Menjadi Tua dan Merasa Tetap Berguna

Sentilan IAD

Menjadi Tua dan Merasa Tetap Berguna

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 31 Agu 2021 17:26 WIB
iqbal aji daryono
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Fihril Kamal/istimewa)
Jakarta -

Sore ini saya ingin bercerita tentang tiga tokoh.

Tokoh kita yang pertama bernama Ben. Ben Whittaker, lengkapnya. Dia seorang pensiunan. Sebelumnya, Ben bekerja di sebuah perusahaan pembuat buku telepon. Sudah tiga setengah tahun istri Ben meninggal, dan lelaki tua itu menjalani waktu pensiun dalam kesendirian.

Pada awalnya, Ben merasakan pensiun sebagai kegembiraan. Ada suasana baru yang menyenangkan. "Seperti membolos kerja lalu main hoki," katanya. Dia pun menghabiskan tabungannya untuk jalan-jalan keliling dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalahnya, ke mana pun dia pergi, dia toh tetap harus pulang. Dan tiap kali dia kembali ke rumahnya, membuka pintu lalu melangkah ke dalamnya, Ben selalu tercenung sesaat. "As soon as I get home, the nowhere-to-be-thing hit me like a ton of bricks." Ya, ada hantaman keras dan berat di tengkuknya: perasaan tidak berguna dan tidak menjadi siapa-siapa.

Maka, yang bisa ia lakukan hanyalah terus bergerak, beraktivitas sebisa-bisanya, di tengah ingatan akan kesibukan lama yang tinggal jadi kelebat bayangan pada remah-remah kenangannya.

ADVERTISEMENT

Sampai kemudian dia melihat satu pengumuman kesempatan magang bagi para manula dari sebuah perusahaan start up. Jelas, kemampuan Ben sebagai mantan pekerja di perusahaan buku telepon tak lagi berguna. Untunglah, peluang kerja magang itu memang cuma program CSR dari perusahaan start up tersebut, dan tidak terlalu mensyaratkan keterampilan tertentu.

Ben mendaftar, diterima, tidak banyak berbuat apa-apa di kantor barunya, lalu menjadi sopir untuk bosnya dan pelan-pelan berbagi banyak hal tentang pengalaman hidupnya. Pada momen-momen itulah, ia punya andil lumayan signifikan dalam penyelamatan rumah tangga dan penyelamatan nasib perusahaan milik juragannya.

Ben akhirnya merasa berguna di usia tuanya.

***

Tokoh yang kedua adalah Earl Stone. Dia lelaki yang asyik dengan dirinya sendiri, lupa dengan keluarganya. Selain larut dalam hobi atas bunga-bunga lili, Earl menghabiskan waktu untuk bergaul tanpa jeda dengan teman-temannya.

Karena sudah berkali-kali melewatkan pesta ulang tahun anaknya, melupakan hari jadi pernikahan dengan istrinya, dan puncaknya ketika Earl tak ingat saat harus mendampingi sang putri di hari pernikahannya, lelaki tua itu pun ditinggalkan. Dia hidup sebatang kara, kehabisan uang, sampai-sampai kehilangan rumahnya karena disita.

Earl lalu datang ke keluarga yang telah meninggalkannya, pada hari pertunangan cucunya. Mulanya sang cucu menyambut gembira, sebab mengira kakeknya hadir di pesta itu untuk turut berbahagia. Tapi kemudian istri Earl mendamprat suaminya, begitu tahu bahwa si lelaki useless itu muncul semata karena tak lagi punya apa-apa.

Earl menyesali banyak hal dari masa lalunya. Kegemaran pribadinya ternyata membawa ia pada situasi perasaan tak berguna. Terbukti kesenangan-kesenangan Earl selama puluhan tahun tidak berarti apa-apa, dan ujungnya dia melihat bahwa kebergunaan sejati seorang laki-laki ada di mata keluarganya.

Kemudian Earl menemukan jalan itu. Lelaki uzur yang punggungnya sudah sedikit bungkuk itu memperoleh kesempatan untuk meraup uang banyak, dengan menjadi kurir bagi satu jaringan pengedar narkoba. Uang Earl begitu melimpah. Dengannya, dia membelikan berbagai hadiah untuk cucunya yang masih asyik dengan perayaan pertunangannya, dan dengan cara itu ia mendapatkan kembali perhatian dari keluarganya.

Earl kembali hidup, meski sambil mempertaruhkan nyawanya. Ia merasa berguna.

***

Dua lelaki tua itu memang cuma ada di film. Lelaki pertama diperankan oleh Robert de Niro dalam Intern (2015), lelaki kedua diperankan oleh Clint Eastwood dalam The Mule (2018). Meski cuma film, agaknya rasa tak berguna pada diri para manula itu nyata adanya.

Saya semakin menyadari itu ketika mengingat peristiwa beberapa hari lalu. Ini tentang tokoh ketiga, seorang perempuan tua, yaitu emak saya.

Di seberang kaca jendela di depan meja kerja saya, saya mengintip emak saya yang sedang memegang gergaji, memotongi gelondongan kayu jati seukuran paha orang dewasa. Saya pun merekam adegan itu, lalu saya unggah di Facebook. Persis dugaan saya semula, ada banyak kawan yang kaget, lalu memprotes sikap saya. "Seharusnya emakmu dibantu, ini kok malah divideo? Anak macam apa itu?"

Sebagaimana sudah saya rencanakan, saya kemudian menyusulkan cerita tentang emak saya yang perkasa, yang sangat suka bergerak, tidak bisa diam, dan tak dapat dilepaskan dari aktivitas fisiknya. Membiarkan emak saya terus bergerak adalah salah satu cara saya berbakti kepadanya, menyenangkan hatinya.

Intinya, saya mengatakan bahwa ada jenis orang tua yang tidak menganggap gerak tubuh dan keringat sebagai siksaan, bahkan sangat menikmatinya sebagai kesenangan. Dan emak saya yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani jelata, yang hidupnya lekat dengan lumpur dan keringat, adalah salah satu di antaranya. Itu saja penjelasan saya.

Namun, setelah menonton Intern dan The Mule, saya menyadari ada satu hal lain pada emak saya itu. Gergaji di tangannya itu, gerak badannya itu, bukan semata-mata kesenangan. Itu adalah cara survival psikologis dia, agar dia tetap merasa berguna pada usianya yang merayap senja.

Emak saya tidak hidup sendirian seperti Ben. Dia pun baik-baik saja hubungannya dengan anak-anaknya, uang pensiunnya sebagai mantan guru juga sangat cukup, beda dengan Earl yang tak punya apa-apa. Tapi ceruk perasaan tidak berguna itu bisa muncul kapan saja. Dan itu berbahaya.

***

Ada jutaan manula seperti Ben, Earl, dan emak saya. Ada yang menyerah, pasrah menerima situasi dan rasa tak berguna yang pelan-pelan menggerogoti lalu dengan cepat membunuh mereka. Tapi ada juga yang berjuang untuk bertahan. Dengan kerja magang, dengan menggenggam gergaji pemotong kayu, atau dengan menjadi kurir narkoba. Tapi tak sedikit juga manula yang memburu rasa berguna itu dengan melibatkan dan menyeret orang-orang di sekeliling mereka.

Di sudut-sudut kampung, kita sering menyaksikan pola seperti itu. Ada orang tua yang sangat suka pidato berpanjang-panjang meski cuma di rapat RT. Ada yang gemar sekali mengatur orang-orang sekelilingnya, meski yang diatur sebenarnya tidak peduli kepadanya. Ada pula yang menjaga kapling pengaruh dan kekuasaan sosial, dan bakalan murka jika area geopolitik mereka itu diusik siapa saja.

Di panggung-panggung tinggi, kita pun melihat ada banyak manula yang masih terus ingin melanggengkan pengaruh politik mereka. Usia mereka, energi mereka, kreativitas gagasan mereka, selayaknya sudah dipensiunkan sebagaimana Ben yang istirahat dari industri kuno pembuatan buku telepon. Tapi para manula di panggung-panggung itu tetap enggan beristirahat.

Saya curiga, sebenarnya yang mereka lakukan tak lebih dari upaya survival-kejiwaan masing-masing, untuk memburu sisa-sisa harapan agar masih bisa merasa berguna. Sekali lagi, masa tua dan perasaan tiada guna itu menyeramkan, dan mereka butuh bertahan.

Tapi ketika Anda tanya apa motivasi mereka, mereka akan menjawab dengan mantap: "Semua ini demi bangsa dan negara."

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads