Menghidupkan Kembali Haluan Negara?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Menghidupkan Kembali Haluan Negara?

Kamis, 26 Agu 2021 13:30 WIB
Rino Irlandi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bamsoet Usul Penanganan Pandemi Dibarengi Vaksinasi Ideologi, Apa Itu?
Foto: Dok. MPR
Jakarta -

Pada masa awal Reformasi, tepatnya tahun 1999-2002, UUD 1945 telah diamendemen sebanyak satu kali dengan empat tahap pengesahan. Amendemen ini membawa implikasi perubahan khususnya pada struktur ketatanegaraan.

Salah satu perubahan tersebut adalah reposisi kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan. Sebelum amendemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Sedangkan cabang kekuasaan lainnya --eksekutif, yudikatif, dan state auxiliary bodies-- berada di bawah kekuasaan MPR.

Namun, pasca amendemen, kedudukan MPR menjadi setara dengan lembaga negara lainnya. Karena, UUD 1945 pasca amendemen menganut sistem checks and balances. Yang artinya, tidak ada lembaga negara yang lebih berkuasa dari lembaga negara lainnya. Semua lembaga negara berdiri sejajar sama rata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Reposisi kedudukan tersebut kemudian berdampak pada terpangkasnya kewenangan yang dimiliki MPR. Salah satu kewenangan yang terpangkas tersebut adalah kewenangan untuk membentuk dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

GBHN merupakan suatu pedoman kebijakan arah pembangunan nasional. MPR berwenang membentuk dan menetapkannya, sementara para penyelenggara negara yang lain berkewajiban menjalankannya. Operasionalnya pada saat itu dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Nasional yang antara lain Pembangunan Semesta Berencana pada masa Sukarno, Repelita pada masa Soeharto, dan Propenas pada masa Awal Reformasi.

ADVERTISEMENT

Dengan adanya rencana pembangunan itu, diharapkan penyelenggara negara memiliki pegangan, rambu-rambu, sasaran, dan target yang hendak dicapai dalam suatu masa tertentu. Misalnya, Pembangunan Semesta Berencana pada masa Sukarno berlaku selama 8 tahun (1961-1969). Dengan adanya rencana ini, pencapaian dalam pembangunan pun dapat diukur.

Pasca Tiadanya GBHN

Hilangnya haluan negara pasca amendemen membuat arah pembangunan nasional bergantung pada visi dan misi presiden terpilih yang berganti setiap lima tahun sekali. Sehingga, setiap kali berganti presiden, arah pembangunan nasional potensial berubah seratus delapan puluh derajat.

Hal tersebut menyebabkan tidak jelasnya kompas arah pembangunan nasional. Kadang dibawa ke utara, kadang dibawa ke selatan, kadang juga dibawa ke timur. Dan, kadang pula dibawa ke barat.

Kekosongan haluan negara tersebut menyebabkan negara kita tampak seperti kapal yang dikemudikan tanpa peta sebagai petunjuk arah yang jelas dalam mencapai tujuannya.

Tujuan negara kita tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."

Namun, bagaimanakah cara mencapai tujuan negara tersebut? Setiap penyelenggara negara punya caranya masing-masing. Tidak ada konsensus bersama terkait cara yang hendak ditempuh dalam rangka mencapai tujuan negara. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri.

Bahkan, pada kenyataannya visi, misi, dan program kerja presiden terpilih yang tertuang dalam RPJM Nasional dalam beberapa kasus bertolak belakang dengan visi, misi, dan program kerja gubernur, bupati, dan wali kota terpilih. Sehingga, dalam implementasi pencapaian tujuan negara, program nasional dan daerah tidak berjalan beriringan.

Hal ini berbeda dengan masa ketika MPR masih berwenang membentuk dan menetapkan GBHN yang menjadi pedoman pembangunan nasional. GBHN menjadi semacam "pengikat" dan konsensus bersama penyelenggara negara dalam upaya mencapai tujuan negara.

Menghidupkan Kembali?

Pidato Ketua MPR di Sidang Tahunan (16/8) menyebutkan bahwa MPR akan segera melakukan amendemen terbatas pada UUD 1945 dalam rangka menghidupkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pedoman pembangunan nasional.

Dalam pidato tersebut, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari upaya ini. Pertama, memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis. Ketiga, menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah.

Di satu sisi, ide ini patut diapresiasi sekaligus didukung dalam upaya mengisi kekosongan cetak biru pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, ide ini patut dikritisi karena rentan disusupi kepentingan politik jangka pendek.

Ada dua hal yang perlu dikritisi dari gagasan ini. Pertama, perlunya restrukturisasi keanggotaan MPR. Keanggotaan MPR saat ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota-anggota DPD. Artinya, keanggotaan MPR terdiri dari para politisi.

Apabila nantinya wewenang membentuk dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara diserahkan kepada MPR, maka keanggotaan MPR perlu direstrukturisasi dengan memasukkan golongan fungsional/ahli sebagai anggota. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kepentingan politik dengan nuansa akademis dalam pembentukan haluan negara.

Kedua, akibat hukum jika haluan negara tidak dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Sebelum amendemen, akibat hukum yang ditimbulkan adalah impeachment. Presiden akan diberhentikan dari jabatannya jika melanggar haluan negara. Hal demikian pernah terjadi pada Presiden Sukarno yang diberhentikan oleh MPR karena dianggap melanggar haluan negara pada tahun 1966.

Namun, pasca Reformasi, akibat hukum melanggar haluan negara tidak bisa berujung pada pemberhentian. Sebab, hal tersebut terlalu kental nuansa politis dan sistem presidensial yang kita gunakan tidak mengakomodasi sebab-sebab politis sebagai syarat pemberhentian. Sistem presidensial hanya mengizinkan seorang presiden diberhentikan karena melanggar hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi. Maka, perlu dipikirkan apa akibat hukum yang ditimbulkan apabila haluan negara tidak diikuti.

Pada akhirnya, usaha mengembalikan haluan negara ini perlu dikaji lebih mendalam dan komprehensif. Usaha ini perlu dilakukan guna mendapatkan versi terbaik desain haluan negara dalam sistem ketatanegaraan kita.

Rino Irlandi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads