Jurnal The Lancet memperkirakan 1,5 juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orangtua, kakek-nenek, atau kerabat lain yang mengasuh mereka karena meninggal akibat Covid-19. Data yang dirilis dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat setidaknya lebih dari 1 juta anak di seluruh dunia kehilangan orangtua.
Di Tanah Air, data Kementerian Sosial per 20 Juli 2021 tercatat 11.045 anak menjadi yatim, piatu, atau yatim piatu akibat pandemi Covid-19. Sementara jumlah anak terpapar Covid-19 sebanyak 350.000 dan 777 anak di antaranya meninggal dunia. Data ini masih akan terus bertambah mengingat pandemi belum juga berakhir.
Di Jawa Timur laporan dari 32 kabupaten/kota yang masuk ke pemerintah provinsi tercatat 6.198 anak menjadi yatim/piatu dengan estimasi keseluruhan mencapai 7000-an anak. Di Jawa Tengah dilaporkan ada 5.733 anak menjadi yatim/piatu/yatim piatu. Sejak pandemi anak-anak dapat dikategorikan kelompok rentan --risiko tertular Covid-19, gangguan kesehatan, terganggunya proses kehidupan sosial.
Satgas Covid-19 mencatat sekitar 49% korban meninggal akibat Covid-19 berasal dari kelompok usia produktif dari golongan usia 19 hingga 59 tahun yang memiliki anak di bawah 18 tahun. Dari data itu memperlihatkan kematian di usia produktif meninggalkan anak-anak merupakan sinyal potensi bom waktu masalah kemiskinan dan krisis sosial yang bisa meledak di waktu mendatang.
Mereka tidak memiliki akses layanan kesehatan dan gizi yang memadai. Selama pandemi Unicef mengungkapkan lebih dari separuh anak Indonesia mengalami kerentanan gizi, kesehatan, pendidikan, kebersihan dan perlindungan. Karena itu peristiwa meninggalnya orangtua di saat pandemi akan berdampak secara psikis dan menyisakan trauma.
Terganggunya kesehatan jangka panjang, gangguan tumbuh kembang, kerentanan ekonomi dan kemiskinan, hambatan pendidikan, kekerasan fisik, pernikahan anak, perdagangan manusia adalah risiko yang membayangi masa depan. Belum lagi stigma dan dikucilkan masyarakat akan membebani mereka. Anak-anak ini bukanlah sekadar angka statistik, tetapi merupakan individu yang punya kehidupan untuk segera dipenuhi hak-haknya.
Berbagai studi dan literatur menunjukkan bahwa kesedihan mendalam yang dirasakan anak-anak karena ditinggal pergi orangtua untuk selamanya berdampak besar pada kesehatan dan pertumbuhan mentalnya. Hilangnya keceriaan, putusnya kasih sayang, rasa putus asa akan berimbas pada kepercayaan diri anak-anak yang menghambat tumbuh kembangnya.
Merujuk UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pengasuhan anak karena orangtuanya meninggal dialihkan ke keluarga besar. Namun kesulitan finansial dan luasnya pandemi tidak memungkinkan keluarga memikul tanggung jawab itu. Oleh karena negara harus ambil alih persoalan ini dengan melibatkan pemerintah daerah.
Negara harus hadir memberikan dukungan psikologis, bantuan kesehatan, dan pendidikan. Mereka tidak bisa kehilangan kesempatan untuk menyongsong masa depan karena tidak adanya perlindungan dan jaminan hak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 20, "Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelengggaraan perlindungan anak".
Dalam jangka pendek anak yatim piatu masih bisa mengandalkan sesama anggota keluarga maupun kerabat untuk mendampingi pengasuhan maupun kebutuhan mereka. Namun dalam jangka panjang membutuhkan pengasuhan alternatif berbasis yang ditanggung negara. Mekanisme pengasuhan alternatif dapat dikategorikan sebagai layanan dasar dalam pilar manajemen kedaruratan selama pandemi.
Sayang sejauh ini kita belum mendengar strategi pemerintah untuk mengantisipasi masalah pelik ini. Memang saat ini prioritas adalah menangani pandemi Covid-19 demi menyelamatkan kesehatan masyarakat. Namun jangan dilupakan kesiapsiagaan dalam pelayanan dan penanganan para yatim/piatu/yatim piatu. Mereka adalah sebagian generasi masa depan bangsa ini.
Jangan sampai anak yatim piatu ini putus sekolah kehilangan harapan atau bahkan jadi tulang punggung keluarga menggantikan peran ayah ibunya untuk menghidupi keluarganya. Apalagi anak yatim piatu perempuan kemungkinan menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan sangat besar karena mereka harus menggantikan peran ayah ibunya dalam mengurus adik-adiknya. Termasuk risiko menikah di usia anak.
Karena masih anak-anak penyediaan pengasuhan alternatif terhubung dengan fasilitas kesehatan, pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga keamanan. Dalam menangani mereka pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri. Banyak organisasi masyarakat, lembaga masyarakat, yayasan yang peduli pada kesejahteraan anak. Menggandeng lembaga yang ada di masyarakat akan membantu dalam melakukan pendataan, penjangkauan, dan meningkatkan dukungan bagi pengasuhan alternatif.
Di masyarakat kini sudah terbentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang dapat diperankan untuk mendukung pelaksanaan pengasuhan alternatif. Seluruh pemangku kepentingan didorong untuk melakukan akselerasi kebijakan agar penanganan anak-anak yatim piatu dapat dilakukan. Dan itu membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Pemerintah perlu membangun komunikasi dengan masyarakat tentang perlunya keluarga terdekat mengasuh menggantikan orangtuanya yang meninggal. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat dibutuhkan. Karena jika tidak terorganisasi dengan baik dikhawatirkan dampaknya justru merusak masa depan anak-anak. Ada masalah di depan mata, yakni putus sekolah, kekurangan gizi, perkawinan usia anak, perdagangan anak ,dan adopsi ilegal yang sangat mungkin terjadi.
Paulus Mujiran aktivis Lembaga Perlindungan Anak Jawa Tengah
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini