Presiden seharusnya memperhatikan betul persoalan pemecatan pegawai KPK karena berpotensi membahayakan kestabilan negara. Memang benar, berbagai kebijakan telah berhasil meredam sebagian besar upaya publik dalam mengekspresikan kekecewaannya. Kekecewaan terhadap perkembangan persoalan KPK ini lantas tampak lebih kecil dari seharusnya. Seolah hanya sebuah titik. Mungil.
Tapi titik kekecewaan itu tetaplah bara api. Ia terhubung dengan titik-titik kekecewaan lain. Yang kalau terpantik, titik-titik itu akan meledak secara bersamaan. Protes besar yang menelan korban harta dan jiwa dapat terjadi. Negara bisa chaos.
Hancurnya perasaan masyarakat melihat situasi KPK amat jelas. Adapun sosok yang dijadikan harapan terakhir sebagai pengobat sakit hati tersebut juga bernas.
Seharusnya KPK menjadi institusi perkasa dalam meringkus para maling uang negara. Lembaga ini harus mampu bergerak gesit, para pimpinannya harus menjadi teladan dengan jauh dari perbuatan yang melawan norma kejujuran, dan institusi ini idealnya mempunyai pegawai yang berintegritas dan berpengalaman.
Namun kenyataannya ternyata berbeda. Mekanisme penyelidikan dan penyidikan kini amat rumit. Beberapa pimpinan KPK terjerat skandal hukum dan etika. Serta alih-alih didukung oleh pegawai prestatif, yang ada justru sebagian dari mereka disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang prosesnya kontroversial. Sialnya lagi, upaya penyingkiran itu ditenggarai didukung oleh para pimpinan KPK itu sendiri.
Kekecewaan masyarakat terhadap situasi ini amat jelas. Hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa posisi KPK merosot ke urutan keempat dalam memperoleh kepercayaan publik (detikcom, 26/9). Padahal, lembaga ini biasanya menempati posisi pertama atau kedua.
Ada yang salah dengan realitas saat ini. KPK seharusnya diperkuat, namun yang ada justru diperlemah.
Publik kemudian berharap kepada Presiden Jokowi untuk memperbaiki situasi ini atas beberapa alasan. Pertama, Presiden secara terang menyatakan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan jangan dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai. Kedua, UU memberi otoritas kepada presiden untuk menentukan nasib pegawai KPK. Ketiga, Jokowi semasa kampanye dulu berjanji akan memperkuat KPK.
Sehingga situasi yang dihadapi oleh Presiden Jokowi kini cukup sederhana. Membatalkan pemberhentian pegawai KPK artinya memenuhi harapan publik. Sedangkan membiarkan pemecatan itu terjadi artinya mengecewakan publik. Inilah dua pilihan yang dihadapi oleh Presiden Jokowi saat ini. Dan di ini pula yang menjadi persoalan krusialnya.
Membuat publik kecewa artinya mempertebal satu titik persoalan. Masalahnya, titik persoalan bukan hanya di isu KPK saja. Ada banyak titik persoalan lain yang telah lama mengendap.
Sebut saja titik persoalan UU Omnibuslaw, konflik agraria, kekerasan di Papua, pelanggaran HAM di KM 50 dan kasus Munir, serta isu tata ruang lainnya.
Sifat setiap titik kekecewaan cenderung sama. Pertama, setiap titik kekecewaan itu memiliki basis pendukungnya masing-masing. Mereka bisa berupa aktivis, mahasiswa, akademisi, maupun kaum profesional yang concern di bidang tersebut.
Kedua, setiap kelompok belum memiliki kerja sama yang menyatu dengan kelompok lain. Sejauh ini setiap kelompok di sebuah titik kekecewaan cenderung memiliki kerja sama sebatas aksi solidaritas. Amat sukar menemukan adanya agenda tunggal yang mampu menyatukan semua kelompok. Terlebih, dan harus diakui, performa narasi "oligarki" sebagai upaya menyatukan semua titik kekecewaan tampaknya belum berjalan baik.
Ketiga, tiap kelompok di semua titik kekecewaan sama-sama merasa dibungkam sehingga tidak berani mengekspresikan tuntutannya secara terbuka. Betul, bahwa ada beberapa unggahan di media sosial terkait persoalan yang KPK, agraria, pelanggaran HAM dan isu krusial lainnya. Tapi itu cuma sebagian kecil saja. Adapun sebagian besar dari mereka, nyalinya mengkerut ketika berhadapan dengan polisi siber, ancaman hukum yang dilayangkan para pejabat, dan segala macam kebijakan penekan lainnya.
Kalau dilihat sekilas, kecilnya kekecewaan publik yang terekspresikan secara terbuka mungkin tampak baik. Tetapi ini sebenarnya kabar buruk.
Kelompok-kelompok yang tidak dapat mengekspresikan protes bukan berarti mereka tidak kecewa dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka hanya tidak berani menyuarakannya. Saat ini mereka tetap bergunjing, memprotes pemerintah dengan cara berbisik di antara mereka.
Situasi saat ini tidak baik-baik saja. Titik-titik kekecewaan ada banyak yang walau tak terekspresikan, ia tetap membara.
Dan sejarah menceritakan bahwa proses penyatuan dan terbakarnya titik-titik kekecewaan itu tidaklah sulit dan lama. Di Tunisia 2013 lalu, seorang PKL yang sejak lama kecewa dengan rezim pemerintahan memilih membakar diri saat dirazia aparat. Mati terbakarnya Mohamed Bouazizi telah menyatukan dan meledakkan titik-titik kemarahan publik yang sudah mengendap lama. Revolusi pun pecah, Presiden Zine Abedine ben Ali pun lengser.
Di Mesir, titik-titik kekecewaan publik yang telah lama ada juga tiba-tiba saja berkobar. Pemantiknya tak lain dari peristiwa demonstrasi menentang pemerintah di negeri tetangga, Tunisia. Demonstrasi besar di Mesir yang terjadi selama berhari-hari itu tak terbendung. Presiden Hosni Mubarak pun akhirnya juga lengser.
Yang perlu diperhatikan, kehadiran media sosial sangat efektif dalam menyatukan dan membakar titik-titik kekecewaan itu. Facebook, Twitter, Instagram, sampai WhatsApp dan Telegram adalah penyatu semua kelompok yang selama ini kecewa terhadap pemerintah.
Demikian krusialnya titik-titik kekecewaan publik yang terpendam karena terbungkam. Meski kecil, mereka tetap menjadi bara yang siap tersulut bensin.
Dan untuk ukuran Indonesia, bagaimana mudah dan sepelenya wujud bensin penyulut protes besar tersebut. Berapa kali dalam sebulan atau seminggu razia PKL terjadi di Indonesia? Dan seberapa sering protes besar terjadi di negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan baru-baru ini di Australia? Serta seberapa intensifnya penggunaan media sosial di Indonesia?
Ancaman penyatuan berbagai titik bara kekecewaan di Indonesia dapat berupa apa saja, kapan saja, dengan beragam cara. Dan dampak yang ditimbulkan pastinya juga sangat besar. Stabilitas negara bukan hanya oleng. Rezim pemerintahan bukannya mustahil tumbang dalam sekejap.
Atas itu semua, Presiden Jokowi harus cermat dalam membaca situasi. Titik-titik kekecewaan ada banyak, dan potensinya untuk tersulut amat besar dan mudah.
Alangkah baiknya jika situasi ini cepat dikendalikan. Membatalkan pemecatan pegawai KPK berati memenuhi harapan masyarakat. Itu artinya satu titik bara kekecewaan berhasil dipadamkan.
Toh, pemecatan puluhan pegawai berintegritas dan berpengalaman KPK ini dipercaya banyak orang sebagai permainan oknum-oknum pragmatis. Rasa-rasanya tidak lucu juga jika Presiden Jokowi yang harus menanggung akibat dari kenakalan mereka-mereka ini.
Yuli Isnadi pengamat "internet politics", dosen Fisipol UGM
Simak juga 'Dasar Aturan Jokowi Setujui 56 Pegawai KPK Jadi ASN Polri':
(mmu/mmu)