Vaksinasi dan Problem Kepemilikan Dokumen Kependudukan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Vaksinasi dan Problem Kepemilikan Dokumen Kependudukan

Selasa, 10 Agu 2021 11:27 WIB
Muhammad Jaedi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Warga mencetak KTP elektronik, di mesin Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM), di Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/2/2021). Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Padang meresmikan penggunaan mesin ADM yang bisa mencetak KTP, Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran dan dapat digunakan oleh warga secara mandiri hanya dalam waktu dua menit. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.
Foto ilustrasi: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Jakarta -

Di media sosial sempat viral tentang warga yang sulit mendapatkan vaksinasi karena tidak membawa fotokopi KTP-el (KTP elektronik). Muncul pertanyaan apa fungsi KTP-el jika banyak urusan, termasuk vaksinasi, masih mengharuskan fotokopi KTP-el? Bukankah kata "elektronik" mengesankan sebuah KTP yang canggih yang, seperti kartu e-toll atau pay wave, tinggal tap semua urusan selesai?

Belakangan ini memang berseliweran informasi mengenai pendaftaran vaksinasi Covid-19. Hampir semua pesannya sama: membuka kesempatan untuk vaksinasi. Penyelenggaranya macam-macam, dari rumah sakit, lembaga pendidikan, militer, kepolisian, BUMN, BUMD, dan juga swasta. Pendaftaran dilakukan online. Kita hanya perlu buka laptop/handphone, klik tautan, isi data pribadi, lalu konfirmasi. Selesai. Semudah itu.

Pendaftaran juga bisa dilakukan langsung di lokasi vaksinasi, walaupun biasanya jumlahnya dibatasi untuk menghindari jumlah orang yang datang tanpa konfirmasi.

Ada satu syarat yang sama yang ditentukan penyelenggara: Nomor Induk Kependudukan atau biasa disingkat NIK. NIK tertera di KTP-el atau pada Kartu Keluarga (KK) bagi yang belum berusia 17 tahun. Ini memang ada aturannya, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/4638/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Lalu, bagaimana kalau mau mendapatkan vaksin tapi belum punya NIK? Peraturannya bilang harus segera mengurus NIK dulu. Di situ persoalannya muncul.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mendapatkan NIK, pemohon harus mengisi Formulir Permohonan Biodata. Syaratnya, membawa surat pengantar dari RT/RW, bukti Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting, dan bukti pendidikan terakhir. Pemohon yang tidak dapat memenuhi persyaratan itu kemungkinan sulit mendapatkan NIK.

Lebih sulit lagi bagi pemohon yang sama sekali tidak memiliki dokumen apa pun. Ini biasanya dialami penduduk yang domisilinya tidak jelas (sering disebut penduduk RT/RW 0) yang biasanya termasuk kategori penduduk miskin. Atau kelompok rentan yang mengalami diskriminasi, baik sosial maupun gender.

Lalu, apakah karena tidak memiliki NIK mereka tidak berhak atas vaksin?

Menghilangkan Kesempatan

Mensyaratkan NIK dalam program vaksinasi itu bagian dari akuntabilitas. Memang seharusnya begitu. Jadi jelas kepada siapa vaksin diberikan dan berapa banyak dosis vaksin yang disuntikkan. Ini akan memudahkan pertanggungjawaban, apalagi anggaran yang digunakan bersumber dari APBN. Tapi, mensyaratkan NIK secara mutlak berpotensi menghilangkan kesempatan semua orang untuk mendapatkan vaksin.

Padahal, di masa pandemi, mendapatkan vaksin merupakan salah satu cara untuk memperbesar peluang hidup. Bukankah tujuan dari program vaksinasi adalah memastikan orang tetap sehat dengan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus Corona?

ADVERTISEMENT

Tapi mungkin saja ada yang membantah. Penduduk Indonesia yang tidak punya NIK itu sedikit. Per Desember 2020, menurut Kemendagri, jumlah orang yang sudah merekam KTP-el di dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) mencapai 192.468.599 juta jiwa atau setara 98%. Artinya, hanya 2% orang yang tidak punya NIK. Bukan jumlah yang besar.

Kalau pakai perhitungan ini, potensi orang yang tidak mendapatkan vaksin pun hanya sedikit. Kasuistik saja. Tak perlu dibesar-besarkan.

Namun, persoalannya bukan pada jumlah yang sedikit. Sebagai warga negara yang sah dari republik ini, mereka yang (katanya) jumlahnya sedikit itu tetap berhak mendapatkan vaksin. Apakah karena tidak memiliki NIK, mereka dibiarkan bertarung antara hidup mati sendirian di tengah pandemi? Pasti bukan itu tujuan bernegara. Bukan itu pula janji pemerintah yang berkuasa.

Ketiadaan NIK (dan dokumen kependudukan) pada sebagian penduduk itu sebetulnya menyimpan persoalan yang lebih besar, yakni lemahnya sektor administrasi kependudukan (adminduk) dalam melakukan penjangkauan. Layanan adminduk pada umumnya terpusat di pusat ibu kota pemerintahan. Jika anggaran memungkinkan, ada loket layanan di tingkat kecamatan atau ada layanan keliling. Tapi, keduanya pun dilakukan secara terbatas, lagi-lagi karena anggaran yang juga terbatas.

Sementara itu penduduk di perdesaan dan wilayah terpencil tetap mengalami kesulitan mendapatkan dokumen kependudukan. Jarak yang jauh dan biaya transportasi yang mahal menjadi hambatan. Ada inisiatif di beberapa desa untuk mendekatkan layanan dengan menggunakan Dana Desa, tapi jumlah desa yang melakukannya masih bisa dihitung jari jika dibandingkan desa yang puluhan ribu jumlahnya. Belum ada dasar hukum di tingkat nasional yang memungkinkan seluruh desa melakukannya.

Apa yang bisa disimpulkan? Penduduk yang tidak punya dokumen kependudukan itu merupakan produk dari kegagalan memenuhi persyaratan dan lemahnya sektor adminduk dalam melakukan penjangkauan. Keduanya bersifat struktural. Penyelesaiannya pun harus bersifat struktural. Tidak cukup dengan melakukan kampanye pentingnya dokumen kependudukan seperti yang selama ini dilakukan melalui Gerakan Indonesia Sadar Adminduk (GISA).

Apa gunanya kampanye dilakukan, namun akses tidak juga dibuka lebar?

Perlu ada kebijakan khusus terhadap warga yang tidak dapat memenuhi persyaratan, terutama bagi mereka yang sama sekali tidak memiliki dokumen pendukung apa pun. Perlu juga mendekatkan layanan adminduk hingga ke tingkat desa dengan menggunakan sumber daya yang tersedia di desa, termasuk menggunakan Dana Desa.

Sudah waktunya sektor adminduk lebih rendah hati dan meminta peran aktif desa dalam mendekatkan layanan. Desa, jika diminta, besar kemungkinan mengulurkan tangannya sebagaimana selama ini mereka lakukan.

Muhammad Jaedi peminat advokasi dan pemerhati layanan publik, bekerja di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads