Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Hasan Aminuddin dan istrinya selaku bupati Probolinggo, Senin (30/8) dini hari lalu menjadi pembuka praktik politik dinasti yang transaksional. OTT itu bermula ketika Hasan dan istrinya melakukan transaksi jual beli jabatan untuk pejabat sementara (Pjs) kepala desa beberapa kecamatan di Probolinggo.
Transaksi liar itu sesungguhnya tidak sebanding dengan jabatan Hasan sebagai matan bupati dua periode, dan juga sebagai anggota DPR dua periode. Apalagi uang hasil jual beli jabatan itu hanya sebesar Rp 352,5 jutaan. Bagi politisi sekelas dia, ini uang receh, walau tetap itu uang haram.
Transaksi liar itu sesungguhnya tidak sebanding dengan jabatan Hasan sebagai matan bupati dua periode, dan juga sebagai anggota DPR dua periode. Apalagi uang hasil jual beli jabatan itu hanya sebesar Rp 352,5 jutaan. Bagi politisi sekelas dia, ini uang receh, walau tetap itu uang haram.
Persoalannya bukan itu, persoalannya adalah bagaimana Hasan menjadi otak dari jual beli jabatan itu --padahal dia bukan bupati? Yang bupati adalah istri keduanya Puput Tantriana Sari. Ini karena Hasan sangat kuat. Lalu bagaimana Hasan menjadi kuat?
Melihat rekam jejaknya, Hasan sesungguhnya bukan politisi biasa. Ia adalah politisi ulung yang kariernya sudah dimulai pada era Orde Baru. Sejak 1992 hingga 1999, dia telah menjadi anggota DPRD Probolinggo dari Fraksi PPP. Kemudian pada 1999 hingga 2003 dia duduk sebagai Ketua DPRD Probolinggo. Setelah itu dia menjadi Bupati Probolinggo selama dua periode, yakni 2003-2008 dan 2008-2013.
Tidak berhenti di sana, pada 2014 dia terpilih menjadi anggota DPR dari Dapil Probolinggo-Pasuruan selama dua periode melalui Partai Nasdem. Perolehan suaranya juga paling gemuk di Dapil Jatim II, yaitu 196.886 suara. Dari rekam jejak ini, Hasan telah berkecimpung di dunia politik selama kurang lebih 29 tahun.
Rekan jejak Hasan yang panjang itu dapat dimengerti bahwa Hasan memahami seluk beluk politik Probolinggo. Ia juga tahu peta politik dan kondisi sosial budaya masyarakat Probolinggo. Apalagi selama masa orde baru, Problinggo tak pernah dipimpin oleh orang dari kalangan sipil, namun selalu dipimpin dari kalangan militer. Artinya masyarakat Probolinggo sesungguhnya telah lama dipimpin dengan gaya represif.
Kondisi masyarakat yang demikian itu dibaca dengan baik oleh Hasan. Faktanya, ketika berkuasa, Hasan menerapkan pola-pola lama yang pernah dilakukan oleh bupati dari kalangan militer. Hanya saja, Hasan tidak menggunakan instrumen militer. Hasan lebih menggunakan instrumen kultural dan struktural, namun watak
kepemimpinannya kurang lebih sama, bahkan dianggap jauh lebih refresif dengan memanfaatkan kepala desa dan preman sebagai intelegen tidak formal. Gaya Hasan yang demikian ini karena ia ingin kekuasaannya aman, stabil dan tidak goyah.
Menyusun Dinasti Politik
Selama berkuasa, Hasan menyusun dinasti politik yang kemudian menjadi kokoh. Istri keduanya yang berumur 30 tahun saat itu berhasil diorbitkan sebagai bupati. Jabatan bupati itu berjalan selama dua periode (2013-2018 dan 2018-2023). Sementara Hasan sendiri juga dengan mulus menjadi anggota DPR. Bahkan, untuk Pilkada 2024, Hasan juga dianggap telah mempersiapkan putranya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan istrinya ke depan.
Tidak hanya itu, Hasan juga menempatkan orang dekat seperti keluarga dan kerabat di pos-pos pemerintahan. Mulai di level kepala bagian, kepala dinas, hingga kepala desa dan ASN. Demikian juga di level legislatif, Hasan menyusun kekuatan dengan menempatkan orang dekat dan separtainya duduk sebagai anggota DPRD. Karena itu komposisi jumlah anggota di DPRD Probolinggo didominasi Partai Nasdem tempat Hasan bernaung.
Bahkan muncul dugaan, Hasan juga telah mengintervensi parpol-parpol lain, sehingga kehidupan politik di Probolinggi tampak demokratis. Namun, sebenarnya itu adalah politik dinasti. Semua partai mendapatkan kursi. Tapi penguasaannya sama.
Untuk menopang itu, Hasan juga memiliki organisasi dan orang-orang kepercayaan yang difungsikan sebagai intelejen tidak formal. Orang-orang ini ada di semua lini, mulai dari birokrasi, sekolah, hingga desa. Fungsi mereka macam-macam, ada sebagai informan yang kedudukannya mirip dengan pegawai lepas (freelance), ada pula lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fungsinya seperti yang dikatakan Ian Douglas Wilson (2015) sebagai entrepreneur kekerasan. Jika ada aksi protes karena penyimpangan birokrasi misalnya, maka orang-orang ini akan bekerja untuk meredam sikap kritis masyarakat tersebut.
Keberhasilan Hasan menyusun dinasti politik di atas membuat dia dapat melakukan apa saja, seperti mengatur siapa yang akan menjadi kepala desa dan kepala dinas, bermain angggaran, mengatur proyek pemerintahan, dan melakukan praktik jual beli jabatan. Bagi kerabat dan pendukungnya, Hasan adalah "Bapak" yang terhormat dan sering dicium tangannya secara bergantian. Namun bagi aktivis dan masyarakat Probolinggo, Hasan adalah politisi licik, kurang baik dan cenderung KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Bahkan ada yang mengatakan sebagai politisi busuk dan jahat.
Kehinaan
Ketika Hasan dan istrinya (bupati) menjadi pasien KPK, masyarakat Probolinggo banyak yang bersorak. Ucapan selamat menjadi tranding topic yang menyebar secara berantai di grup-grup WA (WhatsApp).
Sementara di jalanan, para aktivis Probolinggo langsung menggalang aksi seribu tanda tangan dan potong rambut massal sebagai bentuk syukur atas runtuhnya dinasti politik Hasan yang telah berkuasa selama 18 tahun. Hal yang sama dengan Aliansi Santri Probolinggo yang dengan sengaja mengirim karangan bunga ke kantor KPK di Jakarta. Karangan bunga itu bertuliskan "Selamat dan Sukses kepada KPK Atas Penangkapan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin".
Aksi-aksi tersebut tentu dapat dipahami sebagai bentuk ucap syukur karena sang tirani telah ditahan. Kini Hasan harus menerima risikonya, selain berhadapan dengan hukum, juga harus berhadapan dengan hukum sosial dari warganya. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan, tak ada lagi yang memanggil "Bapak", dan tak ada lagi yang mencium tangannya, yang ada hanya kehinaan dari rakyatnya, dicaci dan direndahkan.
Abdus Sair mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga, dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya