KPK, Komnas HAM, dan Presiden
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

KPK, Komnas HAM, dan Presiden

Rabu, 29 Sep 2021 12:30 WIB
zennis helen
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pegawai KPK Dipecat Usai Tak Lolos TWK, Ini Fakta Barunya
Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -
Kemelut ketatanegaraan antara KPK vs Komnas HAM memasuki babak baru. Komnas HAM telah mengirimkan surat rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo setelah laporan hasil penyelidikan yang menemukan 11 bentuk pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak diindahkan oleh KPK.

Rekomendasi itu meminta Presiden mengambil alih seluruh penyelenggaraan TWK dan memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk menjadi ASN. Ini adalah langkah terakhir Komnas HAM bila temuannya tidak ditindaklanjuti oleh KPK --mereka tidak memiliki kewenangan eksekutorial untuk memaksa KPK melaksanakan isi keputusannya. Agar keputusannya dilaksanakan, diperlukan kekuatan lembaga lain (baca: Presiden).

Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum jelas sikap Presiden Joko Widodo, apakah akan melaksanakan rekomendasi Komnas HAM itu atau tidak. Atau, Presiden tetap membiarkan persoalan ini mengapung tanpa kejelasan. Informasi terakhir, presiden tak mau mengambil keputusan dan malahan ia akan menyerahkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk menyelesaikannya.

Dilibatkannya Kemenpan RB dalam penyelesaian kekisruhan ini tampaknya akan menjadi kenyataan. Sebab, Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan mengatakan, "Jangan segala persoalan ditarik-tarik kepada presiden." Pernyataan itu tentu saja tidak mengenakkan bagi pegawai KPK yang telah diberhentikan oleh Ketua KPK. Beberapa orang di antaranya telah membawa barang-barang pribadi mereka keluar dari KPK.

Tulisan ini hendak menyigi dua hal penting. Pertama, apa yang dapat dibaca dari rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden Joko Widodo ini? Kedua, siapa lagi yang memiliki kapasitas menyelesaikan kemelut TWK ini?

Dua pertanyaan ini sangat penting dijawab karena bagaimanapun pegawai KPK yang mencari perlindungan HAM kepada Komnas HAM atas pemberhentian mereka sebagai pegawai KPK harus ada ujung penyelesaiannya, dan ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama mengendap dan menjadi komsumsi publik berkepanjangan. Negara sebagai lembaga kekuasaan harus mencari jalan keluar dan bukan saling lempar ke lembaga lain dalam menyelesaikan kekisruhan yang dapat saja berujung kepada sengketa antarkomisi negara.

Pemantik Kemelut

Berlarut-larutnya penyelesaian masalah TWK berujung kepada rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden Jokowi. Rekomendasi kepada Presiden Jokowi tentu saja bersifat fakultatif dan bukan imperatif. Presiden Jokowi bisa melaksanakan isi rekomendasi itu, bisa juga tidak. Saya teringat perlakuan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang tidak mengindahkan hasil penyelidikan Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Berkas kerap bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejagung dan begitu pula sebaliknya. Kejagung sering beralasan berkas kurang lengkap, bukti yang kurang, dan lain sebagainya. Alhasil, kasus pelanggaran HAM berat misalnya penculikan aktivis mahasiswa 1998, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, hingga kini belum juga dilakukan penyidikan oleh Kejagung. Saya khawatir, perlakuan seperti ini terjadi antara Komnas HAM dengan Presiden (baca: Kemenpan RB). Bagaimana pun, disharmoni relasi Komnas HAM dengan KPK telah menjadi sejarah baru dalam ketatanegaraan kita.

Saya berpandangan, tidak dilaksanakannya 11 temuan pelanggaran HAM oleh KPK dapat dibaca; pertama, telah terjadi disharmoni antarkomisi negara, dan disharmoni ini dapat berujung kepada konflik dan kemelut ketatanegaraan, yang hingga kini belum ada pengaturannya dalam UUD 1945. Kedua, telah terjadi ego komisi negara. Ada komisi yang merasa lebih tinggi dari komisi lain. Padahal, antara Komnas HAM dan KPK memeliki dasar hukum pembentukan yang sama, yakni sama-sama diatur dalam undang-undang.

Ketiga, jika persoalan TWK ini tetap dibiarkan dan tidak ada yang penyelesaiannya, h.ubungan antara Komnas HAM dengan KPK tetap memburuk, maka disharmoni relasi ini dapat menjalar ke komisi-komisi yang lain. Antarkomisi akan selalu berada dalam situasi relasi yang konflik. Tentu saja ini berbahaya bagi upaya konsolidasi ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945. Cita-cita negara dalam Pembukaan UUD 1945 yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur akan sulit dicapai.

Tergantung Presiden

Presiden Jokowi tidak boleh lepas tangan terhadap persoalan ini. Dan, melemparnya ke lembaga lain adalah tindakan ketatanegaraan yang kurang elegan. Presiden Jokowi telah mengatakan bahwa KPK jangan menjadikan TWK ini serta-merta sebagai alasan memberhentikan pegawai KPK. Rekam jejak digital ucapan Presiden masih dapat dilacak. Kini, tergantung pada Presiden dan sikapnya dinanti oleh publik negeri ini.

Presiden dapat mencari jalan keluar karena; pertama, alamat rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden bukan kepada Kemenpan RB. Kedua, Presiden Joko Widodo dibekali dengan segala kewenangan untuk menyelesaikan kekisruhan TWK ini. Baik sebagai sebagai kepala negara, kepala pemerintahan maupun pejabat administrasi negara tertinggi. Saat ini, yang diperlukan adalah iktikad baik Presiden Jokowi menyelesaikannya sehingga kemelut ini dapat segera diakhiri.

Jika ia turun tangan, maka relasi KPK dan Komnas HAM akan kembali membaik, pegawai KPK yang telah diberhentikan akan mendapatkan kembali haknya. Lepas tangan dalam persoalan ini tidak saja akan memperumit relasi KPK dengan Komnas HAM, melainkan juga akan memperlama penyelesaian persoalan TWK ini.

Setiap masalah ada akhirnya. Presiden-lah orang yang tepat untuk mengakhiri persoalan TWK ini. Solusi dari Presiden Jokowi paling dinantikan publik saat ini. Tentu saja solusi yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Semoga.

Zennis Helen dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang, penerima KAHMI Sumbar Award 2021

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads