Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Namun, ungkapan ini lebih tepatnya diinterpretasikan dengan konteks saat ini: Setiap orang ada kepopulerannya dan setiap kepopuleran pasti ada orangnya.
Setidaknya itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan sosok yang akhir-akhir ini populer di media maya. Dialah Suhaedi Jamaan. Seorang kontestan yang berhasil meraih Juara 3 di ajang kompetisi memasak Master Chef Indonesia.
Populer terjadi karena berbagai macam. Disengaja maupun tidak disengaja. Bisa saja faktor skill, moralitas, keajaiban, bahkan melalui kebodohan yang tak menyehatkan pun seseorang bisa populer. Namun apakah itu semata-mata tujuan hidup yang dicapai? Apakah yang ingin dicapai oleh sosok Suhaedi Jamaan adalah kepopuleran? Atau itu terjadi tanpa kesengajaan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hemat saya, dilihat dari kacamata dinamika kelompok, dialah sosok yang sering dilirik dan diperhatikan para penonton. Karena perawakannya yang unik dan gaya bicaranya yang khas dan nyentrik. Sehingga dengan ciri khas tersebut setidaknya mampu memikat penonton dengan keunikannya itu.
Tidak hanya itu saja. Dia juga mampu memberikan perhatian lain. Adalah di saat membuat bubur, dia meminta juri untuk mempersingkat waktu memasak yang dia wujudkan dengan kalimat "too long, Chef". Sontak dengan permintaan itu membuat peserta lain merasa terbebani. Terus terang tindakan ini akan menarik bagi penonton. Seolah-olah, hanya dia saja yang memiliki dan menguasai kompetisi itu.
Dan, bisa saja inilah penyebab: selain memasak dengan pisau dan penampilan jaket terminator hitamnya, penonton pun tak segan menggelegarkan kekaguman padanya dengan panggilan "Lord" , "Paduka", "Yang Dipertuan Agong" dan "Time Traveler", dan panggilan kebesaran kerajaan sejenisnya. Sehingga tak dipungkiri, penonton berekspektasi dialah nantinya yang layak sebagai "The Winner". Bahkan ungkapan itu juga terlontar dari juri sendiri.
Namun yang lebih menarik untuk didiskusikan, ketika kepatah-hatian penonton pada juri karena kontestan favorit mereka tidak jebol ke babak final dan hanya sampai pada posisi Juara 3. Kepatah-hatian itu ditandai dengan banyaknya viewer meng-unlike dari pada menge-like, di salah satu video channel Youtube Master Chef yang menayangkan momen si Lord diputuskan menjadi Juara 3 Master Chef Indonesia Season 8.
Dan, tak sedikit yang menyatakan bahwa meskipun Lord bukan juara sesungguhnya, dia sudah juara di hati penonton dan penggemarnya.
Yang menjadi pertanyaan mendasar di balik semua itu adalah indikator apa sebenarnya yang menjadikan para penonton terpelet oleh Lord Adi ini? Apakah hanya dengan penampilannya (jaket)? Gaya bicaranya? Sehingga dia begitu dieuforiakan dan mendapatkan gelar juara di hati penonton?
Dalam perspektif bijak saya, jika itu yang menjadi indikator utama, selayaknya sudah basi, tidak patut lagi dibincangkan. Sebab itu sudah menjadi modal dasar bahkan klise agaknya dimiliki setiap orang untuk menarik perhatian khalayak. Setiap orang akan berpikiran sama agar orang terpikat.
Sebab dalam hemat saya, indikator sepatutnya yang membuat si Lord mampu menyihir penggemar untuk rapuh dalam keingkaran padanya adalah karena dia memiliki sifat "arif" atau "kebijaksanaan", dilirik dari tingkah dan moral yang dia miliki selama berada dalam lingkar kompetisi.
Sebab kebijaksanaan itu adalah fenomena kultural; proses alamiah kejiwaan yang bersifat tebar manfaat bagi yang lain, yang tentunya minim bisa nampak dengan proses kesengajaan dan tentunya tanpa dibuat-buat. Dan, ini sifat yang disukai orang.
Mengapa Kebijaksanaan?
Berkaca pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi V), secara bahasa, bijaksana adalah suatu sifat yang selalu menggunakan akal budi, pandai dan hati-hati apabila menghadapi kesulitan. Artinya, bijaksana ini berada pada taraf tertinggi dalam menjalani kehidupan. Karena di saat melakukan apapun, si pelaku yang memiliki sifat ini, memiliki karakter kehati-hatian dalam bersikap individual dan sosial, berbicara dan terampil dalam menggunakan akal budi. Dipastikan tidak sembarangan. Bagi yang mempunyai sifat ini, didambakan setiap orang.
Sejalan dengan itu, Riana Sahrani (dkk), dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara dalam bukunya The Role of Reflection of Difficult Life Experiences on Wisdom (2014) menerangkan, kebijaksanaan adalah kepandaian individu (seseorang) dalam menggunakan akal-budinya, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan; bersamaan dengan pengintegrasian pikiran, perasaan, dan tingkah laku; serta adanya kemauan untuk mengevaluasi diri, dalam menilai dan memutuskan suatu masalah, sehingga tercipta keharmonisan antara individu dan lingkungan.
Mengakurasi Kebijaksanaan
Konsep "3D-WS" (Three Dimensional Wisdom Scale) diperkalkan oleh psikolog-sosiolog Monica Aldert. Yaitu, tiga dimensi yang dapat mengidentifikasi kebijaksanaan berdasarkan tingkah laku seseorang. Selain konsep ini masif digunakan dalam metode-metode penelitian, metode ini juga praktis.
Pertama, Dimensi Kognitif. Yaitu meliputi pemahaman tentang keinginan untuk mengetahui kebenaran, serta meliputi kemampuan dan proses penerimaan kebenaran itu. Hal itu tentunya dimaknai dengan karakteristik seperti karakter tanggung jawab, konsekuen, dan percaya diri. Dan karakter ini dimiliki Lord Adi. Ditandai dirinya yang suka tantangan dan mampu menyanggupi dalam tempo singkat serta konsekuen dengan hasil akhir.
Kedua, Dimensi Reflektif. Adalah dimensi yang dimiliki seseorang di saat pandai merespons suatu fenomena. Hatinya berdiri dalam perspektif objektif, menghindari pandangan subjektif yang dapat menguntungkan kepribadian. Hal ini ditandai ketika Lord Adi, pada suatu tantangan, dimintai pendapat oleh juri mengenai siapa yang akan tereliminasi. Dia pun menjawab dengan alasan seobjektif mungkin dan selalu menghindari permusuhan.
Ketiga, Dimensi Afektif. Dalam hemat saya, inilah dimensi yang bisa dirasakan setiap orang. Baik bersentuhan dengan yang bersangkutan maupun tidak. Sebab dimensi afektif ini, dimensi yang berkaitan dengan emosional, kemampuannya yang adaptif, meliputi empati dan rasa saling menyayangi disertai memotivasi untuk menjaga perasaan orang lain. Bagi saya, dimensi terakhir ini menjadi dimensi terpenting dari yang lain.
Berkaca pada sifat Lord Adi,tidak dipungkiri lagi jika dia seorang yang adaptif. Memiliki empati dan rasa saling menyayangi. Itu ditandai dengan ketika ada peserta lain bersedih, dia tak segan untuk merangkul. Di saat seorang peserta tereliminasi di audisi pertama, dia tak segan mengawani dan merangkul peserta itu berjalan keluar menuju pintu keluar seolah mengantarkan ke pintu gerbang. Bahkan dia dicap sebagai orangtua oleh salah satu peserta; ini dapat menandakan bahwa Lord Adi menguasai dimensi afektif.
Penjelasan dan analisis demikian dapat disimpulkan bahwa Lord Adi pantas mendapat tempat di hati masyarakat. Karena dia memiliki sifat-sifat yang mengarah kepada bijaksana. Barangkali ini juga terbentuk karena landasan pengalaman dan usia yang dijalani. Tentunya orang yang bijaksana mestilah memiliki tiga dimensi tadi jika seseorang ingin dikatakan sebagai orang bijak. Karena orang bijaklah yang dapat memutuskan, bertanggung jawab, dan memiliki rasa adil pada dirinya. Dan, orang yang memiliki sifat ini akan dicandui orang banyak.
Ighfirli Saputra alumnus UIN Imam Bonjol Padang
(mmu/mmu)