Mural, Baliho, dan (Kenyamanan) Ruang Publik

Kolom

Mural, Baliho, dan (Kenyamanan) Ruang Publik

Oli Aprilita - detikNews
Kamis, 23 Sep 2021 10:18 WIB
Jakarta -

Mural bukan merupakan suatu yang baru terkhususnya di ranah politik. Mural adalah seni menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok, atau permukaan yang luas. Mural dalam politik biasanya digunakan untuk mengemukakan pendapat atau pesan juga digunakan untuk menyindir aparat negara dan petinggi lainnya atau orang terkemuka dan terpandang. Sedangkan baliho merupakan sarana untuk berpromosi dan memberikan informasi yang berhubungan dengan masyarakat.

Tidak sedikit kita melihat berbagai partai politik di Indonesia ini seakan berlomba lomba memasang baliho-baliho mereka baik di tembok pinggir jalan dan di tiang besar, kuat, dan semi permanen. Belakangan ini marak diberitakan tentang penghapusan mural yang dianggap mengotori tembok atau sarana umum lainnya kemudian digantikan dengan baliho dengan berbagai macam warna dan ukuran. Apakah mural merusak dan mengotori pemandangan, dan baliho sebagai seni jalanan yang indah atau justru sampah visual?

Mural dapat ditemukan paling tidak sejak periode revolusi. Mural seperti Tulisan-tulisan dapat ditemukan di gerbong kereta yang berisi seruan upaya propaganda mendukung kemerdekaan. Seni mural ini mulai menutupi dinding-dinding kota yang porak-poranda akibat perang yang berkecamuk selama aksi melawan Belanda. Lalu sejak runtuhnya Orde Baru dan mulainya keterbukaan politik, baik individu atau kelompok merespons dan mengekspresikannya melalui karya seni mural.

Sedangkan baliho sudah sejak lama digunakan untuk beriklan politik. Hampir di sepanjang jalan pusat kota hingga pinggir kota tidak luput dari media promosi yang satu ini terutama menjelang kontestasi politik. Baliho politik didesain dan dibangun berdasarkan kekuatan politik di suatu daerah, sedangkan mural dapat dibuat oleh siapa saja tanpa memandang status masyarakat. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya mural-mural berbau politik yang dibuat di tembok-tembok jalanan sebagai wadah mengekspresikan dan menyuarakan pendapat politik. Mural juga dijadikan media mengkritisi kebijakan pemerintah.

Namun belakangan ini mural justru dianggap mengotori ruang publik dan kerap dituding sebagai vandalisme. Akibatnya banyak mural-mural yang dihapus. Seakan tidak dibiarkan kosong, tak lama setelah penghapusan mural, tembok dan ruang publik lainnya mulai dibanjiri baliho-baliho mulai dari baliho "kepak sayap kebhinekaan" hingga "kerja untuk Indonesia". Masyarakat mulai terganggu akibat 'serangan' baliho ini. Mulai dari diam mencerca dalam hati sampai bersuara dan mengkritik melalui platform yang ada.

Menjamurnya baliho politik membuat orang biasa hingga para seniman membalas dengan membuat mural-mural sindiran untuk pemerintah dan sebagian besar masuk dalam kategori street art atau "seni jalanan". Hal ini menjadi persoalan utama tata kelola ruang publik. Tidak semua mural yang dibuat memiliki kata-kata yang baik. Tak jarang juga kita mendapatkan street art kata yang liar dan bersifat vulgar dan spontan. Namun baliho yang terlalu banyak mengambil ruang publik juga bukan merupakan sesuatu yang indah. Justru hal tersebut membuat masyarakat resah hingga muak akibat pemasangan baliho tersebut.

Mural dan baliho sama-sama media yang bisa digunakan untuk memberikan informasi. Dalam hal politik baliho digunakan oleh para pemimpin mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan kepala negara. Sedangkan masyarakat biasa memilih mural sebagai salah satu media mengekspresikan diri. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika dan negara lainnya juga banyak ditemukan street art di pinggir jalanan atau trotoar. Bahan pembuatan yang murah dan mudah didapat juga membuat masyarakat memilih mural sebagai media menyalurkan pendapat dan berkarya.

Baik pembuatan mural dan pemasangan baliho sudah seharusnya mengikuti aturan yang telah ditentukan. Jangan sampai mural atau street art yang pada hakikatnya adalah seni yang bertujuan untuk memperindah justru menjadi dipandang buruk akibat tidak terkontrol dan tidak adanya batasan dalam pembuatan hingga mengandung makna yang bersifat liar. Begitu juga dengan baliho yang sudah menjadi cara lama dalam promosi politik. Baliho politik yang seharusnya menjadi salah satu media cetak untuk memberikan informasi justru menjadi kontroversi yang diperbincangkan publik akibat dari serbuan baliho yang tak terkendali yang mengganggu pengendara hingga pejalan kaki.

Simak juga 'Kapolri Minta Polisi Humanis Sikapi Warga Beraspirasi saat Kunker Jokowi':

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Gambas:Video 20detik]

ADVERTISEMENT



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads