Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga menjadi perhatian baru dalam dunia peraturan perundang-undangan. Bagaimanapun, hadirnya peraturan tersebut perlu dilihat sebagai kelanjutan dari rentetan kebijakan Presiden dalam upaya penataan regulasi. Setelah sebelumnya, pemerintah menggagas Undang-Undang omnibus law Cipta Kerja sebagai upaya simplifikasi peraturan perundang-undangan di bidang investasi. Sekarang perhatian diberikan pada peraturan yang diterbitkan oleh Menteri/Kepala Lembaga.
Sudah rahasia umum, penataan regulasi merupakan salah satu agenda utama yang diusung oleh pemerintah. Urgensi ini muncul seiring dengan fakta bahwa regulasi yang diproduksi selama ini banyak yang tidak efektif, bertentangan satu sama lain, dan seringkali mempersempit ruang gerak pemerintah dalam melakukan berbagai kebijakan. Hal ini pada akhirnya kontraproduktif dengan semangat yang diusung pemerintah, yang berorientasi pada pembangunan, kecepatan inovasi, serta penyederhanaan sistem birokrasi. Ironisnya situasi ini terjadi pada sebuah negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum.
Idealnya dalam sebuah negara hukum, regulasi memainkan peran penting sebagai instrument utama yang menggerakkan arah pembangunan sesuai dengan tujuan nasional. Bila pembangunan negara diibaratkan seperti rumah yang akan dibangun, regulasi atau peraturan perundang-undangan berperan laiknya sebagai seorang mandor, yang mengatur dan mengarahkan jalannya pembangunan. Apabila kualitas sang mandor rendah, risiko gagal/rendahnya mutu pembangunan semakin meningkat.
Apalagi di era saat ini, ketika konsep negara hukum mulai disandingkan dengan konsep negara kesejahteraan, hukum tidak lagi berfungsi sekadar penjaga ketertiban dan keamanan, tetapi lebih luas karena hukum terlibat penuh dalam upaya pemenuhan kesejahteraan warga negara. Kehadiran hukum yang berkualitas akhirnya menjadi prasyarat bagi kemajuan sebuah negara. Sebagaimana diungkapkan oleh Sunaryati Hartono, bahwa antara (sistem) hukum dan kesejahteraan memang terdapat hubungan yang langsung, karena perbaikan "nasib" atau kesejahteraan rakyat (masyarakat) merupakan tujuan setiap pembentukan bangsa dan negara, sementara sistem hukum dapat dikatakan menentukan cara bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara itu dikelola dan diatur.
Namun faktanya, ide-ide tentang negara hukum, keterlibatan hukum, dan pentingnya dasar hukum menciptakan situasi pelik di Indonesia. Implementasi rule of law diterjemahkan dengan produksi aturan besar-besaran. Beberapa pakar menyebut fenomena ini sebagai kondisi hyper regulation. Kondisi ini alih-alih menciptakan kesinambungan dan efektivitas dalam pelaksanaan pembangunan nasional, ternyata menjadi batu sandungan bagi pemerintah untuk merealisasikan target pembangunan. Sebab yang terjadi, peraturan perundang-undangan yang dihasilkan ternyata memiliki sejumlah persoalan, yakni tidak tersusun dari perencanaan yang baik, ketidaksesuaian jenis dan materi muatan, dan materi muatan yang tumpang tindih.
Sebetulnya kondisi hyper regulation ini di satu sisi merupakan hal tidak terelakkan, utamanya peraturan yang bersifat operasional seperti peraturan menteri/kepala lembaga atau peraturan daerah, sebab mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan, setiap instansi/lembaga diberikan kewenangan memproduksi aturan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam pelaksanaannya, hampir seluruh kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah melaksanakan berbagai program berbasis dengan peraturan perundang-undangan sebagai landasannya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada membludaknya jumlah peraturan/regulasi yang dihasilkan. Hanya saja, besarnya kuantitas peraturan yang dihasilkan tidak berbanding lurus dengan kualitas yang diharapkan.
Pengendalian Regulasi
Agresivitas dalam produksi regulasi harus diakui belum diimbangi dengan optimalisasi proses pengendalian peraturan perundang-undangan. Padahal, kelemahan terbesar dari peraturan tertulis adalah bentuknya yang rigid (kaku) dan tidak dinamis dalam mengikuti perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum yang berjalan demikian cepat menuntut respon cepat pemerintah dalam mengatur kehidupan bernegara.
Kondisi ini suka atau tidak, memaksa pemerintah untuk senantiasa memproduksi regulasi demi regulasi untuk mengimbangi laju masyarakat. Data yang ada sepanjang 2000 hingga 2015, pemerintah pusat telah mengeluarkan 12.471 peraturan perundang-undangan. Kementerian menjadi produsen regulasi terbanyak dengan menerbitkan 8.311 peraturan menteri (PSHK, 2019) Di sinilah pentingya pengendalian regulasi, agar agresivitas produksi regulasi tidak meninggalkan beban peraturan yang menggunung.
Konsep pengendalian regulasi dimaksud mengacu kepada upaya untuk mengontrol pembentukan peraturan yang akan disusun dan proses evaluasi peraturan yang telah diundangkan. Kedua bagian ini menjadi sangat penting dalam proses penataan regulasi yang hendak dilakukan. Pengendalian dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan ditujukan untuk melakukan filterisasi atas materi yang hendak diatur. Sementara evaluasi peraturan ditujukan untuk meninjau pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Pengendalian dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebetulnya telah dilaksanakan dengan mekanisme harmonisasi dan sinkronisasi dalam setiap penyusunan peraturan perundang-undangan. Beda halnya dengan proses evaluasi peraturan, yang belum terlembaga dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menjadi sangat aneh bahwa pemantauan dan evaluasi peraturan belum mendapatkan posisi yang spesifik dalam sistem peraturan perundang-undangan, bagaimana bentuk evaluasi dan siapa yang melaksanakan tugas tersebut. Mengingat bahwa salah satu resistensi terbesar dari peraturan perundang-undangan yang berbentuk hukum tertulis adalah koherensinya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Evaluasi peraturan perundang-undangan mengemban fungsi penting sehubungan hal tersebut, yakni melakukan deteksi terhadap peraturan yang tidak relevan dan berpotensi tumpang tindih dengan peraturan lainnya
Penguatan di kedua area tersebut akhirnya menjadi tantangan besar untuk dilakukan mengingat produksi peraturan/regulasi sangat sulit dibendung. Kebutuhan masyarakat akan pengaturan hukum serta target pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah tetap membutuhkan kehadiran regulasi yang efektif. Pada titik persilangan inilah penataan regulasi diharapkan mampu memberikan solusi.
Namun, kebijakan penataan regulasi baru bisa dilaksanakan dengan baik apabila proses penyusunan dan mekanisme evaluasi peraturan sudah terlembaga dengan baik. Sebab, kelemahan terbesar sistem perundangan kita diungkapkan dengan tepat oleh The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), "Indonesia does not, however, have an explicit 'whole-of-government' policy to ensure quality in regulation and regulatory management".
Agil Mahasin Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan