Perdamaian kerap dilambangkan dengan gambar merpati membawa ranting zaitun. Orang-orang umumnya berfokus pada sang merpati sebagai simbol perdamaian. Namun, tradisi lain menggambarkan perdamaian justru dengan merujuk pada ranting zaitun yang berada di paruh sang merpati.
Selain melambangkan kejayaan, tradisi Yunani dan Romawi Kuno telah memperkenalkan ranting zaitun sebagai simbol perdamaian. Eirene, Dewi Perdamaian Yunani Kuno, yang dikenal dalam tradisi Romawi Kuno sebagai Pax, menggunakan ranting zaitun sebagai salah satu atributnya. Menurut tradisi Romawi Kuno pula, pihak yang kalah perang menggenggam ranting zaitun sebagai tanda permohonan damai.
Tetapi, tradisi kuno lainnya bisa secara berbeda memaknai simbol merpati membawa ranting zaitun. Tradisi Yahudi Kuno, misalnya. Simbol merpati dan ranting zaitun akan membawa kita pada kisah Nabi Nuh, yang diteruskan dari tradisi Yahudi Kuno oleh tradisi religius Abrahamik. Umat Muslim dan Kristiani kiranya akrab dengan kisah Nabi Nuh yang melepas burung merpati ketika Tuhan menghukum manusia-manusia berdosa dengan mengirim air bah ke bumi. Merpati itu kembali kepada Sang Nabi dengan membawa ranting zaitun, menandakan mulai surutnya air bah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang ada yang mengatakan bahwa di dalam kisah Nabi Nuh, merpati dan ranting zaitun itu merupakan tanda damai antara Tuhan dan manusia. Pemaknaan ini kemungkinan dibuat supaya konsisten dengan makna ranting zaitun pada tradisi yang lebih tua. Namun, mari kita simak pula pendapat Gilad J. J. Gevaryahu, seorang rabi Yahudi sekaligus akademisi.
Gevaryahu (2015) menulis tafsirnya mengenai merpati membawa ranting zaitun di dalam Jewish Bible Quarterly. Lepas dari makna merpati atau ranting zaitun sebagai lambang perdamaian, Gevaryahu berusaha lebih konsisten dengan kisah Nabi Nuh itu sendiri dan perilaku alami seekor merpati. Seperti merpati yang dilepasliarkan pada umumnya, merpati Nabi Nuh pada dasarnya membawa pulang ranting supaya dapat membangun sarang, tempatnya bisa beristirahat atau meletakkan telurnya. Gagasan "membangun sarang" ini lebih sesuai dengan keseluruhan kisah Nabi Nuh, yang juga sedang mencari tempat berdiam setelah sekian lama diombang-ambingkan air bah.
Alih-alih simbol perdamaian, Gevaryahu memaknai tindakan burung merpati membawa ranting untuk "membangun sarang" sebagai suatu upaya "membangun tatanan baru". Pemaknaan ini sesuai dengan Nabi Nuh yang dipercaya Tuhan untuk membangun tatanan dunia baru dengan manusia yang lebih beradab dan berperilaku pantas di hadapan Tuhan. Walaupun demikian, tentu saja kita masih bisa menarik benang merah pemaknaan ranting zaitun, baik sebagai simbol tatanan dunia baru maupun perdamaian; bagaimanapun, bukankah tananan baru yang diimpikan siapapun membutuhkan perdamaian sebagai landasannya?
Kekerasan dan Tatanan Dunia Akhir-Akhir Ini
Kita boleh saja memaknai ranting zaitun sebagai simbol perdamaian atau tatanan baru yang juga membutuhkan perdamaian. Namun, mendekatkan gagasan dan pemaknaan dengan kenyataan akhir-akhir ini ternyata masih sulit. Justru kita disuguhkan dengan upaya-upaya penuh kekerasan dalam membangun tatanan baru dunia.
Kita bisa menyebut, antara lain, peristiwa yang terjadi di Afghanistan. Sudah sekitar sebulan kelompok Taliban kembali menguasai Afghanistan. Kepergian tentara Amerika Serikat secara bertahap menyisakan goyahnya tatanan di Afghanistan. Sementara itu, pemerintahan di bawah Presiden Ashraf Ghani ternyata masih belum dapat membangun tatanan yang cukup kokoh di Afghanistan.
Taliban mencoba memperbarui tatanan sesuai keyakinan mereka. Sayangnya, janji membangun tatanan secara damai masih belum mereka wujudkan. Belum lama ini mereka mengeksekusi beberapa tentara dan perwira polisi milik rezim Ashraf Ghani. Bukan hanya militer, warga sipil di Lembah Panjshir, basis pasukan anti Taliban, juga dibunuh. Daftar para korban ini masih dapat diperpanjang dengan lebih dari dua juta pengungsi Afghanistan. Ada pula sekitar 10 juta anak-anak Afghanistan yang terancam gizi buruk akibat pendudukan Taliban.
Tindak kekerasan seolah-olah menjadi identik dengan upaya menggoyang, bahkan mengganti, tatanan yang sudah ada. Pada 7 Juli lalu sebuah unit komando yang terdiri dari 28 orang membunuh Jovenel Moise, Presiden Haiti, di kediamannya. Krisis politik di Myanmar juga berpuncak pada kudeta militer yang disertai kekerasan pada awal Februari 2021. Dapat pula kita masukkan krisis di Timur Tengah, khususnya perselisihan Palestina dan Israel yang tidak pernah selesai.
Jangan lupa, stabilitas beberapa tempat di negara kita ini juga kerap digoyang lewat kekerasan, antara lain di Papua. Padahal, tanpa kekerasan pun tatanan dunia kita saat ini belumlah stabil akibat pandemi Covid-19.
Membangun Sarang yang Kokoh
Meminjam ungkapan kisah merpati Nabi Nuh dengan ranting zaitun di paruhnya, saat ini tantangan terbesar kita adalah membangun "sarang yang kokoh". Ya, "sarang yang kokoh dari ranting zaitun" menjadi simbol untuk kita yang saat ini membutuhkan tatanan kokoh dan stabil dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kita tentu tidak perlu mengganti tatanan yang sudah ada selama kekuatannya masih terbukti untuk menaungi dan menyejahterakan jutaan masyarakat Indonesia. Tetapi, dengan rendah hati pun kita mengakui bahwa tatanan yang paling kuat pun tetap memiliki keretakan yang harus diperbaiki secara berkala.
Kita sebagai rakyat dapat mengupayakannya lewat tindakan yang mendukung harmoni. Yang paling dibutuhkan adalah terus bergotong royong dan saling membantu dalam melewati masa-masa sulit pandemi. Hendaknya kita juga tidak terpancing untuk melontarkan kabar bohong dan ujaran kebencian yang dapat memecah masyarakat. Segala ikhtiar ini diharapkan juga didukung penuh oleh pemerintah dengan cara mendengarkan suara rakyat, bukan dengan membungkamnya.
Sementara terus berusaha memperbaiki tatanan di Indonesia, pemerintah Indonesia diharapkan bisa menjadi corong suara rakyat Indonesia yang juga merindukan perdamaian di tempat-tempat rawan konflik. Dengan bermodalkan politik bebas aktif, pemerintah Indonesia saat ini dapat berperan lebih banyak di dunia internasional dalam mengusahakan tatanan berlandaskan perdamaian. Pemerintah kita tidak perlu ragu karena akan banyak yang mendukung.
Merpati dan ranting zaitun merupakan simbol abadi, baik bagi perdamaian maupun tatanan yang kokoh. Tetapi, simbol itu tetaplah menjadi gagasan dan kisah yang indah bila tidak ada yang tergerak untuk mewujudnyatakannya. Kita mengakui bahwa saat ini kita hidup di tatanan dunia yang sedang rapuh karena konflik dan pandemi, seperti "merpati Nuh beristirahat di ranting zaitun yang rapuh." (Martini, 1995). Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama juga saat ini supaya "merpati Nuh dapat benar-benar beristirahat dalam sarang yang kokoh."
Dodo Hinganaday lulusan program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta