Mengakhiri "Sekolah Ngungsi" ala Pandemi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengakhiri "Sekolah Ngungsi" ala Pandemi

Senin, 30 Agu 2021 11:00 WIB
Dedy Rahmat Nurda
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Anak sekolah di masa pandemi (Foto : detikcom)
Jakarta -

"Pelan-pelan, Yah di situ nanti beloknya," begitu anak perempuan paling bontot pagi itu mendadak jadi penunjuk jalan bagi saya. Berboncengan berdua mengendarai sepeda motor dinas, saya segera memperlambat laju kendaraan mengikuti arahan si gadis kecil yang duduk di depan.

Sempat ragu dengan belokan jalan yang ditunjuknya, jalur yang terlihat di depan ternyata lebih pas disebut gang dari pada disebut jalan. "Benar jalannya yang ini, Yah... Ibu kemarin lewat sini," bocah kelas 3 SD itu berusaha meyakinkan. Ia seperti bisa menangkap gelagat keraguan saya dengan petunjuk yang diberinya.

Berusaha mempercayai perkataannya, saya pun segera berbelok ke kiri, keluar dari jalur jalan utama, memasuki gang itu yang ternyata merupakan halaman samping sebuah rumah yang memanjang ke belakang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekitar 20 meter menyusuri gang, mentok di depan sebuah rumah, si gadis dengan sigap memberi instruksi demi instruksi berikutnya. Maka motor tua ini pun berkelok-kelok di antara padatnya dinding-dinding perumahan bagai menyusuri labirin kota yang entah di mana nanti ujungnya.

Di tikungan terakhir, sempat tergagap melihat gang ini ternyata mentok di sebuah komplek pemakaman yang terdiri dari beberapa makam tua. Sempat ragu, namun kekhawatiran ini segera sirna tatkala melihat di samping pekuburan itu terlihat sebuah musala kecil sederhana, dan sudah menanti di halamannya dua orang wanita muda berhijab dengan senyuman hangat menyambut kedatangan kami.

ADVERTISEMENT

Anak saya segera bergegas turun; setelah salaman dan sedikit cipika-cipiki, dengan tas ransel bermotif kuda poni di punggung, ia segera berlari ke arah wanita yang telah menanti dengan hangat itu dan ia pun memberi salam hormat. Segera ia menghilang dari pandangan mata, masuk ke musala kecil yang telah menunggu di sana beberapa bocah lain yang sebayanya.

Wanita muda dan bocah-bocah kecil itu, merekalah para guru dan teman-teman sekelasnya. Dan dalam beberapa waktu belakangan ini, di sanalah mereka mesti "bersekolah".

Ditinggalkan

Bukannya tak mampu untuk menyekolahkan anak-anak di tempat yang jauh lebih layak dan lebih pantas disebut sebagai "sekolah" dari pada di musala kecil dan teramat sederhana itu. Kenyataannya bahkan sebaliknya, sesungguhnya mereka telah disekolahkan di sebuah sekolah swasta ternama dengan gedung sekolah yang megah berlantai dua dengan fasilitas pendukung yang mumpuni. Uang masuknya pun bahkan hingga jutaan rupiah tarifnya.

Namun apa daya, untuk saat ini segala kemegahan dan fasilitas itu mesti ditinggalkan untuk sementara dan entah sampai kapan. Pandemi telah merusak segalanya. Belajar tatap muka di sekolah menjadi sesuatu yang terlarang akibat pembatasan kegiatan di masa PPKM. Maka jadilah orangtua, para guru, dan anak didik mesti bermain "kucing-kucingan" dari pengawasan aparat daerah dan Satgas Covid, kini terpaksa bersekolah di "pengungsian".

Dengan menanggalkan pakaian seragam dan tanda pengenal sekolah, kini berganti pakaian bebas sebagai kamuflase, anak-anak kami pun mesti "bertarung" menyiasati PPKM yang punya level demi level, ibarat jajanan pinggir jalan kekinian. Sungguh ironis, namun inilah kenyataannya sekarang.

Tempo hari dalam sebuah pemberitaan di sebuah media online, disebutkan tiga orang Kepala Sekolah swasta di sebuah kota di panggil pihak berwajib untuk dimintai keterangannya, sehubungan dengan adanya laporan tiga sekolah itu nekat melaksanakan sekolah tatap muka di tengah situasi kota dalam status PPKM level 3.

Beruntung kasus ini tidak diperpanjang, dan langsung dilimpahkan perkaranya pada pihak Satpol PP setempat sebagai aparat penegak perda. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa para kepala sekolah yang dipanggil beralasan bahwa tidak ada kegiatan belajar tatap muka, namun hanya "konsultasi pendidikan" yang dimintakan oleh para orangtua murid yang sudah kewalahan menghadapi belajar daring anak-anak mereka di rumah.

Kejadian pemanggilan tiga orang kepala sekolah oleh aparat berwenang ini sempat memantik polemik di jagad maya. Namun secara umum reaksi mayoritas warganet yang mungkin merupakan para orangtua murid, jelas berpihak dan memberikan dukungan pada pihak sekolah.

Kebosanan dan kejenuhan para orangtua dalam menghadapi sistem belajar online untuk anak-anak mereka ditambah tekanan hidup yang dipicu oleh berbagai masalah akibat pandemi berkepanjangan membuat warganet kini kompak satu kata untuk meminta membebaskan kepala sekolah dari segala tuduhan pelanggaran.

Mendapat Teguran

Sekolah kita mendapat teguran dari pihak Dinas Pendidikan ya ayah/bunda, makanya kegiatan belajar tatap muka di sekolah kita hentikan dulu sementara. Nanti kita carikan solusi lainnya. Begitu kira-kira bunyi pesan WAG kelas sekolah anak-anak yang masuk ke telepon seluler ibunya anak-anak waktu itu.

Maka sejak saat itu, berakhirlah kegiatan belajar mengajar yang baru saja dimulai kembali di sekolah sejak pandemi menyerang lebih dari setahun yang lalu. Anak-anak yang baru bahagia karena bisa bersekolah kembali harus padam kembali gairahnya akibat aturan pembatasan kegiatan ala PPKM.

Maka jadilah akhirnya "sekolah ngungsi" menjadi solusi bersama yang seolah menjadi penawar dahaga di tengah kekeringan, meskipun tidak seluruhnya sesuai harapan.
Maka kini jika si kecil "diungsikan" ke musala, maka lain halnya dengan sang abangnya yang sekarang duduk di bangku kelas 6.

Tiga kali seminggu ia mesti datang ke rumah seorang gurunya yang telah "disulap" menjadi ruang kelas. Dengan berpakaian bebas seperti hendak pergi piknik, ia habiskan bulan-bulan terakhir di pengujung pendidikan dasarnya jelang masuk SMP dengan kondisi yang memprihatinkan.

Sungguh ironi jika mengingat ulah kita di masa dahulu, "kucing-kucingan" dengan guru dan orangtua untuk cabut atau bolos sekolah, maka kini anak-anak kita malah mesti "main petak umpet" dari pantauan Satpol PP dan Satgas Covid untuk bisa bersekolah.

Terlepas dari tujuan mulia pembatasan kegiatan ala PPKM adalah untuk menekan laju angka dan penyebaran kasus Covid-19, namun stres dan kelelahan para orangtua dalam mendampingi putra-putrinya belajar daring serta kebosanan dan kejenuhan anak didik itu sendiri juga perlu dicarikan solusinya.

Dugaan pelanggaran PPKM oleh pihak sekolah dan alternatif sekolah di "pengungsian" yang marak kini, bisa dimaknai sebagai perwujudan dari besarnya semangat dan rasa tanggung jawab dari pihak sekolah dan para guru untuk tetap memberikan pendidikan pada anak didiknya.

Jika pasar, tempat ibadah, mall, dan kafe-kafe tetap bisa buka dengan memperhatikan aturan penerapan protokol kesehatan yang ketat, kenapa tidak dengan sekolah anak-anak kita?

Satu fakta adalah sekolah-sekolah kita tergolong paling patuh dan paling konsisten dalam penerapan protokol kesehatan, baik dari segi kepatuhan pemakaian masker, jaga jarak, dan pengecekan suhu tubuh murid ataupun guru. Jauh berbeda dengan penerapan prokes di pasar atau mall dan bahkan di rumah ibadah di banyak daerah yang kini terkesan hanya sekadar aturan di atas kertas. Pemakai masker mulai jadi minoritas, soal jaga jarak tak perlu ditanya lagi.

Kita tentu tak ingin jika situasi ini terlalu lama; akan tertanam di benak anak-anak kita bahwa datang ke sekolah adalah "sesuatu yang salah". Dan para gurunya terus dihantui rasa bersalah, memikul beban sebagai "pelanggar aturan". Mari, sudahi yuk...kembali ke sekolah!

Dedy Rahmat Nurda, ST PNS, orangtua dari dua orang anak usia sekolah

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads