Membangun Stabilitas Pemerintahan Baru Lebanon
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membangun Stabilitas Pemerintahan Baru Lebanon

Jumat, 24 Sep 2021 13:31 WIB
Zaki Al Asyura
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Prime Minister-designate Najib Mikati leaves the al-Omari mosque in the Lebanese capital Beirut on September 10, 2021, ahead of meeting with the Lebanese President. (Photo by - / AFP)
PM Lebanon Najib Mikati (Foto: AFP)
Jakarta -

Pasca kebuntuan politik selama 13 bulan, Lebanon akhirnya dapat membentuk pemerintahan baru pada 10 September 2021. Najib Mikati yang telah ditunjuk menjadi Perdana Menteri (PM) sejak 26 Juli mulai membentuk kabinet baru yang terdiri dari spesialis non-partisan. Pemerintahannya bertekad untuk mereformasi ekonomi negara dan melakukan beberapa pemulihan. Keberhasilan PM Najib Mikati membentuk pemerintahan menandai berakhirnya kevakuman kekuasaan parlemen pasca mundurnya PM Hasan Diab yang didasari oleh peristiwa ledakan di pelabuhan Beirut dan serangkaian krisis ekonomi yang terus melanda.

Sebelumnya, Mustapha Adib dan Saad al-Hariri, belum berhasil membentuk pemerintahan interim karena perselisihan mengenai pembagian kekuasaan antarkelompok agama. Distribusi kekuasaan berdasarkan kelompok sektarian bukanlah hal baru di Lebanon. Sejak negara itu berdiri, pakta nasional disepakati untuk membagi kekuasaan sesuai dengan populasi sekte agama di negara. Alih-alih menguatkan demokrasi dan menjaga stabilitas, sistem pembagian kekuasaan (konsosiasional) justru menimbulkan instabilitas berkepanjangan yang ditandai dengan perpecahan dan pertarungan kekuasaan antar kelompok sektarian.

Menimbang hal tersebut, analisis lebih lanjut terhadap bagaimana pemerintahan baru di bawah PM Najib Mikati dapat membangun stabilitas di tengah kuatnya budaya klientelisme dan rivalitas sektarian di Lebanon menjadi sebuah isu menarik untuk dibahas.

Kompleksitas dan Fragmentasi

Menjadi sebuah negara multi-kultural, Lebanon tidak terlepas dari kompleksitas dan fragmentasi struktur sosial. Kondisi ini telah menimbulkan jurang perbedaan mendalam pada interaksi sosial masyarakat sehingga mengakibatkan pertarungan identitas. Pada masa awal pendirian negara, contohnya, masyarakat Muslim dan Kristen tarik-menarik mengenai identitas negara. Kelompok pertama menginginkan negara beridentitas Arab, sementara kelompok terakhir menginginkan Lebanon sebagai negara sekuler ala Barat. Akhirnya, perselisihan mengenai identitas negara diselesaikan melalui kesepakatan "Pakta Nasional" oleh pemimpin Muslim dan Kristen pada 1943.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pakta Nasional 1943 menyepakati bahwa Lebanon adalah sebuah negara netral, bebas, dan berdaulat dengan karakter Arab. Kesepakatan tersebut juga andil dalam menentukan sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dibagi berdasarkan kelompok keagamaan. Perbandingan jatah perwakilan di pemerintahan diformulakan 6:5 untuk Kristen dan Muslim. Selanjutnya, Pakta Nasional juga menyepakati bahwa Presiden dijabat oleh kelompok Kristen Maronit, Perdana Menteri dijabat oleh Muslim Sunni, dan Ketua Parlemen dijabat oleh Muslim Syiah.

Namun, dalam perkembangannya, sistem perwakilan tersebut digugat. Perubahan demografis yang terjadi mendorong kelompok Muslim menuntut perubahan pada perbandingan jumlah anggota parlemen. Karena tidak terjadi kesepakatan baru, meletuslah perang sipil yang melibatkan berbagai kelompok pada 1975.

Perang sipil berakhir setelah masing-masing kelompok dapat bermediasi. Mediasi tersebut melahirkan kesepakatan baru pada 1989 yang dikenal dengan sebutan "Kesepakatan Thaif". Penamaannya diambil dari nama kota di Arab Saudi di mana kesepakatan tersebut terjadi. Tidak ada perubahan signifikan pada sistem politik Lebanon dari Kesepakatan Thaif. Sistem perwakilan (demokrasi konsosiasional) justru dilegalisasi menjadi konstitusi resmi negara. Hanya saja, perbedaan terdapat pada komposisi perwakilan dengan perbandingan pembagian kekuasaan menjadi 5:5 untuk Muslim dan Kristen.

ADVERTISEMENT

Stabilitas di Tengah Polarisasi

Periode pasca Kesepakatan Thaif merupakan periode stabilitas di Lebanon. Stabilitas dapat terjadi karena besarnya dukungan internasional. Suriah merupakan salah satu pihak yang berperan penting dalam menjaga stabilitas di Lebanon pasca perang sipil. Namun, tensi politik Lebanon kembali meningkat pasca peristiwa kematian PM Rafiq Hariri pada 2005. Suriah dan Hizbullah tertuduh atas kematian Rafiq Hariri. Suriah pun menarik diri dan sejak peristiwa tersebut sampai saat ini tensi di Lebanon kembali meningkat.

Hengkangnya pasukan Suriah dari Lebanon tidak dapat dipungkiri meninggalkan instabilitas jangka panjang. "Bongkar pasang" pemerintahan selalu menandai dinamika politik Lebanon. Beberapa upaya pihak internasional untuk membentuk pemerintahan yang bersatu belum terlihat mampu untuk mengakomodasi tuntutan setiap kelompok. Sebaliknya, campur tangan pihak internasional justru semakin memperdalam polarisasi sektarian di Lebanon.

Jika melihat perubahan dinamika politik Lebanon pasca kematian Rafiq Hariri dan mundurnya pasukan Suriah, polarisasi sekilas lebih tampak terorganisasi pada kepentingan politik ketimbang afiliasi sektarian. Polarisasi yang terbentuk dari koalisi 8 Maret (pro Suriah) dan 14 Maret (kontra Suriah) dapat menghasilkan kerja sama lintas komunal di antara para elite politik dari berbagai kelompok agama.

Namun, rivalitas sektarian sejatinya masih menjadi bahan bakar utama perselisihan. Hal ini karena penggerak utama masing-masing kubu adalah dua kelompok agama besar yaitu Sunni (dimotori oleh Partai Gerakan Masa Depan-Future Movement, FM) dan Syiah (dimotori oleh Hizbullah). Kedua partai terus berselisih mengenai pembagian kekuasaan. Jika parlemen dikuasai oleh Hizbullah dan koalisinya, maka Partai FM dan koalisinya tidak ikut mengambil peran dalam pemerintahan, begitu pun sebaliknya.

Akibatnya, sistem pembagian kekuasaan tidak dapat berjalan sehingga Lebanon beberapa kali mengalami kekosongan kekuasaan. Lantas, mungkinkah stabilitas Lebanon di bawah PM Najib Mikati terbentuk di tengah realitas polarisasi sektarian yang masih kental? Mampukah pemerintahan Mikati menjalankan fungsinya sehingga ia mampu memperbaiki kondisi negara?

Menurut hemat saya, pemerintahan di bawah PM Najib Mikati tidak akan jauh berbeda dari pendahulunya. Meskipun Mikati pernah dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri (2005 dan 2011-2014), sulit tampaknya bagi Mikati untuk dapat menciptakan stabilitas dan membangun pemerintahan yang dapat menjalankan fungsinya secara utuh. Mikati juga kurang mendapat dukungan dari rakyat karena tuduhan kasus korupsi yang menjeratnya.

Selain itu, hal yang akan menjadi tantangan pemerintahan PM Najib Mikati adalah polaritas sektarian masih mendominasi akar perselisihan pembagian kekuasaan. Ketika masih ada pihak yang merasa kepentingan mereka tidak terpenuhi, maka pemerintah yang bersatu sulit terbentuk. Dalam situasi ini, pemerintah tidak akan dapat menjalankan fungsinya sehingga stabilitas akan terus menjadi masalah utama Lebanon.

Di lain sisi, mewujudkan stabilitas dan membentuk pemerintahan yang satu sulit tercapai akibat kuatnya patronasi setiap kelompok kepada aktor asing. Hizbullah sebagaimana diketahui berpatron ke Iran dan Suriah, sementara FM mendapat dukungan dari Arab Saudi dan AS. Realitas ini tentu saja menjadikan Lebanon rentan menjadi ladang proxi pengaruh dan kepentingan asing. Hal ini tentu akan semakin memperdalam perselisihan antar kelompok dan memperburuk instabilitas yang telah terjadi.

Dari beberapa faktor di atas, saya memandang bahwa tesis "benturan peradaban" (clash of civilizations) milik Samuel P. Huntington sangat relevan untuk menjelaskan sumber utama instabilitas di Lebanon yang berasal dari pertarungan identitas sektarian. Huntington memandang bahwa konflik pasca perang dingin bukan berasal dari pertikaian antara negara, melainkan berasal dari pertikaian antara budaya dan peradaban. Dalam kasus Lebanon, konflik dan perselisihan terjadi antarbudaya (sektarian) dan dalam peradaban negara itu sendiri.

Pada akhirnya, agar Lebanon dapat terlepas dari instabilitas, saya berpendapat bahwa setiap kelompok sebaiknya dapat lebih mengedepankan kepentingan umum dan publik di atas kepentingan pribadi kelompok. Setiap kelompok harus mencapai kata sepakat pada setiap persoalan fundamental. Masing-masing pihak juga perlu membangun kepercayaan antara satu dan lainnya, sementara mereka juga perlu meminimalkan patronasi kepada pihak asing agar tidak mudah untuk diintervensi.

Zaki Al Asyura pengamat politik Timur Tengah

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads