"Garuda Shield" dan Perimbangan Politik Luar Negeri
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Garuda Shield" dan Perimbangan Politik Luar Negeri

Kamis, 26 Agu 2021 11:16 WIB
Alfin Febrian Basundoro
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) Jenderal Andika Perkasa (kiri) didampingi Komandan Tentara Angkatan Darat Amerika (US Army) Asia Pasifik Jenderal Charles A Flynn (kanan) saat membuka Latihan Bersama Garuda Shield ke 15/2021 di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AD di Baturaja, OKU, Sumatera Selatan, Rabu (4/8/2021). Latihan bersama yang digelar di tiga daerah yaitu Baturaja, OKU, Sumsel, Makalisung, Minahasa Utara, Sulut dan Amborawang, Kukar, Kalimantan Timur tersebut merupakan  yang terbesar dalam sejarah kerja sama militer Angkatan Darat kedua negara dengan melibatkan 2.246 personel TNI AD dan 2.282 personel US Army. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Foto: Nova Wahyudi/Antara
Jakarta -

Latihan militer bersama antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) bertajuk Garuda Shield dimulai pada 1 Agustus 2021 lalu. Hingga 14 Agustus, total 2.161 prajurit TNI AD dan lebih dari 2.000 tentara Angkatan Darat AS berpartisipasi dalam latihan militer terbesar yang diagendakan oleh kedua negara tersebut.

Latihan yang dibuka oleh Kepala Staf AD Jenderal Andika Perkasa dan Komandan Tentara AS di Pasifik Jenderal Charles A. Flynn ini tidak hanya melibatkan pasukan infanteri saja, namun juga sejumlah kendaraan tempur, seperti tank, panser, hingga helikopter serang. Sebanyak tiga area latihanβ€”Baturaja di Sumatra Selatan, Amborawang di Kalimantan Timur, dan Makalisung di Sulawesi Utaraβ€”menjadi lokasi latihan militer tersebut.

Maka tidak mengherankan apabila Garuda Shield begitu istimewa bagi kedua negara, mengingat bahwa edisi latihan ini menjadi yang pertama pada era pemerintahan Presiden Joe Biden. Setelah sempat mengalami fluktuasi relasi sejak akhir era Orde Baru yang ditandai dengan embargo militer, agaknya relasi Indonesia dan AS dalam sektor pertahanan-keamanan (hankam) telah mengalami perbaikan yang signifikan. Apalagi, latihan gabungan tahun ini merupakan yang ke-15, menunjukkan kian intensnya interaksi antara militer kedua negara selama lebih dari satu dasawarsa.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga telah menyatakan harapannya terkait peningkatan relasi antara Indonesia dan AS di kemudian hari. Ia bahkan menyatakan latihan militer tersebut sebagai "era baru relasi kedua negara". Pernyataan Menlu Retno tentunya tidak berlebihan. Sebelumnya, ia telah berkunjung ke Washington DC dan bertemu dengan sejumlah petinggi pemerintahan Negeri Paman Sam, seperti Menlu Antony Blinken.

Kedua pihak telah menyepakati akan saling mendukung dalam berbagai sektor, mulai dari perdamaian dan stabilitas Indo-Pasifik, urusan Laut China Selatan, hingga krisis iklim global. Pihak AS sendiri menyebut bahwa latihan ini menjadi komitmen AS bersama Indonesia untuk mendukung kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Tentunya, hal ini merupakan pertanda positif bagi relasi strategis AS-Indonesia dalam sektor pertahanan dan geopolitik regional.

Selain itu, latihan ini juga dapat menjadi momentum Indonesia untuk menyeimbangkan politik luar negerinya di tengah pengaruh politik AS dan China. Apabila melihat pelaksanaannya, prinsip bebas-aktif dan nonblok dalam politik luar negeri Indonesia membutuhkan seni politik perimbangan.

Rizal Sukma dalam analisisnya (2019) menilai bahwa upaya perimbangan tersebut kerap dilakukan, utamanya pada era Presiden Joko Widodo yang menjadi saksi memanasnya rivalitas China sebagai kekuatan global baru dan AS di kawasan Indo-Pasifik. Misalnya, dengan menempatkan China dan AS sebagai mitra yang setara dalam forum bilateral dan multilateral hingga penguatan sentralitas ASEAN sebagai kekuatan penengah di antara kedua negara adidaya ini.

Latihan gabungan Garuda Shield juga pada hakikatnya merupakan bentuk dari politik perimbangan Indonesia guna menjaga agar posisi Indonesia "tetap di tengah" dan tidak terpengaruh salah satu kekuatan tersebut. Bagaimana latihan gabungan ini dapat menjadi momentum meningkatnya relasi strategis Indonesia-AS?

Mendayung Antara Dua Karang

Sebagaimana negara "kekuatan tengah" (middle power) lainnya di dunia, politik luar negeri Indonesia memiliki ciri khasnya, yakni berupaya untuk menjaga posisi agar tidak terseret arus rivalitas geopolitik di antara negara-negara besar. Hal ini diwujudkan Indonesia sejak pemerintahan Sukarno, misalnya dengan mendirikan gerakan nonblok.

Hingga kini, prinsip bebas-aktif masih menjadi landasan politik luar negeri Indonesia, diwujudkan dengan berhubungan baik dengan berbagai negara di dunia dalam aneka sektor dan tidak tergabung dalam aliansi politik dengan negara tertentu. Tujuan idealisnya, agar Indonesia dapat menjadi stabilisator dan "juru pendamai" pada tingkat regional dan internasional seiring dengan relasi baik Indonesia dengan negara-negara lain secara imparsial.

Sementara secara pragmatis, Indonesia diharapkan mampu memperoleh aneka keuntungan multisektoral, misalnya kemudahan perdagangan dengan berbagai negara di dunia dan peluang untuk bergabung dengan aneka organisasi internasionalβ€”menjadi momentum peningkatan nilai tawar Indonesia. Masalahnya, pemerintahan Joko Widodo justru menjadi momen menguatnya relasi Indonesia dengan China, terutama dalam bidang ekonomi dan pembangunan.

Data dari Observatory of Economic Complexity (2019) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke China meningkat sebesar US$10 miliar antara tahun 2014-2019, sementara impor Indonesia dari China pada periode sama meningkat sebesar US$8,45 miliar. Sementara itu, data Kementerian Luar Negeri (2020) menyatakan bahwa nilai perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$78.5 miliar. Praktis, China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia hingga kini, mengungguli AS dan bahkan negara-negara ASEAN sekalipun yang merupakan mitra regional Indonesia.

Tidak sampai di situ, Indonesia juga merupakan target utama investasi dari China dalam berbagai bidang. Tahun ini, China masih menjadi negara investor terbesar di Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$4.8 miliar. Proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiativeβ€”BRI) yang dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping sejak 2013 juga menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan pertambangan.

Beberapa contoh proyeknya adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung serta pabrik dan tambang litium di Morowali, Sulawesi Tengah. Total nilai proyek BRI di Indonesia mencapai US$16.8 miliar antara tahun 2014 hingga 2018. Selain kian bergantung kepada China dalam sektor ekonomi, kondisi ini menunjukkan kian pragmatisnya politik luar negeri Indonesia pada era Joko Widodo, apalagi seiring dengan gencarnya pembangunan infrastruktur pada era ini, mendorong Indonesia untuk mencari mitra yang lebih menguntungkan untuk mewujudkan visi pembangunan nasionalnya.

Maka, apabila Indonesia masih berupaya untuk melaksanakan politik luar negeri yang berimbang, perlu pula untuk melakukan pendekatan kepada AS secara strategis. Apalagi, tensi antara AS dan RRT kian meningkat setelah narasi Perang Dagang digaungkan oleh Presiden Donald Trump dan masih berlanjut hingga pemerintahan Joe Biden saat ini.

Ketegangan di antara AS dan China juga telah meluas ke ranah geopolitik, seiring dengan pembentukan aliansi Quadrilateral Security Dialogue (Quad) oleh AS, India, Australia, dan Jepang untuk menangkal ekspansi RRT dalam bidang pertahanan dan keamanan di kawasan serta mendukung narasi kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Situasi ini juga harus dihadapi Indonesia, yang dengan prinsip bebas aktifnya diibaratkan sedang "mendayung di antara dua karang"β€”berupaya untuk mengarungi lautan percaturan politik global yang penuh dengan aneka konflik kepentingan negara besar.

Momentum Perimbangan

Dengan eratnya relasi ekonomi antara Indonesia dengan China, sektor pertahanan memang perlu menjadi fokus bagi Indonesia dalam mendekatkan relasi dengan AS. Keputusan Menhan Prabowo yang sejak awal berinisiatif untuk meningkatkan interaksi dengan para petinggi pertahanan dan keamanan AS adalah suatu tindakan yang cukup rasional. Indonesia tidak hanya berpeluang memperoleh aneka alutsista yang bermanfaat untuk modernisasi TNI di waktu mendatang, melainkan juga dapat memperoleh daya tawar politik yang lebih tinggi dengan adanya dukungan AS, terutama dalam aneka forum internasional.

Kendati dunia telah menyaksikan kebangkitan dua negara adikuasa AS dan China, namun hingga kini AS memang masih memegang kendali global atas berbagai organisasi internasional, mulai dari Dewan Keamanan PBB hingga Bank Dunia dan IMF. Belum lagi, AS sendiri memiliki mekanisme sanksi Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang perlu sebisa mungkin dicegah dengan pendekatan kompromistis kepada AS.

Latihan bersama Garuda Shield ke-15 yang terbesar dalam sejarah hubungan Indonesia-AS ini menjadi salah satu momentum peningkatan relasi kedua negara yang seiringan dengan upaya perimbangan politik luar negeri agar tetap pada jalur prinsip bebas-aktif. Pasalnya, selain Indonesia tidak menjadi mitra strategis AS dalam sektor ekonomi di Asiaβ€”dibandingkan dengan Australia, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah-- Indonesia juga memperoleh ancaman keamanan dari RRT.

Kian seringnya provokasi kapal-kapal penjaga pantai dan Angkatan Laut China di sekitar perairan Natuna Utara menjadi urgensi bagi Indonesia untuk meningkatkan kerja sama pertahananannya dengan AS. Lebih dari itu, Garuda Shield juga menunjukkan bahwa kerja sama pertahanan bilateral lebih dari sekadar jual-beli alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Evan Laksmana, analis pertahanan CSIS dalam East Asia Forum juga menyatakan bahwa meskipun modernisasi alutsista penting bagi penguatan TNI, namun peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) militer juga penting, salah satunya dengan pelaksanaan latihan bersama. Peningkatan kerja sama strategis Indonesia-AS panjang, maka akan terbentuk rencana jangka panjang yang tentunya sangat substantif bagi peningkatan kualitas SDM TNI, apalagi terkait dengan kesiapan menghadapi operasi militer.

Tidak dapat dipungkiri bahwa AS memang memiliki keunggulan tersendiri dalam hal ini, seiring dengan pengalaman militer AS di berbagai medan pertempuran. Maka, latihan bersama ini perlu dipandang secara positif sebagai bagian dari tindakan strategis untuk menjaga politik luar negeri Indonesia tetap seimbang di tengah aneka ketegangan geopolitik antara AS dan China.

Dengan kedekatan relasi ekonomi Indonesia kepada China pada era Joko Widodo, perimbangan relasi dalam sektor pertahanan dengan AS menjadi keputusan yang rasional. Ditambah, peningkatan kualitas SDM melalui latihan bersama juga perlu menjadi fokus untuk modernisasi dan transformasi militer Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alfin Febrian Basundoro mahasiswa di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads