"Gila, anak-anak di sini kenal balap liar juga?" tanya seorang kawan setelah mengelilingi sebuah desa di Kulonprogo, Yogyakarta. Beberapa waktu sebelumnya, ia melihat unggahan di akun seorang selebgram yang berfoto di desa itu. "Desanya keren nih, besok anter gue ke sana ya pas liburan," pintanya. Foto si selebgram dengan sepedanya itu disukai ribuan orang. Kawasan tempatnya berfoto terlihat begitu asri dan sepi dengan jalanan semen lurus berlatar belakang sawah dan perbukitan Menoreh.
Harap tinggal harap. Kawan saya itu agak kecewa karena ia tidak bisa berfoto dengan suasana sekeren foto si selebgram. Jalanan semen tengah sawah itu ternyata penuh dengan puluhan remaja yang sedang balap liar kecil-kecilan. Sementara sawahnya sudah selesai panen sehingga tinggal menyisakan pemandangan batang padi yang tidak lagi hijau. Desa yang ditulis si selebgram sebagai piece of heaven, menurut kawan saya tidaklah se-heaven itu.
Hampar persawahan nan luas, suasana asri, anak-anak kecil pemalu, atau ramahnya warga sekitar. Hal-hal itulah yang mungkin akan muncul di benak kita saat mendengar kata desa. Rasanya, desa masihlah tentang aneka hal nan baik-baik saja. Jika saja sebuah kata kerja, desa bisa jadi dianggap antonim dari kota. Saat kota adalah tentang wilayah padat penduduk dengan aneka hiruk pikuk, mungkin desa dianggap sebaliknya.
Kadang, desa juga dianggap masih jauh dari aneka masalah khas kehidupan modern, apalagi bagi para penduduk kota yang hidup di antara gedung-gedung tinggi. Budayawan Umar Kayam dalam kolomnya berjudul Remaja Kota Memandang Desa menggambarkan bagaimana remaja kota hanya bisa membayangkan desa lewat cerita orangtua mereka, lukisan di rumah, atau tayangan televisi. Mentok-mentok, mereka melihat desa setahun sekali saat mudik. Dan gambaran tulisan dari tahun 1980-an itu mirip dengan apa yang terjadi pada teman saya asal Jakarta tadi, 30 tahun lebih setelahnya, ia kaget hanya karena melihat balap liar di desa.
Di zaman digital ini, sumber imajinasi desa bagi banyak orang juga ditambah beberapa hal lain, salah satunya unggahan Instagram. Media sosial satu ini rasanya mengalami penambahan fungsi. Dari yang tadinya sekadar untuk mengunggah foto penggunanya kini ditambah menjadi tempat mengunggah berbagai tempat wisata hingga aneka lokasi dengan pesona tersembunyi. Hidden gems, begitulah sebut beberapa orang. Dari aneka lokasi indah yang hilir mudik di feed Instagram, desa adalah salah satu tempat berfoto para selebriti Instagram atau jamak disebut selebgram.
Dari sanalah citra desa di benak banyak orang terbentuk. Unggahan para selebgram, walaupun sekadar swafoto, terlihat keren, dengan latar belakang sangat indah, atau nuansa segar menjadi sihir tersendiri bagi para. Itupun nanti masih dibumbui dengan kata-kata semacam 'memanjakan', 'surga dunia, atau 'pemandangan indah' pada caption. Lalu, para pengikut mereka akan meninggalkan komentar bernada kekaguman atas menawannya suasana desa, sekadar berbagi rindu atas desa masing-masing, atau berbondong-bondong ikut datang ke sana.
Sayangnya, unggahan tentang desa dari para selebgram tidak pernah mampu menghadirkan desa secara utuh. Desa hanya diambil cuplikan-cuplikan kecilnya saja. Sudut desa yang hijau, latar belakang yang instagram-able, atau kuliner-kuliner lokal yang nihil ditemukan di kota. Versi desa seperti itulah yang lantas menghuni benak banyak orang setelah melihat layar gawai 6 inci berisi foto selebgram yang mereka ikuti. Jangankan selebgram, akun Instagram seorang menteri pun tidak pernah menyajikan secara menyeluruh kondisi desa-desa yang ia unggah.
Aneka unggahan itu luput mencatat berbagai fenomena di desa tempat si selebgram berfoto. Bisa jadi petani desa itu menyimpan ketakutan tentang meroketnya harga pupuk, isu proyek pelebaran jalan yang akan menyasar sawah mereka, atau tentang anak-anak mereka yang ngotot meminta menjual sawah demi bisa beli motor baru. Bisa jadi, beberapa puluh meter dari tempat foto itu diambil hamparan sawah sedang diuruk demi pembangunan perumahan. Atau, si selebgram itu datang ke sana untuk membeli lahan demi membangun kafe kekinian. Kita tidak pernah tahu.
Di balik unggahan foto para selebgram nan tampak asri, desa sebenarnya terus berubah waktu demi waktu. Dari banyak segi. Orang-orang kota yang hanya mengandalkan momen liburan atau konten Instagram untuk melihat desa lantas kecewa saat melihat desa tidak selalu seindah unggahan para selebgram di Instagram.
Foto-foto selebgram di jagad maya tidak pernah menyediakan ruang untuk sisi lain desa secara lebih lengkap dan humanis. Sangat sedikit, bahkan mungkin tidak ada, para selebgram yang mengisahkan desa lewat bukit digunduli, pepohonan ditebangi, sawah-sawah diubah jadi perumahan, atau bocah-bocah yang mengalami gegar budaya dalam pergaulan. Ratusan foto para selebgram di kawasan Pulau Komodo contohnya, hampir tidak ada yang mengisahkan betapa terancamnya desa-desa dan nilai lokalitas di sana akibat rencana pembangunan kawasan wisata super premium.
Padahal, andai kita mau mengecek sumber lain, akan muncul banyak kisah tentang berubahnya desa-desa. Tentang Desa Wadas, Purworejo dan rencana penambangan yang ditolak warganya, tentang tersikatnya kampung-kampung adat akibat perkebunan sawit di Sumatera, atau tentang desa-desa di Papua yang terancam hilang akibat aneka proyek pembangunan infrastruktur di sana. Akan muncul pula banyak kisah turunan, seperti contohnya, tentang kegamangan para petani Kulonprogo saat harus tinggal harus tinggal di hunian baru setelah desa dan sawah mereka berubah menjadi bandara.
Cara penggambaran desa oleh para selebgram dan penerimaan pengikut mereka akhirnya menciptakan sebuah glorifikasi yang menyesatkan. Betapa menyesatkannya, bahwa desa begitu saja diletakkan sebagai tempat nan indah, penuh suasana hijau, dan menenangkan jiwa. Seakan, setelah mereka berlibur atau datang ke desa, maka akan menemukan suatu pencerahan luar biasa seperti para selebgram tampilkan di Instagram. Padahal di balik semua itu, terkandung kompleksitas masalah kehidupan yang sangat jarang diketahui banyak orang. Hingga, seperti kisah rekan saya tadi, dia merasa apa yang ia lihat di kenyataan dan di unggahan si selebgram beda adanya.
Akibatnya, benak banyak orang mungkin secara egois meletakkan desa di kutub berlawanan dengan kota. Mereka mungkin berharap bahwa kala jenuh dengan aneka kepadatan dan keruwetan kota, maka masih ada desa yang menawarkan kesejukan, kehijauan, dan suasana menenangkan. Padahal, seperti tempat lain di negeri ataupun dunia ini, desa juga tidak luput dari aneka perubahan akibat dampak pembangunan dan meningkatnya populasi manusia.
Harga tanah yang masih murah, pemandangan menyegarkan, dan situasi asri membuat banyak orang berbondong-bondong ingin datang bahkan tinggal di desa. Saat fenomena ini tercium pebisnis, maka para pengembang perumahan mulai masuk ke desa-desa, menawarkan harga yang menggiurkan, menyasar lahan-lahan hijau, lalu mengubahnya menjadi pemukiman dengan embel-embel iklan berupa view persawahan. Dan dalam kondisi pandemi seperti sekarang, semakin banyak orang-orang kota memutuskan tinggal di desa. Entah karena sengaja membeli hunian di desa demi hidup lebih tenang atau terpaksa pulang kampung karena PHK.
Saya masih ingat bagaimana reaksi banyak orang saat pasangan artis Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca memutuskan tinggal di pedesaan Yogyakarta. Seakan, mereka mengambil keputusan luar biasa demi sebuah perubahan hidup. Padahal, jika saja dilogika, bisa dikatakan hanya fisik mereka yang tinggal di desa. Hanung dan Zaskia tentu tidak perlu pergi ke sawah demi mencari nafkah ataupun pusing dengan serangan hama dan kemungkinan gagal panen. Keduanya masih bisa melakukan berbagai hal seperti saat tinggal di kota dengan semua yang dimiliki sekalipun pindah ke desa.
Saat jutaan orang, mungkin, masih membayangkan desa selalu seindah unggahan para selebgram, satu per satu bukit di desa saya hancur dan berubah jadi perumahan. Saya tidak sendiri. Banyak orang di desa-desa lain juga menyaksikan aneka perubahan di desa mereka. Dari berubah jadi bandara, waduk, jalan tol, hingga lokasi tambang. Sementara, seorang menteri di Instagram masih saja sibuk membahas soal peningkatan ekonomi di desa tanpa pernah mengisahkan perspektif utuh tentangnya. Dan, pemandangan hijau nan asri seperti di benak kita satu per satu hilang tanpa disadari. Tahu-tahu, saat datang ke desa, yang kita lihat berbeda dengan foto di feed Instagram dan imajinasi kita sendiri.
Melihat desa lewat layar gawai dan unggahan para selebgram memanglah mudah dan menyenangkan. Namun, kita tidak pernah tahu, di balik semua itu, banyak hal absen dalam berbagai glorifikasi tentang desa. Area hijau yang kian hilang di desa mungkin akan turut membawa aneka suara burung pergi. Hewan-hewan ternak kelak akan kehilangan tempat mereka merumput. Sungai-sungai kecil tempat bocah-bocah desa bermain mungkin akan tercemar limbah domestik akibat ramainya orang yang datang dan berfoto. Sementara, para petani mungkin akan beralih profesi dengan uang ganti rugi yang mereka terima. Jika ingin dikatakan lebih jauh, semua itu sedang mencabut desa dari akar budayanya.
Lalu, beberapa dari kita mungkin akan mulai mendefinisikan ulang pengertian desa di benak masing-masing. Atau, malah merasa cuek-cuek saja? Toh, kita datang ke desa semata untuk mengikuti para selebgram itu demi kebutuhan konten Instagram. Atau, kita hanya butuh desa di saat mudik atau berlibur beberapa kali setahun. Lantas, kita akan kembali ke kota untuk berjuang dengan aneka rumit masalah sebelum kelak kembali ke desa, mengambil foto, mengunggahnya ke Instagram, dan turut melestarikan glorifikasi desa yang menyesatkan.