Akhir-akhir ini mood saya susah ditebak. Kadang baik, kadang buruk. Ketika sedang berselancar di Youtube mencari hiburan, saya terdampar di sebuah akun musisi yang memainkan lagu Kimi Ga Ireba (Iori), OST Detective Conan dengan saksofon. Mood saya tiba-tiba membaik. Saya suka sekali lagu-lagu yang dijadikan OST anime, salah satunya lagu Kimi Ga Ireba ini. Selain lagunya enak, liriknya juga bagus. Tentang pesan untuk jangan memendam masalah sendiri, berbagilah dengan seseorang yang membuat nyaman. Memendam masalah tanpa bercerita memang tinggal menunggu bom waktu kapan akan meledak.
Saya mengamati di lingkungan saya ini kok sedang banyak orang yang mumet. Termasuk saya sendiri. Ditambah berita dalam negeri yang seperti tidak ada habisnya memberi kejutan semakin membuat over-thinking kalau tidak dibatasi. Saya sampai tidak sanggup menyimak kasus perundungan karena lumayan membuat saya trauma. Beban korban pastilah berat dan sejauh ini dia masih bertahan. Saya tidak tahu kalau jadi dia apakah masih bisa bertahan. Makanya saya merasa nyambung ketika menonton anime Higehiro yang diadaptasi dari novel ringan karya Shimesaba yang bercerita tentang efek perundungan, salah satunya bisa menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri.
Ya, bunuh diri yang sering dijadikan guyonan itu sebenarnya saya juga hampir pernah melakukannya. Memang tidak semata-mata karena perundungan meskipun saat sekolah sampai SMP saya sering menjadi korban perundungan. Jadi saya bisa merasakan bagaimana beratnya menanggung beban sendiri sampai tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya pernah merasakan di titik itu, ketika dunia rasanya sumpek sekali, masalah datang beruntun seperti tidak ada habisnya. Saya depresi dan ingin mengakhiri hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang sudah lama mengenal saya pasti paham kalau saya sangat menyukai kereta api. Selama bisa bepergian naik kereta api, pasti saya akan memilih mode transportasi itu. Sebelum pandemi, selama seminggu bolak-balik Solo-Yogya naik kereta Prameks (sekarang sudah diganti KRL) sudah menjadi rutinitas. Ketika saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya, saya pun tidak mikir panjang lagi mau bunuh diri dengan cara apa. Ya, saya ingin menabrakkan diri ke kereta yang sedang melaju cepat.
Di sebuah stasiun di Yogya, saya seperti teroris yang menghitung waktu kapan harus meledakkan diri di kerumunan banyak orang, bedanya saya fokus mengakhiri hidup saya sendiri. Jadwal kereta yang lewat tentu saja saya hafal, saya duduk-duduk dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk beraksi. Ketika saya duduk, ada pertunjukan gamelan di dalam stasiun. Memang terkadang ada kelompok seniman yang bermain musik di dalam stasiun. Saat itu tidak semua instrumen gamelan dimainkan, hanya gender dan rebab.
Tidak biasanya di stasiun itu gamelan dimainkan dengan pelan seperti di lobi hotel. Biasanya yang dimainkan adalah gending yang bernuansa rancak, tapi ini beda, ngelangut dan aneh. Apalagi gesekan rebabnya, membuat ngilu tapi juga tenang. Saya tidak tahu gending apa yang dimainkan, tapi saya sungguh tersihir sampai-sampai saya melewatkan kereta yang menjadi target saya untuk mengakhiri hidup. Tidak jadi bunuh diri, saya pun naik kereta terakhir ke Solo untuk pulang.
***
Setahun sejak kejadian itu, saya mengalami momen de ja vu. Suatu hari saya masih bertahan di sebuah lobi hotel di Solo. Sebenarnya acara yang saya ikuti sudah selesai. Saya hanya perlu memanggil ojek dan pulang ke kos. Tapi hujan menahan saya untuk beranjak dari kursi empuk yang saya duduki. Tentu saja saya bisa memanggil taksi kalau tidak ingin kehujanan, tapi saya lebih memilih kebetheng, terjebak hujan. Selain itu, ini yang saya sebut momen de ja vu itu tadi: saya mendengar gending yang pernah saya dengar di stasiun.
Saya terkejut, tapi juga menikmati permainan rebab dan gender oleh dua orang pengrawit di depan saya. Permainan rebab dan gendernya sungguh benar-benar menghipnotis telinga siapapun yang ada di situ. Rebab itu dimainkan oleh seorang gadis yang saya taksir usianya lebih muda di bawah saya beberapa tahun, sedangkan gendernya dimainkan oleh seorang laki-laki yang sepertinya seusia bapak saya. Permainan berakhir ketika langit juga sudah selesai menuntaskan hajatnya.
Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Sebelum pulang, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada bapak pemain gender, gending apa yang dimainkannya tadi. "Asmarandana Madenda," jawab bapak itu sambil tersenyum. Saya mengucap terima kasih dan beranjak pergi tanpa paham apa maksud gending itu.
Saya lega karena bisa mencari gending itu di Youtube dengan mudah karena sudah tahu namanya. Gending yang pernah menjadi wasilah keselamatan saya dari percobaan bunuh diri. Saya sempat merasa "entahlah" dengan salah satu mantan personel grup band Indonesia yang sekarang berkata kalau musik itu haram dan hanya membawa mudarat saja. Sebenarnya tidak masalah ketika dia punya pemahaman berbeda soal itu, tapi untuk dirinya saja.
Sama-sama mantan personel grup band, saya lebih suka sikap dari seorang mantan personel grup band idola saya. Walau sudah tidak mau bermusik, tapi dia fokus terhadap dirinya sendiri, tidak menjelek-jelekkan teman-temannya. Untuk dalil soal ini, saya taklid kepada kiai panutan saya. Tidak langsung menghalalkan musik, tapi juga tidak mengharamkan. Lha terus piye? Ya nggak piye-piye. Biasa wae.
Bagi saya, selama dipakai untuk kebaikan dan tidak membawa mudarat ya oke saja. Toh karena lantaran musik, saya selamat. Saya ingat kalimat dari Jalaludin Rumi tentang musik, "Musik yang haram adalah beradunya sendok dan garpu di meja makan orang kaya yang terdengar tetangganya yang tengah kelaparan."
Mendengarkan musik yang tepat di saat mumet bagi saya memang menaikkan mood. Kalau mendengarkan bacaan Al Quran dan selawatan itu sudah otomatis ya. Jujur saya tidak paham soal musik dan mendengar semua musik dan lagu yang enak mau apapun jenisnya. Pop, dangdut, campursari, keroncong, qawwali, dan lain-lain asal asik di telinga ya oke saja. Kalau mau iri, saya mau iri dengan orang yang bisa memainkan alat musik.
Saya ini buta nada; alat musik yang paling lama saya mainkan itu seruling recorder karena itu alat musik wajib saat SMP. Kalau disuruh memainkan lagu pun harus diberi solmisasinya; saya tidak bisa mengarang nada. Casio yang pernah dibeli bapak saya lebih lama dipinjam oleh guru ngaji saya untuk mengiringi kelompok rebana di desa. Pernah belajar gitar, hanya bisa memainkan lagu Bintang dari Anima Band, setelah itu tidak lanjut lagi. Itulah kenapa saya mengagumi orang yang bisa memainkan alat musik. Selain humoris dan berduit banyak, cowok yang bisa memainkan minimal satu alat musik bagi saya kegantengannya naik sekian persen.
Saya bersyukur sekali waktu itu tidak jadi bunuh diri karena setahun kemudian saya berjumpa dengan pengrawit-pengrawit mumpuni yang mau mengobrol dengan saya tentang filosofi dan apa saja mengenai gamelan. Beberapa potongan cerita sudah saya jadikan cerpen dan artikel. Tidak lama kemudian saya juga berjumpa dengan teman-teman seniman yang asyik, bahkan sampai ada yang jadi teman ngobrol sampai sekarang. Dia juga yang mau memainkan gitar dan pianonya ketika saya merasa sedih.
Untuk yang pernah atau sedang terbersit keinginan mengakhiri hidup, kalian tidak sendiri; tidak apa-apa, saya juga pernah. Coba bertahan dan cari seseorang atau sesuatu yang bisa menjadi "musik" bagi kalian. Seperti rebab, kalau tidak pas menggeseknya ya bikin sakit telinga yang mendengarkan. Bisa jadi yang menggesek memang baru latihan.
Sama saja seperti hidup, kita memang akan selalu latihan menghadapi permasalahan yang membuat sakit hati. Lama-lama kita juga akan paham polanya agar bisa mendapatkan "gesekan" yang pas. Begitulah, semua memang butuh harmoni atau kesesuaian agar mendapatkan irama yang bagus. Tidak hanya dalam gamelan atau musik pada umumnya, tapi dalam lingkup yang lebih luas lagi, yaitu kehidupan.
Gondangrejo, 11 September 2021
Impian Nopitasari penulis, tinggal di Solo
(mmu/mmu)