Rubrik kolom detikcom menurunkan seri tulisan tentang pembangunan infrastruktur Indonesia. Artikel tersebut adalah pemenang sayembara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), wajar jika seluruh artikel bernada positif. Tetapi apresiasi dan dukungan bagi pembangunan infrastruktur bisa membuat publik terlena dan mengabaikan risiko di balik capaian tersebut.
Dalam artikel ringkas ini, saya hendak menunjukkan risiko pembangunan infrastruktur yang harus mulai diantisipasi agar infrastruktur tidak meninggalkan bom waktu pada masa mendatang.
Berbeda dengan strategi pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi menugaskan BUMN untuk membangun infrastruktur. Sumber dananya, selain dari penambahan modal, juga dari utang. Penugasan BUMN ini akhirnya memunculkan risiko beban utang yang harus ditanggung oleh BUMN. Risiko lain adalah soal korupsi dan inefisiensi. Masih tingginya korupsi di sektor konstruksi menjadikan pembangunan infrastruktur tidak efisien. Saat ini mitigasi risiko sangat dibutuhkan daripada pujian dan deretan apresiasi seperti yang disampaikan dalam artikel-artikel tentang infrastruktur tersebut.
Membengkaknya Utang
Untuk membangun infrastruktur, pemerintahan Jokowi tidak hanya memberikan tambahan modal untuk BUMN infrastruktur, tetapi juga menyediakan sumber pendanaan lain. Bank-bank BUMN dikerahkan pemerintah untuk memberikan kredit bagi pembangunan infrastruktur. Selain itu, pemerintah juga memberikan dukungan melalui lembaga-lembaga keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur yang memberikan jaminan keuangan bagi pembangunan infrastruktur.
Terbaru, pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Mengumpulkan dana dari pasar finansial global, LPI diharapkan memberikan dukungan finansial bagi BUMN dalam pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan BUMN mampu menyelesaikan proyek dengan cepat. Tetapi ada risiko yang harus ditanggung, yakni membengkaknya utang BUMN infrastruktur. Salah satu BUMN yang kini terbeban dengan utang besar adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT).
Bersama PT Jasa Marga Tbk, WSKT mendapat tugas dari pemerintah untuk menuntaskan pembangunan tol Jawa selain beberapa proyek infrastruktur strategis lainnya. Rencana awalnya, begitu tol Jawa selesai dibangun dan tersambung, beberapa ruas akan dilepas oleh WSKT untuk menutup utang. Tetapi divestasi aset dengan menjual ruas tol tidak berjalan sesuai rencana. Apalagi kini seluruh dunia harus menghadapi pandemi Covid-19 yang memaksa investor untuk menahan modalnya.
Akibatnya, WSKT harus menanggung beban utang yang cukup besar. Pada 2015, pada awal pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) WSKT hanya 2,12, di bawah batas aman DER 3. Tetapi pada 2020, DER WSKT telah mencapai 5,37, jauh melampaui batas aman. Besarnya beban utang ini akhirnya memaksa WSKT dan anak-anak perusahaannya merestrukturisasi utang-utangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risiko beban utang BUMN infrastruktur juga akan berdampak pada bank-bank milik pemerintah. Salah satu contohnya adalah pembangunan kereta ringan atau LRT Jabodebek. Pemerintah tidak hanya menugaskan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) untuk membangun jaringan LRT yang menghubungkan Bekasi dan Cibubur dengan pusat kota Jakarta. Pemerintah juga menugaskan bank BUMN untuk menyediakan pembiayaan bagi ADHI.
Jika ADHI tidak bisa melunasi utangnya, dampaknya bukan hanya pada ADHI tetapi bank pemerintah dan sistem keuangan di Indonesia. Karena proyek LRT masih dalam tahap konstruksi, tekanan utang terhadap ADHI tidak terlalu berat. Tetapi setelah proyek selesai, setelah jaringan LRT dioperasikan, ADHI berpotensi menghadapi situasi seperti yang dialami WSKT pada saat ini.
Besarnya beban utang BUMN juga bisa dilihat dari rencana sejumlah BUMN yang menawarkan proyek infrastruktur untuk dibeli oleh LPI. Tetapi sejauh mana dan sebesar apa kapasitas LPI untuk menanggung utang-utang BUMN masih menjadi tanda tanya.
Pada akhirnya, negara akan menanggung beban utang pembangunan infrastruktur. Beban utang negara akan semakin berat karena untuk mengatasi pandemi dan resesi ekonomi; negara harus menaikkan defisit dan menambah utang untuk pembiayaan APBN. Beban utang semakin bertambah di masa depan jika negara harus turut menanggung beban utang BUMN.
Korupsi dan Efisiensi
Kajian peneliti dari Australia National University menemukan masih tingginya korupsi di sektor konstruksi (Warburton&Kenny, 2021). Melibatkan 672 manajer dan pemilik usaha di berbagai sektor, 51,6% responden survei tersebut menyatakan adanya praktik korupsi di sektor konstruksi. Bekerja di lingkungan yang korup, sulit mengharapkan BUMN konstruksi yang menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur menyelesaikan proyek dengan efisien.
Berbagai ongkos harus ditanggung oleh tingginya korupsi di sektor konstruksi. Beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK memberikan konfirmasi. Di antaranya kasus korupsi subkontraktor fiktif yang melibatkan sejumlah top level manager WSKT. Kasus ini memberikan bukti kuat, salah satu BUMN andalan Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur ternyata memiliki persoalan dalam tata kelola.
Risiko korupsi dan efisiensi semakin besar dengan model pembangunan infrastruktur seperti sekarang ini. Menggunakan skema penugasan untuk BUMN, pemerintah bisa menghemat waktu untuk memilih kontraktor dan proyek bisa segera dikerjakan dan diselesaikan secepatnya. Tetapi model penugasan juga membawa risiko lain. Tanpa tender kompetitif, pemerintah tidak bisa mendapatkan berapa ongkos yang paling efisien untuk menyelesaikan proyek infrastruktur.
Padahal dengan membuka pintu bagi swasta, banyak kontraktor swasta yang mau mengikuti tender. Melalui tender yang kompetitif, pemerintah akan mendapatkan harga termurah dan kontraktor terbaik. Jika tender membuka partisipasi perusahaan dari luar negeri, terbuka kemungkinan pemerintah juga mendapatkan dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan global.
Selain efisiensi, pertanyaan lain adalah efektivitas proyek infrastruktur. Ambil contoh pembangunan Bandara Kertajati yang telah diselesaikan jaluh lebih cepat daripada konstruksi Tol Cisumdawu. Akibatnya akses ke bandara membutuhkan waktu lama dan akhirnya hanya sedikit penerbangan yang menggunakan bandara Kertajati. Jika pembangunan tidak sekadar mengandalkan kecepatan tetapi juga membuka ruang yang cukup luas untuk dialog dengan seluruh pihak, mungkin Bandara Kertajati akan menjadi airport yang ramai karena didukung oleh infrastruktur lain yang telah siap.
Menutup artikel ini, saya akan mengajak pembaca untuk merenungkan kembali dengan kritis pembangunan infrastruktur. Adalah tugas pemerintah untuk menyediakan infrastruktur karena rendahnya tingkat pengembalian investasi sehingga sulit bagi swasta untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur sejak awal harus disadari akan membawa beban bagi BUMN yang mendapatkan penugasan. Ketimbang memberikan pujian dan penghargaan, mungkin lebih relevan jika kita mulai mendiskusikan apa yang harus dilakukan pemerintah agar BUMN kita tidak ambruk menanggung beban utang.
J. Danang Widoyoko Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
(mmu/mmu)