Kasus korupsi bansos yang menyeret Mensos Juliari Batubara sudah sampai pada tahap putusan. Kemarin (23/8), Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman (sanksi pidana) penjara selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta subside 6 bulan kurungan. Serta, sanksi pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar paling lama satu bulan setelah perkara ini berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terpidana dirampas untuk menutupi kerugian keuangan negara tersebut dan apabila harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar biaya pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun dan dicabut hak politiknya untuk menduduki jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Publik masih gaduh terhadap kasus ini. Kegaduhan itu disebabkan karena ekspektasi publik yang tinggi terhadap penanganan perkara korupsi bansos ini. Persoalannya yaitu, tuntutan dan putusan pidana mati atau seumur hidup yang diharapkan publik belum terwujud. Tetapi, harapan publik "sedikit terobati" dengan putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan lebih berat dari tuntutan jaksa. Ya, dalam hal ini terjadi Putusan Ultra Petita. Konsep dari Putusan Ultra Petita adalah putusan dari Majelis Hakim itu melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam konteks perkara pidana, hal tersebut diperbolehkan. Hakim tidak terbatasi dengan tuntutan Jaksa, hanya dibatasi oleh "pasal dakwaan" dari Jaksa Penuntut Umum. Perihal sanksi yang hendak diterapkan, itu merupakan kewenangan seutuhnya pada Majelis Hakim.
Kegaduhan ini ditambah juga dengan pertimbangan hukum Hakim terhadap alasan peringan pidana, yaitu perpidana sudah menderita dengan adanya hinaan dan cacian di masyarakat. Pertimbangan yang diterima Hakim ini merupakan hasil dari pledoi yang dibuat oleh terpidana. Wajar-wajar saja mencantumkan itu dalam pertimbangan, sama halnya dengan alasan peringan pada perkara konvensional yaitu misalnya terpidana merupakan tulang punggung keluarga dan bersikap sopan di depan persidangan. Hal itu tidak perlu dihebohkan, mengingat saat ini KUHAP dan KUHP kita belum ada "pedoman pemidanaan".
Dalam hal ini, publik telah menunggu akan sebuah implementasi sanksi pidana mati terhadap perkara korupsi. Banyak yang menyuarakan bahwa korupsi sudah menjadi penyakit di negeri ini. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi sudah menjadi budaya birokrasi. Hal itu dapat dilihat dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah terserang wabah ini. Tetapi, penegakan hukum pidananya masih begitu-begitu saja.
Sejak 1999 (pasca Reformasi) UU Pemberantasan Tipikor dibentuk dan KPK sebagai lembaga independen dibentuk, belum terdapat subjek hukum yang dijatuhi sanksi pidana mati atas kasus korupsi. Bisa dibandingkan dengan kasus terorisme dan penyalahgunaan narkotika sudah banyak pelaku yang dijatuhi sanksi pidana mati. Mengapa dengan perkara korupsi belum tersentuh sama sekali? Meskipun, dalam berbagai putusan pidana korupsi sudah dijatuhkan sanksi pidana penjara, pidana denda, dan pencabutan hak politik. Keadaan itu juga belum memberikan efek jera terhadap pelaku. Terlebih pada rasa keadilan masyarakat. Sangat jauh sekali.
Jika dicermati, sanksi pidana mati di dalam UU Tipikor hanya tercantum pada Pasal 2 ayat (2). Norma tersebut jika dilihat dari perspektif ilmu hukum pidana, termasuk dalam kategori delik pemberatan (delict qualificier). Syarat suatu delik termasuk delik pemberatan, yakni ancamannya lebih berat dari delik umumnya dan harus ada syarat khusus yang harus terpenuhi. Syarat khusus yang dijadikan dasar dalam konteks UU Tipikor yakni adanya "keadaan tertentu".
UU Tipikor memberikan penjelasan lebih lanjut terkait pengertian dari "keadaan tertentu" itu. Misalnya, waktu negara dalam keadaan bahaya, waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, dan pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jika melihat dari batasan pengertian yang diberikan oleh UU Tipikor itu, maka masa pandemi Covid-19 ini sudah memenuhi syarat akan hal itu, yakni termasuk dalam bencana alam nasional dan/atau terjadi krisis ekonomi dan moneter.
Berkaca pada fenomena yang sedang terjadi ini, harapan publik sekarang ada pada Majelis Hakim. Dalam hal ini, publik berharap pada hakim yang progresif. Konsepsi dari pemikiran progresif dalam lingkup hukum yaitu hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya. Maksud dari pemikiran progresif yang digagas oleh Prof Tjip ini merupakan kegundahan beliau yang mengajar ilmu hukum puluhan tahun, melihat pada penegakan hukum yang jauh sekali dari mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Hukum kadang kaku dengan dirinya sendiri. Seolah-olah ia bersifat otonomi dan tidak mau mendengarkan aspirasi publik.
Atas dasar latar belakang itu, Prof Tjip menyuarakan pemikiran progresif ini, yaitu keluar dari kekakuan otonom hukum dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan memberi rasa keadilan masyarakat. Lebih tepatnya, berhukum dengan nurani. Ya, sesungguhnya keadilan itu ada pada setiap nurani manusia. Mereka bisa merasakan, tidak hanya orang-orang hukum saja yang dapat merasakan keadilan itu.
Sudah Berat
Putusan Hakim sudah berat jika kita cermati lebih dalam; sudah menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi tindakan (dalam konteks ilmu hukum pidana). Sanksi pidana yang dijatuhkan yaitu berupa sanksi pidana penjara dan denda, sedangkan sanksi tindakan berupa pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Putusan perkara pidana yang mencantumkan antara dua jenis sanksi hukum pidana di negeri ini masih kurang. Ya, lebih ditegaskan bahwa sanksi pidana masih menjadi primadona dalam setiap perkara pidana. Paradigma itu sudah seharusnya diubah. Mengapa? Karena sudah 20 tahun UU Tipikor ini berlaku, belum menunjukkan penegakan hukum yang signifikan terhadap penegakan hukum pidana yang hanya menerapkan sanksi pidana.
Dapat dikatakan bahwa belum ada sisi manfaat yang signifikan dengan penerapan sanksi pidana. Dampak buruknya sudah nyata ada; Lapas sudah penuh. Oleh karena itu, penerapan sanksi tindakan oleh Majelis Hakim dalam perkara ini patut untuk diapresiasi.
Efendik Kurniawan, S.H, M.H Asisten Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya & Anggota Mahupiki Jawa Timur
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini