Air merupakan kebutuhan utama manusia yang harus tersedia sepanjang masa. Manusia bisa hidup tanpa makan untuk beberapa hari ke depan, tetapi manusia butuh air karena tubuh manusia sekitar 60% terdiri dari air. Tanpa air dalam tiga hari, hidup kita berhenti
Menurut Dr. Neil Mcintyre dari Imperial College London, bumi terdiri dari 98 persen air asin dan 2 persen air segar yang layak dikonsumsi. Pada angka 2 persen tersebut, 70 persennya adalah salju dan es, 30 persen air tanah, kurang dari 0,5 persen air sungai dan danau, dan kurang dari 0,05 persennya lagi berasal dari atmosfer. Sementara itu, satu-satunya sumber air bersih terjangkau yang bisa digunakan hanyalah air tanah. Ini yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, bukan air yang berasal dari Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Berdasarkan data di atas, bisa dibayangkan betapa terbatasnya komoditas air bersih yang tersedia, belum lagi persoalan perubahan iklim yang sudah di depan mata. Pada saat yang sama, populasi manusia di Indonesia juga terus meningkat setiap harinya ditunjang dengan gagalnya program Keluarga Berencana (KB) sejak masa reformasi. Praktis, angka 2 persen tadi akan menjadi rebutan lebih banyak orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara hingga saat ini pemerintah belum dapat mengoptimalkan penyediaan air bersih yang menggunakan air permukaan seperti yang berasal dari air sungai, air danau, air embung dan sebagainya --meskipun sudah ada UU No. 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air. Sehingga bisnis air minum dalam kemasan produk industri air minum dalam kemasan (AMDK) maupun produk depot air minum isi ulang (DAMIU) semakin dibutuhkan. Sayang pengawasan yang dilakukan pemerintah lemah dan menimbulkan persaingan tidak sehat yang berdampak pada kesehatan konsumen.
Bisnis Air Minum dan Peran Pemerintah
Usaha AMDK yang dilakukan melalui DAMIU saat ini tumbuh pesat. Banyak sekali usaha DAMIU ditemukan di semua daerah sampai pelosok sekalipun, Usaha ini dapat dilakukan oleh perorangan, koperasi dan UMK dengan mudah melalui investasi yang tidak besar. Konsumennya cukup banyak karena penyebarannya luas dan harga yang lebih murah dibandingkan produk industri AMDK bermerek dan ber-SNI.
Pesatnya pertumbuhan DAMIU, luasnya wilayah, dan banyaknya konsumen DAMIU seharusnya mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah; baik pusat maupun daerah khususnya dalam hal pengawasan dan evaluasi atas regulasi yang berlaku. Dari pemantauan saya terhadap usaha DAMIU, muncul kekhawatiran bahwa telah terjadi banyak pelanggaran khususnya pelanggaran atas merek karena banyak DAMIU yang menggunakan galon isi ulang bermerek AMDK.
Pelanggaran atas merek banyak terjadi di lapangan, khususnya di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat melalui pengisian ulang galon dengan galon merek AMDK tertentu. Hal tersebut berarti melanggar beberapa peraturan perundangan, antara lain UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merk dan Indikasi Geografis, Kepmenperindag No. 705 Tahun 2003 Tentang Persyaratan Teknis AMDK dan Perdagangannya, Kepmenperindag No. 651 Tahun 2004 Tentang Persyaratan Teknis dan Perdagangan DAMIU, serta Permenkes No. 43 Tahun 2014 tentang Hygiene dan Sanitasi Depot Air Minum.
Selama ini pelanggaran tersebut terkesan didiamkan oleh pemda karena umumnya pengusaha DAMIU adalah UMKM dan aparat pemda. Pelanggaran lain, DAMIU juga melakukan stocking atau penumpukan galon bermerek berisi air isi ulang yang diduga juga melanggar ketentuan tentang hygiene, sanitasi, dan tidak memenuhi SNI. Pelanggaran tersebut akhirnya merugikan konsumen yang menduga bahwa air minum tersebut asli dari AMDK pemegang merek, namun ternyata isi ulang produk DAMIU.
Keberpihakan pemerintah/daerah terhadap UMKM tentunya boleh saja, namun UMKM-nya harus taat pada aturan yang berlaku dan pemerintah sebagai regulator tidak melakukan pembiaran yang pada akhirnya akan menghancurkan industri air minum dalam kemasan secara keseluruhan. Keberadaan air minum dalam kemasan isi ulang yang tidak taat pada aturan akan merugikan kesehatan masyarakat dan pada akhirnya akan membebani APBN.
Sebagian DAMIU bahkan tidak berizin, tetapi "dari tiga ribu depot air minum yang tersebar di kawasan Jabodetabek, dipastikan hanya 20-30 persen yang sudah memiliki izin dari Kementerian Perindustrian dan laik dikonsumsi. Sementara sisanya dipastikan tak memiliki izin". Untuk itu peran pengawasan pemerintah harus ditingkatkan untuk pembinaan. Sesuai aturan yang berlaku pengawasan DAMIU seharusnya dilakukan langsung oleh Dinas Perdagangan-Perindustrian dari Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan atau Kota.
Pengawasan di lapangan sebenarnya juga dapat dilakukan oleh asosiasi, seperti Asosiasi/Aspirasi Pengawasan Perlindungan Air Minum dan Air Bersih Indonesia (ASDAMINDO), Asosiasi Pemasok dan Distributor Air Minum (APDAMINDO), dan masyarakat lainnya, namun tidak mencukupi tanpa adanya penegakan hukum.
Walaupun sudah diatur ketentuan tentang merek, hygiene, sanitasi serta berbagai peraturan daerah lainnya mengenai penyelenggaraan usaha DAMIU, namun masih banyak terjadi pelanggaran sehingga pada akhirnya merugikan konsumen. Selain itu juga menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara AMDK produksi DAMIU dan AMDK produksi Industri AMDK
Langkah ke Depan
Mendata air minum isi ulang produk DAMIU terkait dengan produksi, jumlah pengusaha, tenaga kerja yang terlibat, pertumbuhan, kontribusi ke PDB yang terinci per wilayah, dan pengawasan kepala daerah wajib dilakukan. Keberadaan DAMIU, yang sebagian besar merupakan industri rakyat, perorangan, koperasi, UMKM seharusnya dikembangkan dan dibina dengan baik dan berkesinambungan, khususnya oleh kepala daerah setempat serta Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Pembinaan yang diperlukan pengusaha DAMIU terkait dengan ketaatan pada peraturan perundangan, sehingga tidak melanggar hak tentang merek, kompetisi yang sehat serta perlindungan konsumen melalui higienitas dan SNI serta penegakan hukum.
Untuk menjaga kekompakan berusaha dan ketersediaan air minum yang higienis, disarankan antara pengusaha AMDK dengan DAMIU ada pemahaman yang baik demi perlindungan konsumen. Saat ini pihak asosiasi industri AMDK (ASPADIN) sudah bersedia membantu DAMIU dalam hal pengadaan galon tanpa merek. Galon merek yang dikuasai oleh DAMIU dapat ditukar gratis dengan galon tanpa merek, sehingga pengusaha DAMIU tidak lagi menggunakan galon bermerek milik industri AMDK tanpa izin, dan hak konsumen untuk informasi dan kesehatan terlindungi.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)