya masa yang pernah mereka alami. Diskusi itu tidak akan pernah selesai.
Pungkasnya, saya tidak ingin bilang bahwa kita tidak perlu takut terhadap PKI atau apapun tentang isu-isu masa lalu. Kita sangat perlu untuk paham dan mengerti bagaimana kekhawatiran itu bisa lahir dan kemudian menyebar. Perihal bahwa hantu PKI itu dimunculkan untuk menumbuhkan nasionalisme dan kecintaan terhadap Tanah Air, itu pun kita harus sadari.
Namun, kita tidak bisa menelan mentah-mentah dan terlena terhadap keadaan. Terutama keadaan yang dipengaruhi oleh orang-orang masa lalu demi tujuan yang "baik" itu. Kita wajib mewarisi rasa nasionalisme dan cinta Tanah Airnya, tapi kita boleh tidak mewarisi ketakutan terhadap PKI-nya.
Muhammad Farih Fanani guru honorer, mahasiswa sejarah, dan pemerhati isu-isu sosial