Kota Manali, India beberapa waktu yang lalu sempat menghebohkan publik. Pasalnya, di tengah pandemi Covid yang masih melanda di berbagai belahan dunia, tiba-tiba tampak pemandangan ribuan wisatawan sedang berlibur di kota tersebut. Mengejutkan, karena India sendiri baru saja selesai dihantam gelombang kedua Covid. Dan mengejutkan, karena di negara-negara lain termasuk Indonesia, gelombang kedua nan dahsyat masih sedang berlangsung.
Usut punya usut, ternyata kemudian muncul istilah revenge travel terkait fenomena Manali. Yaitu perjalanan wisata yang dilakukan oleh masyarakat sebagai balas dendam akibat jenuh terhadap berbagai aturan pembatasan dan lockdown yang diberlakukan selama pandemi. Fenomena yang muncul di Manali juga tampak di AS; harga hotel meroket karena banyak sekali di-booking wisatawan sampai beberapa bulan ke depan.
Setelah didalami lebih lanjut, ternyata revenge travel ini juga semakin diperkuat oleh mulai meluasnya cakupan vaksinasi. Di beberapa negara yang telah mencapai cakupan vaksin lebih dari 70% seperti AS dan beberapa negara Eropa, fenomena revenge travel mulai menggeliat. Masyarakat sepertinya cukup percaya diri memulai traveling kembali begitu mendapatkan vaksin Covid dua dosis.
Fenomena revenge travel diprediksi akan diikuti oleh masyarakat di negara-negara lain. Terutama karena cakupan vaksinasi semakin meluas di seluruh dunia. Menurut Yuswohady, seorang pakar marketing, di Indonesia sendiri fenomena revenge travel sebenarnya sudah berkali-kali terjadi dalam skala kecil. Seperti saat liburan Natal dan Tahun Baru serta libur Idul Fitri yang berakibat naiknya jumlah kasus Covid secara drastis.
Hal ini menunjukkan, animo masyarakat Indonesia untuk melakukan revenge travel sebenarnya besar. Hanya saja, kebijakan buka-tutup dan micro lockdown yang intermiten oleh pemerintah membuat revenge travel di Indonesia tidak meledak sebesar di India atau AS. Namun, dengan semakin bertambahnya cakupan vaksinasi, bisa jadi revenge travel skala besar di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.
Meninggalkan Kekhawatiran
Berkaca dari India, revenge travel sebenarnya tetap meninggalkan kekhawatiran. Karena pandemi yang belum berakhir, revenge travel bisa menimbulkan ancaman munculnya gelombang ketiga Covid berikut semua efeknya yang melumpuhkan di sistem kesehatan dan ekonomi negara, termasuk Indonesia. Salah satu langkah antisipasi yang bisa dilakukan adalah dengan membangun sistem medical tourism yang kuat di daerah pariwisata.
Dalam dunia medis, istilah medical tourism telah dikenal sejak tahun 1931. Namun fenomena ini baru mulai booming 10-15 tahun terakhir karena pesatnya arus globalisasi dan kebijakan liberalisasi di bidang kesehatan. Medical tourism atau wisata medis mengacu pada perjalanan internasional yang dilakukan oleh pasien dengan tujuan untuk mendapatkan perawatan medis.
Menurut Jeremy Snyder, seorang pakar di bidang medical tourism, motivasi orang yang melakukan medical tourism rata-rata untuk mendapatkan pelayanan medis yang murah di kantong atau untuk memotong antrean yang panjang jika tindakan medis tadi dilakukan di negaranya sendiri. Tindakan medis ini misalnya bedah plastik, perawatan gigi, kasus ortopedi, hingga penyakit kardiovaskular.
Pelaku medical tourism mayoritas warga negara-negara maju seperti AS dan beberapa negara Eropa. Data statistik dari Dalen et al (2017) menunjukkan bahwa 47% warga AS mengaku pernah melakukan medical tourism ke luar negeri AS sendiri merupakan negara dengan biaya tindakan medis termahal di dunia. Pelaku medical tourism dari AS mengaku bisa hemat biaya hingga 30-65% jika melakukan medical tourism ke luar AS.
Yang menarik, ternyata destinasi favorit untuk medical tourism adalah negara-negara berkembang. Bahkan negara Asia Tenggara termasuk menjadi top destination bagi pasien medical tourism. Sebut saja India, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Thailand bahkan masuk 5 besar dunia sebagai tujuan medical tourism dengan jumlah pasien mencapai 3,4 juta pada 2018. Malaysia juga meraup 1,22 juta pasien pada 2019.
Di Indonesia, medical tourism sudah mulai dikembangkan oleh beberapa pihak. Bahkan lembaga khusus yang mempromosikan medical tourism di Indonesia juga telah dibentuk oleh Kemenkes. Namun, hasil yang ada memang belum sebombastis Thailand dan Malaysia. Warga Indonesia sendiri justru merupakan penyumbang pasien terbanyak medical tourism ke Penang (Malaysia) dan Singapura.
Peluang Indonesia
Medical tourism sebagai antisipasi menggeliatnya fenomena revenge travel di berbagai negara bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memulihkan dunia pariwisata yang porak poranda pascapandemi. Semenjak pandemi diketahui bahwa health awareness masyarakat dunia meningkat drastis.
Banyak orang menjadi sangat responsif dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan, daya tahan tubuh, dan pencegahan penyakit terutama terhadap virus penyebab pandemi. Tak heran, industri farmasi di seluruh dunia meraup untung hingga miliaran dolar AS sepanjang 2020 karena penjualan bombastis obat-obatan termasuk vitamin dan booster imun lainnya.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis terbesar di dunia memiliki 30.000 lebih keanekaragaman hayati dan biotik yang telah ribuan tahun terbukti ampuh digunakan sebagai pengobatan herbal dan peningkat vitalitas dan kesehatan. Sebut saja beberapa di antaranya temulawak (curcuma zanthorriza), mengkudu (morinda citrifolia), hingga kelor (moringaceae) yang saat ini sangat populer digunakan di berbagai produk kecantikan dan kesehatan di seluruh dunia.
Nature-based healthcare yang menawarkan pengobatan dan berbagai terapi herbal dan bahan alami bisa dijadikan alternatif medical tourism yang ditawarkan oleh Indonesia. Hal ini seperti yang sudah dikembangkan oleh Nepal satu dekade terakhir. Apalagi dibandingkan Nepal, Indonesia jelas lebih kaya dan lebih beragam dari sisi keanekaragaman hayatinya.
Alternatif kedua, bisa seperti ide yang sudah diutarakan Menparekraf pada pertengahan Agustus lalu, yakni vaccine tourism. Artinya, Indonesia menyediakan fasilitas vaksin yang di-bundling dengan pariwisata untuk menarik kedatangan turis asing masuk ke Indonesia. Namun, ide ini masih banyak ditentang oleh para pengamat. Karena target vaksinasi dalam negeri saja belum tercapai hingga hari ini.
Tentu tidak semua daerah pariwisata di Indonesia siap dengan konsep medical tourism. Dan hal ini memang tidak perlu dipaksakan untuk semua tempat. Jenis wisata (indoor ataukah outdoor) dan kelengkapan fasilitas kesehatan menjadi syarat utama kesiapan suatu lokasi pariwisata untuk menyongsong revenge travel yang dipadu medical tourism. Salah satu yang paling siap tentu Bali. Selain karena memiliki berbagai objek wisata yang bersifat outdoor di alam bebas, Bali juga memiliki infrastruktur kesehatan yang baik.
Bali sebagai Pintu
Syarat pertama untuk mendukung konsep medical tourism adalah penerapan protokol kesehatan. Masih menurut Yuswohady, pascapandemi kesehatan dan keselamatan akan menjadi prioritas utama bagi wisatawan. Tempat wisata yang dipilih adalah yang mempunyai konsep nature, eco, wellness, dan adventure. Hampir semua tempat wisata di Bali mulai dari Taman Nasional Bali di ujung barat Negara hingga Pantai Amed di ujung timur Karangasem memenuhi konsep ini. Belum lagi berbagai pegunungan dan danau di Kintamani, Bedugul, dan Tabanan.
Syarat kedua yaitu fasilitas kesehatan yang terjamin bagi wisatawan. Terutama jika ternyata di tengah perjalanannya para wisatawan ini terinfeksi virus Covid. Saya langsung membayangkan ribuan vila di Ubud yang bisa dimodifikasi menjadi fasilitas isolasi mandiri bagi wisatawan. Dengan rata-rata arsitektur khas Bali yang punya beberapa paviliun terpisah dalam satu rumah, ditambah dengan halaman asri berudara segar yang luas bermandikan sinar matahari hangat untuk berjemur setiap pagi. Sungguh surga bagi pasien isoman.
Tenaga kesehatan tentu perlu diturunkan untuk pengawasan kondisi para wisatawan yang sedang isoman. Dan untuk kebutuhan rujukan, per April 2021 Bali memiliki 61 RSU, 11 RS khusus, 120 Puskesmas, dan 252 klinik. Jumlah wisatawan yang diperbolehkan masuk bisa diukur dari ketersediaan layanan kesehatan yang dimiliki tersebut.
Syarat vaksin bagi wisatawan yang ingin masuk ke Bali juga akan menjadi barrier entry, sehingga penularan virus Covid dengan gejala berat bisa dihindari. Apalagi per Juli 2021, Bali menjadi provinsi dengan cakupan vaksin dosis kedua tertinggi di Indonesia dengan 85,6% penduduk sudah menerima vaksin. Artinya, herd immunity sudah tercapai di tengah masyarakat Bali sendiri.
Fenomena revenge travel yang menggeliat saat ini bisa menjadi pintu mulai dibukanya pariwisata secara perlahan di Indonesia. Dimulai dari Bali yang memiliki infrastruktur kesehatan yang baik, konsep medical tourism yang dimodifikasi menyesuaikan kebutuhan masyarakat dunia terhadap health awareness bisa menjadi pilihan yang win-win solution, baik bagi ekonomi daerah pariwisata maupun bagi pencegahan munculnya gelombang ketiga akibat revenge travel.
Ita Fajria Tamim dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali