Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Papua menjadi salah satu daerah perbatasan dengan berbagai keprihatinannya yang jauh dan sulit untuk masuk ke dalam pengawasan dari pemangku kepentingan pemerintahan Indonesia. Dengan luas Β±312 km2, penyebutan Papua pada narasi ini mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat.
Di samping luas wilayahnya yang cukup besar, ditambah dengan biota alam yang sungguh beragam, menjadikan Papua sebagai salah satu daerah dengan penyumbang kebaikan terbesar bagi Indonesia. Namun, apakah hal tersebut berbanding lurus dengan apa yang diberikan Indonesia kepada Papua? Lalu, apabila memang benar ketidakadilan terjadi di tanah Papua, apa implikasinya bagi bangsa Indonesia serta bagaimana pemerintah Indonesia menanggapinya?
Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan Indonesia
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila. Karena Pancasila sebagai pandangan hidup selalu merupakan satu kesatuan, tidak bisa dilepas-pisahkan satu dengan yang lain, keseluruhan sila di dalam Pancasila merupakan kesatuan organis (Darmodihardjo, 1979). Tingkah laku dan tindak-perbuatan setiap manusia Indonesia yang dimaksud oleh Darmodiharjo bukan hanya mendefinisikan penjiwaan Pancasila secara individu tetapi juga dalam konteks komunal kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persatuan Indonesia sebagai sila ke-3 Pancasila menjadi sila yang melambangkan cita integralistik sekaligus merepresentasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika 'Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua'. Darmodiharjo (1979) menjelaskan bahwa 'Persatuan Indonesia' ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat (Darmodiharjo, 1979). Kesatuan ini sangat diperlukan mengingat begitu beragamnya struktur dan komposisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis, baik dari segi suku, etnis, agama, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Berdasarkan Darmodiharjo (1979), sila ke-5 'Keadilan Sosial' merupakan tujuan dari empat sila yang mendahuluinya dan merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yaitu menuju tatanan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' berarti bahwa setiap orang Indonesia berhak mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Darmodiharjo, 1979).
Papua, Keadilan Sosial, dan Isu Persatuan
Ellyas Paprindey (Ketua DPRD Papua 1974-1977 dan Wakil gubernur Papua 1977-1982) dalam Maniagasi (2001) pernah menyatakan bahwa tuntutan kemerdekaan oleh masyarakat Papua disebabkan oleh perasaan tidak puas akibat ketidakadilan bagi rakyat Papua dalam pembangunan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Sipil Indonesia (YAPPIKA) menyatakan bahwa para penduduk Papua menganggap pemerintah dan aparat keamanan lebih berpihak kepada kaum pemilik modal yang merupakan masyarakat pendatang dibandingkan dengan penduduk asli Papua dibuktikan dengan alat-alat produksi yang dikuasai oleh kaum pendatang.
Raweyai (2001) dalam tulisannya juga menyatakan bahwa masyarakat lokal Papua mengalami kesulitan akses ke pasar sehingga membatasi pengembangan produk pertanian dan pengolahan hasil bumi lainnya. Beberapa kutipan di atas hanya sebagian kecil dari rentetan panjang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat papua yang diperparah dengan penanganan konflik yang cenderung diselesaikan secara sepihak, sehingga hanya menimbulkan kebingungan, kecurigaan serta apatisme di kalangan masyarakat Papua (Widjojo, dkk., 2009). Bukan masalah yang bisa dianggap sepele, Widjojo, dkk. (2009) bahkan menyatakan bahwa kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Papua menimbulkan konflik kekerasan dan mendorong munculnya kelompok identitas lokal, baik dalam bentuk kelas, kelompok bersenjata atau bahkan kelompok ideologi.
Siregar (2014) menjelaskan lebih lanjut kelompok identitas lokal yang dirujuk salah satu contohnya ialah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang seringkali bersikap antipemerintah dan menyuarakan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan Papua -sebagaimana telah terjadi dengan Timor Leste. Masalah disintegrasi bangsa inilah yang menjadi momok utama pengamalan sila ke-3 Pancasila 'Persatuan Indonesia' sehingga sepatutnya baik pemerintah maupun masyarakat turut bahu membahu mendukung dan memperjuangkan usaha-usaha penuntasan ketimpangan di tanah Papua.
Infrastruktur, Usaha Pemerintah dalam Memperjuangkan Keadilan Sosial
Suryawasita (1989) menjelaskan bahwa fokus utama dari asas keadilan sosial sejatinya adalah pemberian fokus perhatian lebih pada nasib anggota masyarakat yang terbelakang sehingga mereka juga dapat merasakan keadilan sosial sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia dari Presiden Soeharto sampai Joko Widodo (Jokowi) menjadikan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, terutama jalan sebagai salah satu solusi dari masalah keterbelakangan, kemiskinan dan isolasi geografis.
Komitmen tersebut semakin diperkuat salah satunya dibuktikan dengan pembuatan kebijakan Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) pada masa Pemerintahan Habibie yang selanjutnya disahkan dalam ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999. Otonomi khusus yang telah dituangkan di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 memperlihatkan bahwa rekognisi, pembangunan dan penyelesaian kasus HAM menjadi unsur utama untuk otonomi khusus di Papua (Dewi, 2020). Dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua disebutkan bahwa terdapat empat aspek pembangunan yang menjadi prioritas Outsus Papua, yaitu Pendidikan, Kesehatan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan pembangunan infrastruktur. Tidak berhenti sampai di situ, perjuangan pembangunan Papua semakin digenjot melalui program percepatan pembangunan di masa Otonomi Khusus pada era pemerintahan Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo dengan diterbitkannya beberapa Inpres dan Perpres.
![]() |
Program percepatan pembangunan di masa Otonomi Khusus ini memiliki andil dalam peningkatan anggaran pembangunan Papua. Papua setidaknya memperoleh rata-rata 2% dari total alokasi anggaran belanja nasional melalui kebijakan Otonomi Khusus. Ditambah lagi penerbitan Inpres di masa Pemerintahan SBY dan Jokowi yang semakin memperlebar kran pendanaan serta investasi melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), pendanaan DTI, hingga dana bagi hasil migas (Dewi, 2020).
![]() |
Bukan tanpa hasil, salah satu kemajuan pembangunan pada masa Otsus Papua 2002-2019 yang dapat dilihat ialah pembangunan jalan trans-Papua. Meskipun perencanaan dan proyek pembangunan ini sudah dimulai pada 1980-an pada era Soeharto, yang kemudian dilanjutkan hingga masa Pemerintahan Jokowi, memiliki kontribusi yang cukup besar, yaitu menyambung ruas-ruas jalan yang sudah dibangun sebelumnya, sebanyak 865 km di Papua dan 151 km di Papua Barat (terhitung hingga akhir 2019). Usaha pembangunan ini telah membuka akses terhadap daerah-daerah yang selama ini terisolasi khususnya di kawasan pegunungan tengah, seperti Yahukimo, Nduga, Tolikara, dan Puncak (Pamungkas, 2017).
![]() |
Dilansir dari Kementerian PUPR, pada tahun 2021 total alokasi anggaran pembangunan infrastruktur untuk Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sekitar Rp 8,85 triliun, dengan rincian untuk bidang Sumber Daya Air (SDA) sekitar Rp 1,27 triliun, jalan dan jembatan sekitar Rp 7,15 trilun, permukiman sekitar Rp 995,26 triliun, dan perumahan sekitar Rp 517,18 triliun. Terhitung 30 Juli 2021, ketercapaian pembangunan tersebut sudah mencapai angka 44,09 persen.
Menteri PUPR Kabinet Indonesia Maju, Basuki Hadimuljono juga menegaskan bahwa usaha membuka keterisolasian wilayah dan meningkatkan akses serta konektivitas dari darat maupun multimoda, utamanya Jalan Trans Papua dengan total panjang 3.462 kilometer, diupayakan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Dari total panjang tersebut, saat ini jalan yang telah tembus sepanjang 3.446 kilometer, dengan kondisi teraspal 1.773 kilometer, belum teraspal 1.712 kilometer.
Pembangunan Infrastruktur, Konektivitas, dan Dampak Positif Bagi Papua serta Orang Asli Papua (OAP)
Dalam tulisannya Apadurai (1999) menjelaskan bahwa secara konseptual, jalan mendorong proses globalisasi melalui pergerakan orang, komoditas kapital, dan informasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Sejalan dengan teori tersebut, berdasarkan penelitian yang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama The Asia Foundation (TAF) (2018) menyebutkan bahwa dalam perspektif ekonomi, peningkatan konektivitas dengan dibangunnya jalan Trans Papua, Pelabuhan, dan bandara meningkatkan pergerakan barang masuk ke Papua dan selanjutnya didistribusikan ke berbagai kampung sehingga warga bisa mengakses berbagai variasi jenis barang, baik yang esensial maupun tidak.
Dalam riset tersebut juga disebutkan bahwa konektivitas telah membantu warga mengatasi mahalnya harga kebutuhan pokok di kampung pedalaman. Beberapa warga biasanya menyewa mobil box bersama untuk kemudian berbelanja berbagai kebutuhan pokok di kota besar (LIPI dan TAF, 2018). Bukan hanya dari perspektif ekonomi, meningkatnya konektivitas juga berdampak bagi pola relasi sosial antar OAP. Dalam nilai masyarakat Papua, intensitas kunjungan terhadap kerabat yang tinggal di luar kampung penting bagi mereka dan berguna untuk mengatasi persoalan hidup di masa sulit sehingga dengan semakin meningkatnya konektivitas mampu mempermudah warga kampung untuk melakukan kunjungan kerabat. Bukan hanya berdampak bagi masyarakat kampung, peningkatan konektivitas juga berdampak bagi perubahan pola interaksi sosial masyarakat gunung dan pesisir serta antara masyarakat OAP dan non-OAP. Dengan perbaikan konektivitas pula akses warga pada layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan administrasi kependudukan semakin membaik.
Terkhusus di sektor kesehatan, konektivitas berimplikasi secara positif terhadap jumlah tenaga medis serta jam kerja mereka sehingga mengoptimalkan kapasitas pelayanan kesehatan masyarakat Papua (LIPI dan TAF, 2018). Sejalan dengan penjelasan tersebut, dampak positif konektivitas juga dirasakan melalui terlaksananya program-program pemerintah pada layanan dasar. Berikut adalah beberapa contoh dampak implementasi kebijakan Otsus Papua dan peningkatan konektivitas terhadap sektor layanan dasar:
1. Kemajuan sektor pendidikan melalui Program GERBANGMAS HASRAT PAPUA yang diinisiasi pada tahun 2014 yang berdampak positif bagi meningkatnya IPM masyarakat Papua.
![]() |
2. Kemajuan sektor kesehatan melalui Program Pelayanan Kesehatan Bergerak
![]() |
(Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, 2019)
3. Kemajuan sektor kesehatan melalui Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
![]() |
(Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, 2019)
Dampak Pembangunan Infrastruktur yang Tidak Diharapkan
Namun, tindakan ini juga membawa dampak baik dan buruk secara signifikan bagi masyarakat Papua. Mengutip dari Colombijn (2002), jalan selalu memiliki manfaat sekaligus konsekuensi yang tidak diharapkan dari komunitas masyarakat yang dilaluinya. Hal tersebut juga didukung oleh Berg dkk (2015) yang menyatakan bahwa dampak jalan seperti dua sisi mata uang.
Di satu sisi, jalan sebagaimana sering dikampanyekan oleh Bank Dunia, adalah seperti arteri tempat ekonomi hidup, mengalir, dan berdenyut. Ia menghubungkan produsen ke pasar, pekerja ke pekerjaan, siswa ke sekolah, pasien ke rumah sakit. Namun demikian, jalan juga memakan biaya sosial, utamanya, polusi, sampai deforestasi. Pada kasus ini, setidaknya, terdapat 3 masalah fundamental yang terjadi di Papua, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Ekonomi
Dari segi ekonomi, terdapat perubahan signifikan perilaku kegiatan bermasyarakat di Papua, khususnya OAP yang menetap di kawasan pegunungan tengah. Dengan adanya jalan trans-Papua, masyarakat di daerah tersebut yang pada sebelumnya mengonsumsi hipere, keladi, beras raskin, sayur sayuran, dan sumber protein yang diperoleh dari hasil buruan, kini berganti menjadi konsumen produk industri dari luar Papua. Hal ini juga ditemukan di distrik Kurutu yang lokasinya berdekatan dengan Wamena. Dengan akses yang lebih mudah, masyarakat di daerah tersebut yang tadinya menjadikan ubi/hipere sebagai makanan pokok, kini menjadi berganti mengonsumsi beras, karena harganya lebih murah dan lebih mudah untuk didapat. Pergeseran kebiasaan ini ditakutkan akan membawa pengaruh buruk dalam pemerolehan gizi OAP yang didapat dari produk-produk industri dari luar Papua.
Di sisi lain, keberadaan jalan trans-Papua juga mengubah tradisi adat masyarakat di Papua. Sebagai contoh, dengan adanya jalan tersebut, babi ternak yang didatangkan dari Jayapura ke Wamena semakin banyak. Bagi masyarakat Papua, babi sangat penting untuk kegiatan-kegiatan adat seperti membayar denda adat, pernikahan, pemakaman, acara distrik, dan sejenisnya. Dengan adanya kemudahan yang diberikan oleh jalan trans-Papua, jumlah babi yang didatangkan akan semakin banyak. Hal ini, akan membuat harga babi ternak menjadi lebih murah daripada babi asli, akibatnya OAP akan jadi lebih sering menggunakan babi ternak, dibanding babi asli Wamena.
Pendidikan
Majunya infrastruktur di Papua datang bersama tuntutan lain. Tuntutan itu ialah kesiapan SDM Papua dalam pengelolaan infrastruktur tersebut. Saat SDM Papua tidak mampu untuk mengelola infrastruktur yang diperuntukkan kepada mereka, orang luar akan melihat itu sebagai keuntungan yang mampu mengendalikan perputaran roda ekonomi. Tidak hanya itu, dengan adanya jalan trans-Papua, pemekaran wilayah distrik menjadi kabupaten menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan. Adanya, menimbulkan berbagai perubahan persepsi sampai perilaku di masyarakat Papua.
Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di gunung atau pantai menjadi malas untuk mengelola hasil kebun atau laut mereka sendiri dan lebih memilih menjadi pekerja buruh di lokasi yang ada di sekitar jalan trans-Papua. Hal ini disebabkan karena pemerolehan pendapatan dengan pekerjaan tersebut jauh lebih menghasilkan dibanding menjual hasil kelola kebun atau pantai. Jika ini terus berlanjut, OAP akan terus menerus bekerja bagi orang luar, di tanah mereka sendiri. Oleh sebab itu, pendidikan sangat berpengaruh dalam hal ini. Berbekal ilmu yang OAP dapatkan, hal ini dapat dicegah sehingga tidak menimbulkan kesan invasi atas tanah Papua.
Kesehatan
Papua sayangnya masih belum bisa terlepas dari berbagai masalah esensial di bidang kesehatan. Melansir dari buku Pembangunan Inklusif Papua Barat oleh Prof. Dr. Paulus Wirotomo tahun 2020, dijabarkan berbagai kesulitan yang ada dalam regulasi kesehatan masyarakat Papua. Beberapa di antaranya berasal dari infrastruktur sosial berupa rumah sakit yang belum memadai, kekurangan tenaga medis, serta kesadaran OAP dalam menerapkan perilaku hidup sehat.
Dalam hal infrastruktur sosial berupa rumah sakit, misalnya di kota Sorong, Papua Barat, tercatat memiliki 3 buah rumah sakit dan 1 puskesmas di masing-masing kecamatannya. Salah satu puskesmas bernama Puskesmas Remu, melayani seluruh OAP baik tanpa jaminan kesehatan, maupun dengan jaminan kesehatan. Namun untuk yang belum memiliki akan dikenakan pajak retribusi sebesar lima ribu rupiah. Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat kurangnya tenaga medis yang dipekerjakan di puskesmas tersebut. Akibat sedikitnya tenaga medis yang mampu melayani OAP, maka pembangunan rumah sakit pun otomatis tertunda karena kurangnya SDM untuk mengelolanya.
Terlepas dari masalah tersebut, sebagai usaha pendidikan kesehatan kepada masyarakat di kota Sorong, puskesmas biasanya membuat pelayanan dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu Ibu dan Anak (Posyandu), Pos Pelayanan Terpadu Lansia (Poslansia), dan Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Untuk membantu dalam keberjalanannya, tidak jarang pelayanan yang diberikan ini juga melibatkan kader kader dari masyarakat.
Resolusi
Usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi konflik yang terjadi antara Papua dan Indonesia lewat pembangunan sebenarnya sudah luar biasa. Hanya saja dalam penerapannya, kenyataan yang terjadi di lapangan kerap kali tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan. Pada prioritas alokasi dana Otsus untuk pembangunan di Papua, ternyata masih belum cukup mampu untuk menganalisis konflik di tanah tersebut akibat pembangunan yang belum sepenuhnya merata. Prioritas alokasi dana ini justru dinilai hanya berupa simbolis oleh masyarakat Papua. Akibat adanya penilaian itu, masyarakat Papua menganggap pengalokasian dana yang dilakukan pemerintah pusat, hanya bertujuan untuk memenuhi target proyek semata di tanah Papua, dan bukan sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Sudah seharusnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat diubah. Perspektif mengenai aspek sosial budaya dan adat sudah sepantasnya dipandang sebagai jembatan keterlibatan masyarakat Papua, dan bukan sebagai penghambat. Hal ini membuat konsultasi seluruh pihak dari pemerintah pusat hingga petinggi masyarakat Papua, menjadi begitu penting untuk dilakukan agar terciptanya paradigma baru dari 'Pembangunan Tanah Papua' menjadi 'Papua Membangun'.
Giovanni Wira Dirgantara Mado dan Fernaldi Gradiyanto, Juara 1 Lomba Karya Tulis PUPR Kategori Umum
(mul/mpr)