Generasi Baru Taliban
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Generasi Baru Taliban

Kamis, 02 Sep 2021 12:10 WIB
Rosdi Ridwan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Taliban menyatakan kemerdekaan penuh Afghanistan usai pasukan AS pergi dari negara tersebut. Perginya pasukan AS ini akhiri perang selama 20 tahun di negara itu
Foto ilustrasi: AP Photo
Jakarta -

Kabul jatuh ke tangan Taliban pada 15 Agustus. Sorotan kemudian tertuju pada kelompok yang telah dicap teroris itu, bahkan kekhawatiran pun segera merebak. Bahwa kelompok ini akan memantik semangat para pemujanya di seantero jagat. Tak terkecuali di Indonesia. Kekhawatiran ini tampaknya berdasar pada sejarah kelam hubungan Jamaah Islamiyah (JI) pada Al Qaeda dan Taliban di akhir dekade '80-an menjelang jatuhnya pemerintahan Muhammad Najibullah dukungan Uni Sovyet.

Berbagai sumber sebelumnya telah menyebut kedekatan JI pada Taliban. Seperti diungkap secara implisit oleh Nasir Abbas, mantan kepala Mantiqi III JI dalam berbagai kesempatan. Menurutnya, Taliban merupakan role model yang mempunyai visi dan misi sejalan dengan JI. Nasir yang kini aktif dalam berbagai kajian keamanan itu tentu mengungkap hal tersebut berdasar pengalaman panjangnya berkecimpung dalam JI.

Pernyataan Nasir menyiratkan pentingnya mewaspadai segala kemungkinan. Utamanya, kewaspadaan terhadap kelompok-kelompok pemuja Taliban di Indonesia. Meski sesungguhnya pernyataan Nasir ini justru bertolak-belakang dengan fakta kehadiran delegasi Taliban pada 27 Juni 2019 di Jakarta. Delegasi ini diterima secara informal oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Delegasi Taliban ke Indonesia dipimpin langsung Mullah Abdul Ghani Baradar, kepala urusan politik Taliban berbasis di Doha, Qatar. Sosok satu ini sudah sangat dikenal sebab ia sempat mendekam di penjara Pakistan pada 2010. Namun, berkat tekanan AS pada Pakistan, Baradar lantas dibebaskan pada 2018. Lepas dari penjara, Baradar terbang ke Qatar dan menjadi kepala perwakilan politik Taliban di Qatar.

Kehadiran Baradar dan delegasinya di Jakarta pada 2019 tentu tak bisa dilepaskan dari perubahan sikap politik internal Taliban. Perubahan ini terjadi berdasar tiga hal penting. Pertama, kian banyaknya generasi baru Taliban yang mulai sadar sekaligus peka media sosial. Mereka sudah terbiasa bermain media sosial, saling terhubung satu sama lain. Jika para komandan senior Taliban berturban hitam cenderung diam sambil mata mereka tetap awas, maka para Taliban yunior justru sibuk berselfi-ria memakai telepon selular di genggaman mereka. Berbagai liputan media internasional menunjukkan suasana tersebut saat Taliban masuk Kota Kabul.

ADVERTISEMENT

Kedua, situasi di internal Afghanistan di bawah pemerintahan boneka AS justru tak membuat negeri ini kian membaik. Korupsi merajalela usai AS menempatkan para pejabat boneka di sana. Laporan The New York Times 8 April 2009 menyebut, korupsi besar-besaran melanda kepolisian Afghan. Para penasihat keamanan dari AS tak kuasa mencegah terjadinya korupsi ini. Akibatnya, kepercayaan masyarakat Afghan turun drastis. Generasi baru Taliban juga menyaksikan praktek rasuah jumbo tersebut.

Ketiga, usai tewasnya Usamah bin Laden Mei 2011 di Abbotabad Pakistan tentu menjadikan Taliban di Afghanistan harus melihat seksama peta baru kekuatan global. Sejak lama sudah diketahui, Taliban mengusung pola pemerintahan berciri 'Emirates'. Bukan sistem khilafah yang menonjolkan satu figur. Posisi Mullah Haibatullah Akhunzada saat ini adalah 'Amir Mukminin', bukan khalifah. Pria beretnis Noorzai ini terpilih sebagai emir (amir) setelah Akhtar Mansour tewas diserang pesawat nirawak (drone) pada Mei 2016.

Ada tiga wakil Mullah Haibatullah. Yaitu, Mullah Yaqoob yang mengurusi sayap militer Taliban. Yaqoob putra Mullah Omar, pioner pembentukan Taliban pertengahan dekade '90-an. Lalu, ada Sirajuddin Haqqani, putra Jalaluddin Haqqani, yang mengurus keuangan serta aset militer Taliban. Adik Sirajuddin, Anas Haqqani, juga bergabung dengan Taliban. Wakil ketiga adalah Mullah Abdul Ghani Baradar.

Bukan Komunitas Bodoh

Mantan analis senior CIA, John Kiriakou, dalam wawancaranya di kanal YouTube Crossing Faiths beberapa hari lalu menyebut, banyak kesalahpahaman masyarakat dan media internasional terhadap Taliban selama ini. Kiriakou lama berdinas di CIA. Posisi terakhirnya sebagai kepala operasi kontra-teroris CIA di Pakistan usai pengeboman WTC 9 September 2001.

Selama kiprahnya di Pakistan, Kiriakou melakukan serangkaian penangkapan para anggota Al Qaeda. Di antaranya, pada 28 Maret 2002, tim Kiriakou menangkap tokoh peringkat tiga al Qaeda, Abu Zubaydah.

Menurut Kiriakou, Taliban bukanlah komunitas bodoh seperti dicitrakan media selama ini. Mereka punya cara tersendiri belajar dari pengalaman masa lalu serta kewaspadaan mereka pada berbagai kelompok asing. Fokus Taliban memang pada pembebasan Afghanistan dari kelompok asing. Inilah yang membedakan Taliban dari al Qaeda dan ISIS.

Ditegaskan pula, sistem pendidikan tradisional Afghanistan sangat menekankan ke-Afghanista-an ini. Ada nilai, etika, serta fondasi hidup yang dilestarikan dalam sistem pendidikan tersebut. Nyaris semua etnis di Afghanistan bertumpu di atas tiga hal itu, terlebih masyarakat di pelosok-pelosok dari generasi ke generasi.

Namun, semua buyar dan harus dirombak usai invasi AS ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001. AS dan sekutunya menuding Taliban biang teroris serta penuh kejumudan. Kampanye negatif pada Taliban segera dimulai. Kiriakou terbang ke Pakistan. Ia membangun jejaring intelijen antara Pakistan dan Afghanistan untuk mengumpulkan data lapangan.

Termasuk berinteraksi dengan berbagai kelompok petarung Afghanistan. Kemampuannya dalam berbahasa Arab memudahkan Kiriakou mengumpulkan data-data penting tersebut. Diantaranya data kelompok Taliban berisi keluarga dengan beberapa anaknya.

Mereka menyingkir ke wilayah pinggir Afghanistan setelah AS masuk Afghanistan pada 2001. Keluarga Taliban tetap melestarikan cara-cara tradisional mendidik anak mereka. AS dan sekutunya memang memberi keleluasaan masyarakat Afghan beraktivitas, namun cenderung membiarkan kontestasi antar etnik di Afghan.

Ketegangan menuju konflik acap terjadi antar kelompok etnik di wilayah pinggiran dan pelosok. Kiriakou menyaksikan sendiri apa yang terjadi di Afghanistan. Dan dalam situasi penuh curiga, selalu waspada serta tak gampang menyerah, disitulah keluarga Taliban membesarkan anak-anak mereka.

Tampaknya, invasi AS dan sekutu tahun 2001 menyebabkan dua situasi gawat di luar pergantian kepemimpinan di Kabul. Rezim Afghan besutan AS tak kuasa menghadapi dua situasi ini. Pertama, lumpuhnya lembaga keamanan Afghanistan dan tergantungnya urusan keamanan domestik pada pasukan asing yang tiba secara bergelombang di Afghanistan. Kedua, akibatnya kriminalitas meningkat dan perebutan wilayah antaretnik menjadi pemandangan sehari-hari.

Dalam situasi semacam itu, papar Kiriakou, masyarakat Afghan harus membekali diri. Seperti mengajari cara menggunakan senjata kepada anak-anak mereka yang beranjak dewasa. Senjata-senjata itu mereka peroleh dari pasar gelap di perbatasan Afghanistan-Pakistan. Ironinya, fakta ini lantas dimaknai organisasi HAM dunia pada tahun 2016, sebagai upaya Taliban merekrut anak-anak dan remaja untuk jadi kombatan.

Selama 20 tahun sejak 2001, praktis Taliban berada di pinggir kekuasaan Afghan. Namun rupanya dua dekade ini menjadi kesempatan bagi keluarga Taliban mencetak generasi baru. Mereka tumbuh memasuki abad digital. Muncullah sosok seperti anggota Komisi Kebudayaan Taliban Muhammad Jalal, Pejabat Gubernur Bank Sentral Afghanistan Haji Mohammad Idris, tiga juru bicara Taliban, yakni Zabihullah Mujahed, Suhail Shaheen dan Yusuf Ahmadi. Mereka representasi generasi baru Taliban.

Mengubah Citra

Citra Taliban sudah terlanjur negatif. Identik dengan aksi kekerasan, mendomestikasi kaum perempuan, dan dianggap sebagai kelompok anti-HAM. Citra inilah yang hendak diubah generasi baru Taliban. Beberapa waktu lalu, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahed tampil dalam sebuah video yang beredar luas. Ia menegaskan upaya Taliban melindungi para perempuan dan warga segala usia.

Di Indonesia, citra Taliban tak bisa dilepaskan dari kampanye War on Terror yang bergulir sejak peristiwa 9/11. Kampanye ini dipelopori AS dan sekutunya. Sebutan teroris dan radikal disematkan pada Taliban. Sehingga tiap kali disebut kata 'Taliban', maka spontan yang terbayang adalah sosok berjenggot, keras, dan anti-kemajemukan.

Selama nyaris dua dekade, kampanye anti-Taliban ikut mengiringi serangkaian kegiatan anti-radikalisme, deradikalisasi, atau kontra-radikalisasi. Kampanye ini pun kini memperoleh tantangan baru ketika konstelasi internasional mulai bergeser. Ada suasana baru, ada situasi yang berubah. Yakni, mulai terbukanya sikap Taliban di Afghanistan dan upaya komunikasi intensif Taliban ke berbagai negara.

Generasi baru Taliban terlihat lebih lincah berdiplomasi. Anggota Komisi Kebudayaan Taliban Abdul Qahar Balkhi baru-baru ini begitu lancar dan fasih berbicara dalam bahasa Inggris kepada Al Jazeera. Ia menjelaskan berbagai rencana kerja sama keamanan dengan AS. Ditegaskan pula, seruan pengampunan umum (general amnesty) kepada siapapun lawan Taliban selama ini di Afghanistan.

Jika Taliban telah belajar dari pengalaman masa lalunya, maka sudah semestinya kita mulai merenungkan kiranya pelajaran apa yang bisa dipetik dari situasi internasional yang mulai berubah saat ini. Citra radikal Taliban segera memudar seiring dengan pembenahan internal Afghanistan serta masuknya investasi berbagai negara, khususnya dari RRC. Bersikukuh mempertahankan stigma radikal pada Taliban tentu akan membuat kita sulit memahami situasi baru.

Rosdiansyah staf pengajar Kewarganegaraan dan Pancasila pada Universitas Airlangga, Surabaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads