Kolom

Saipul Jamil dan Keadaban Publik

Saiful Maarif - detikNews
Jumat, 10 Sep 2021 11:26 WIB
Penyambutan atas bebasnya Saipul Jamil dari penjara yang dinilai berlebihan (Saipul Jamil (Foto: detikcom)
Jakarta - Saat ini, kita rasanya sedang bermasalah dengan keadaban publik. Keadaban publik merujuk pada kondisi sikap atau perilaku yang menghargai dan peduli dengan orang lain, serta menjunjung tinggi norma dan etika dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam kehidupan publik. Pemanggungan pesohor yang menjadi terpidana kasus pedofilia, terutama di media televisi, secara masif mengusik rasa keadilan bagi para korban sekaligus pertanyaan serius bagi kualitas keadaban publik.

Figur publik tersebut adalah Saipul Jamil (SJ) yang baru keluar dari jeruji besi. Ia dihukum karena terbukti di Pengadilan telah melanggar Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencabulan. Hukumannya ditambah atas upayanya menyogok Majelis Hakim yang memutuskan upayanya dalam proses Peninjauan Kembali (PK). Maka, pada kasusnya, sesungguhnya SJ adalah figur dengan predikat "lengkap": ia narapidana kasus asusila dan dengan sadar menempuh upaya ilegal untuk meringankan kasusnya tersebut.

Atas segala kesalahan yang dilakukannya, SJ telah menjalani hukuman hingga tuntas. Namun, masalah kemudian muncul begitu dia kembali menghirup udara bebas, tepat di pintu keluar lembaga pemasyarakatan yang mengurungnya selama delapan tahun. Dia diarak, dikalungi bunga, dan disiarkan langsung secara online melalui media sosial. Jika prosesi demikian sifatnya masih terbatas pada ranah personal, maka tidak lama kemudian SJ diberi panggung untuk acara di televisi, tentu saja pada habitus luasnya selama ini di acara geguyonan.

Di tengah suasana pembatasan karena pandemi dan televisi adalah pilihan hiburan yang murah dan mudah diakses, kemunculan SJ langsung direspons masyarakat luas. Sebagian kecil membela, namun lebih banyak mengkritik keras hingga membuat petisi warganet. Pasalnya, kemunculannya begitu keluar dari penjara, dengan fasilitas yang diberikan berbagai media dengan segala pembenaran dirinya, seperti menampar keadaban publik.

Mensyukuri dan mengambil hikmah atas masalah yang dihadapi adalah satu hal kewajaran, namun memanggungkan status pelaku pedofil jelas menyinggung perasaan masyarakat luas, terutama para korban pedofilia. Adalah hak personal SJ untuk menunjukkan itikad perbaikan atas kesalahan yang terjadi pada masa lalunya, begitu juga hak media untuk meliputnya.

Namun, di atas semua itu adalah perlunya menegakkan kadar kewajaran dalam tayangan mengenai dirinya selepas keluar dari penjara. Kewajaran tersebut, lagi-lagi, adalah perlunya menimbang keadaban publik dengan menjadikan perasaan sakit para korban dan tidak memandang tindakan pedofilia sebagai sebuah kewajaran, apalagi diparodikan secara halus.

Panggung Konsolasi

Dipanggungkannya pelaku pedofil, betapapun memanfaatkan potensi ketenaran selaku selebritas yang disandang, seperti memaksa kesadaran publik untuk menerima kesalahan yang diperbuat oleh pelaku. Tindakan ini bukan hanya berbahaya dan tidak sehat bagi informasi dan kesadaran publik, namun juga menunjukkan ketidakdewasaan media dalam memberikan layanan informasi.

Lebih jauh, dengan memparodikan status terpidana atas kasus pedofil, acara yang dimaksudkan masuk dalam segmen komedi tersebut seperti ajakan menertawakan status hukum dan menggalang dukungan dari publik melalui kesatuan humor dan tawa yang dimaksud. Hal demikian menjadi keniscayaan karena humor dan parodi memiliki maksud yang disengaja maupun tidak.

Seno Gumira Adjidarma dalam Antara Tawa dan Bahaya (2012), mengutip pemikir Thomas Hobbes mengatakan bahwa produksi humor bisa jadi terkait dengan relasi kuasa yang ingin ditegakkan pelaku dan fasilitatornya. Pada kasus ini, panggung humor yang digelar adalah arena yang dipaksakan kepentingan media untuk posisi menguntungkan yang dituju, sambil mengamati ketidaksempurnaan pihak lain.

Panggung dan inisiator untuk tidak menghormati keadaban publik ini seperti tahu bahwa pihak yang bertugas mengamati keadaban tayangan publik sedang menghadapi masalah moral yang nyaris serupa. Beberapa karyawan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah menghadapi tuduhan pelecehan seksual. Maka, memanfaatkan momentum untuk menertawakan kondisi tersebut adalah hal yang menarik bagi mereka, sekaligus berupa upaya mensterilkan pelaku pedofil sebagai sebuah kecelakaan yang akan mewajar kemudian.

Laku seperti ini bukan hal baru. Dalam The Devils's Dictionary (1957), Ambroce Bierce menyebut konsolasi sebagai kemampuan diri untuk melihat orang dan pihak lain sebagai entitas yang lebih malang ketimbang dirinya sendiri, dan humor menjadi sarana untuk mencoba menelikung akal sehat dengan pola santai dan candanya.

Bukan Perkara Sembarangan

Sesungguhnya, perihal kekerasan seksual pada anak bukanlah hal sembarangan dan tentu bukan pula humor sebagai solusinya. Saat ini, data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) tahun 2016-2020, menyajikan informasi terkait yang patut membutuhkan perhatian bersama.

Data KPAI tersebut menyebutkan, terdapat 119 kasus aduan anak sebagai korban kekerasan psikis (ancaman, intimidasi, dan sebagainya), 419 kasus aduan anak sebagai korban kekerasan seksual (pemerkosaan atau pencabulan), dan 20 kasus aduan anak sebagai korban sodomi atau pedofilia.

Berdasar data tersebut, setidaknya terdapat 550 anak yang bermasalah sebagai korban kekerasan dan kelainan seksual manusia dewasa. Kini, minimal pada diri ratusan anak tersebut harus menanggung tekanan perasaan yang sangat berat dengan menyaksikan betapa pelaku dan media yang menyiarkan, langsung maupun tidak langsung, memberi pemakluman atas tindakan asusila seorang pedofil.

Di sisi lain, para pedofil lain bisa saja berharap ketenaran yang difasilitasi kesembronoan media. Maka, masyarakat patut waspada dengan kesembronoan media menyiarkan perihal ketidakpatutan ini dan tumpulnya implementasi dan perspektif perangkat regulasi yang mengatur hal terkait.

Di banyak negara, sanksi sosial sudah menunggu pelaku pedofil begitu yang bersangkutan menuntaskan hukumannya. Termasuk sanksi tersebut adalah aturan yang membatasi penyedia wadah atau aktivitas sosial yang dihadiri pelaku pedofil.

Sebelum akal sehat makin diruntuhkan dan kesadaran publik menjadi makin tumpul, langkah bersama untuk tetap menjaga keadaban publik harus tetap ditegakkan. Kewajiban seperti ini harus dijalankan, terutama pada saat lembaga pengawas terkait tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Esensi pengawasan yang sesungguhnya terletak pada kepedulian warga akan masa depan generasi mendatang terkait kekerasan seksual dan tayangan media yang mengedepankan keadaban publik.

Saiful Maarif Asesor SDM Kemenag, pegiat Birokrat Menulis





(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork