Tiba-tiba masuk foto dan video petani berusia sekitar 30 tahunan sedang panen jeruk di salah satu laman FB teman kuliah saya. Ia memang rutin share aktivitas pertanian. Sebelumnya, ia juga pernah share panen cabe, juga beberapa tanaman pangan lainnya.
Ya, teman saya ini satu dari beberapa teman kuliah yang total terjun di dunia pertanian. Begitu lulus, ia sibuk di komunitas pertanian organik; membina petani, termasuk petani muda. Sosok sepertinya membuat saya berpikir, jika mencari role model petani muda, ia orangnya.
Saya jadi mengkaitkan dengan berita sebuah media. Katanya pemerintah sedang menargetkan tiap provinsi memiliki petani milenial. Tak tanggung-tanggung, 2000 milenial di seluruh Indonesia. Dengar-dengar ini salah satu program unggulan Kementerian Pertanian dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) pertanian. Karakter yang diinginkan unggul, mandiri, dan modern.
Untuk mencetak petani seperti itu, pemerintah akan memberikan pendidikan dan pelatihan vokasi bagi petani, penyuluh, maupun generasi muda. Intinya, program ini bermaksud melakukan regenerasi petani. Sebab 71 persen petani berusia di atas 41 tahun. Padahal sektor pertanian dianggap sangat strategis untuk ketahanan pangan juga perekonomian bangsa dan negara. Apalagi di masa pandemi.
Program ini tentu sangat menarik, tetapi ada beberapa catatan yang membuat kita harus menimbang ulang apakah program ini efektif atau tidak. Di antaranya, kehidupan para petani saat ini memang jauh dari kata sejahtera. Sehingga wajar pemuda milenial tidak tertarik jadi petani.
Saya sendiri, walaupun sempat mencicipi kuliah di universitas pertanian, tak pernah terlintas sedikit pun bercita-cita menjadi petani. Ilmunya hanya saya pakai untuk memilih bahan pangan sehat dan bergizi buat keluarga. Hehehe. Dan setahu saya, sebagian besar teman kuliah saya dulu pun sama dengan saya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau ada anomali seperti teman saya yang saya ceritakan di atas. Atau kakak tingkat yang bernama Kasim. Sosok fenomenal yang kisahnya masuk salah satu matkul. Saking cintanya pada pertanian, ketika KKN ia menunda kembali ke kampus sampai 15 tahun lamanya, untuk bertani di tempat KKN-nya.
Lalu, benarkah pemerintah serius ingin menarik hati para pemuda agar seperti teman saya atau Kasim --yang tidak terlalu peduli dengan nilai-nilai materi?
Kepemilikan Lahan
Selama ini, yang saya pelajari waktu kuliah, pertanian biasanya berkaitan dengan unsur hara, benih, pengendalian hama penyakit, alat-alat peningkatan produksi, penyimpanan hasil panen, pengelolaannya, sampai pemasarannya. Namun, tidak pernah sekalipun menyentuh pembahasan tentang bagaimana kepemilikan lahan pertanian. Padahal saya juga bingung, bagaimana mungkin seseorang akan bertani jika tidak memiliki lahan?
Ternyata kebijakan pemerintah pada bidang pertanian saat ini serupa dengan bahasan mata kuliah saya seperti di atas. Sementara faktor penyebab kemiskinan pada mayoritas petani yang sempat menjadi responden ketika saya kerja praktik lapang, salah satunya justru ada pada persoalan kepemilikan lahan.
Hal yang paling menonjol adalah kebijakan terkait izin pengelolaan lahan milik negara. Betapa perlakuan pemerintah akan berbeda antara pemilik modal yang besar dengan petani dari kalangan rakyat jelata. Akibatnya petani lama kelamaan menjadi buruh tani. Lho kok bisa? Karena penghasilan yang tidak seberapa tidak cukup menopang biaya hidup mereka. Sehingga lahannya mereka jual untuk menyekolahkan anak dan keperluan lain.
Masalahnya mereka hanya punya keterampilan bertani. Jadilah ketika tak lagi ada lahan untuk bercocok tanam, mereka melamar menjadi buruh tani. Bahkan beberapa kasus, mereka menjadi buruh tani di bekas lahan mereka sendiri yang telah dijual. Dan, jangan pernah mimpi mendapat izin kelola lahan milik negara sekadar satu hektar.
Apalagi ditambah kebijakan impor yang seolah tidak peduli dengan musim panen. Ketika beras panen raya pada April 2021, saya masih ingat, justru ada kebijakan impor beras besar-besaran. Disusul gula. Tentu yang begini ini membuat petani terpukul.
Belum lagi pemerintah tak berdaya dengan permainan harga di pasar oleh tengkulak dan sejenisnya. Sempat miris, suatu hari saya ke tukang sayur beli tomat yang biasanya 5000-6000 dapat 3 biji, tiba-tiba hari itu bisa dapat 10. Ternyata di pasar tomat dihargai Rp 300 sekilo. Pantes!
Terkadang campur tangan pemerintah justru merugikan petani. Misalnya penetapan harga gabah yang rendah. Di sisi lain, membiarkan harga pupuk yang melambung. Belum lagi di pasar akan ketemu monopoli, penimbunan, dan penipuan. Apes benar nasib petani.
Kembali lagi ke program petani milenial. Menurut saya jika soal lahan masih seperti itu, maka nasib petani tidak akan berubah. Jika soal impor, permainan tengkulak, intervensi harga, dan lain-lain juga seperti itu, maka program petani milenial tersebut tidak akan kongkret menjadi solusi.
Semestinya program ini dibuat secara bertahap, dengan target jangka pendek dan jangka panjang yang jelas. Bukan sekadar pelatihan insidental beberapa bulan, lalu bubar. Selanjutnya program ini dirancang saling support dengan seluruh bidang lain. Termasuk dalam bidang pendidikan formal dan non formal. Dengan begitu saya berharap akan muncul para pemuda yang bangga menjadi petani. Lalu, mereka akan berjuang sepenuh hati menjadi tulang punggung ketahanan pangan bangsa
Sitha Soehaimi S2 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, IPB
(mmu/mmu)